‘Harus Berhenti Kerja, Urus Orang Tua’ Kerja Perawatan Masih Dipikul Perempuan

Riset ILO mengungkap perempuan masih harus menanggung sendiri tanggung jawab perawatan. Sudah saatnya, laki-laki ambil peran. Kerja perawatan juga semestinya adalah peran bersama anggota keluarga.

Pernah gak sih mendengar kalau anak perempuan harus yang tinggal di rumah bersama orang tua? Gak boleh pergi jauh-jauh karena harus merawat orang tua nantinya? 

Aktris dan aktivis, Melanie Subono bercerita, banyak sekali masyarakat di sekitarnya yang bahkan punya mindset yang menakut-nakuti perempuan. Katanya, “Kalau nggak ngerawat (orang tua) kan durhaka.”

Hal ini juga terjadi di dunia kerja, saat perempuan menjadi tidak nyaman atau berhenti bekerja. Dikarenakan beban perawatan yang dilimpahkan hanya padanya. Padahal semestinya, kerja perawatan itu adalah tanggung jawab bersama. Bukan hanya perempuan. 

Di satu sisi, perempuan juga terus-terusan dituntut untuk mengikuti konstruksi sosial sebagai “perempuan ideal”. Salah satunya, perkara reproduksi untuk melanjutkan keturunan.  

“Dalam dunia entertainment misalnya, masih punya pemikiran harus punya anak karena demi mertua. Masih banyak yang berpikir dosa dan durhaka jika tidak melakukan kerja perawatan,” ujar Melanie dalam peluncuran riset ILO (15/11).

Riset ILO: Kerja Perawatan Masih Dibebankan pada Perempuan

Organisasi Buruh Internasional (ILO) baru saja mengumumkan hasil riset soal persepsi pekerja tentang pekerjaan perawatan. Yang termasuk pekerjaan perawatan adalah mengasuh anak, merawat orangtua, atau anggota keluarga yang sakit. 

Riset ini menggunakan survei secara daring selama 1,5 bulan dari 15 September hingga 3 November 2023. Responden dalam survei ini sebanyak 2.217 pekerja dari berbagai sektor. Mulai dari pekerja rumah tangga (PRT), pekerja perawatan, pekerja kreatif dan wirausaha.

Bekerja sama dengan KataData Insight Centre, riset ini juga mengidentifikasi tingkat persepsi terkait dengan pekerjaan perawatan. Yaitu, berdasarkan kerangka 5R ILO untuk pekerjaan perawatan yang layak. 

5R ILO itu adalah Rekognisi (Recognize), Reduksi (Reduce), Redistribusi (Redistribute), Penghargaan (Reward) dan Representasi (Represent). Tujuannya, untuk membangun dunia yang setara gender.

“Survei (riset) ini merupakan bagian dari dukungan ILO kepada Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan dan merumuskan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional tentang Pekerjaan Perawatan. Temuan-temuan utama dari survei ini akan digunakan sebagai dasar untuk mengidentifikasi tindakan yang tepat dalam mempromosikan pekerjaan perawatan di Indonesia dan mengembangkan kebijakan transformatif yang penting untuk memastikan masa depan pekerjaan yang didasarkan pada keadilan sosial dan mendorong kesetaraan gender untuk semua,” kata Penjabat Sementara Direktur ILO untuk Indonesia, Diego Rei dalam sambutannya.

Baca Juga: Edisi Care Work: Pemda Tak Punya Kebijakan untuk PRT, Butuh UU PPRT

Di sisi lain, survei ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi rekomendasi-rekomendasi. Guna meningkatkan upaya mempromosikan pekerjaan perawatan sebagai tanggung jawab bersama. Bukan hanya tanggung jawab perempuan.

Lenny N. Rosalin selaku Deputi Menteri PPPA Bidang KG Kementerian PPPA menyebut, pihaknya telah memasukkan care ekonomi ini, ke dalam perundingan dengan seluruh negara G20. Kemudian bakal dibahas lebih lanjut dalam pertemuan ASEAN tahun ini. 

Hal itu menurutnya begitu penting, sebab saat ini situasinya partisipasi perempuan di dunia kerja juga masih minim. Dia prihatin, data angkatan kerja perempuan yang baru hanya sekitar 53%, dibanding laki-laki yang 83%. Jadi, ada gap 30% di antaranya. 

“Hal inilah yang mendasari mengapa kita harus menganggap care ekonomi ini menjadi roadmap dan rencana aksi yang sedang kita susun. Yaitu daycare, layanan bagi lansia, dan disabilitas. Kita juga perlu mengakui perlindungan jaminan pekerja dari maternity dan paternity. Upaya ini perlu agar angkatan kerja perempuan terus meningkat, ” ujar Lenny.

Dirinya juga mengingatkan agar pemberi kerja tidak menganggap hal ini sebagai biaya, melainkan sebagai investasi. “Hal ini sedang kami bahas dalam RUU Kesejahteraan ibu dan anak,” imbuhnya.

Perempuan Tidak Sadar Punya Jam Kerja Lebih Panjang 

Peneliti Utama Kata Data, Satria Triputra, menjelaskan pekerjaan perawatan ini harus bernilai ekonomi dan harus dilakukan demi kebaikan untuk produktivitas keluarga.

Dalam temuan survei, sebanyak 93% responden sebetulnya menjawab bahwa laki-laki dan perempuan harus berbagi beban dalam pekerjaan perawatan di rumah. 

Namun di satu sisi, saat pertanyaan menyoroti persepsi tentang sifat yang melekat pada perempuan. Seperti, anggapan bahwa perempuan itu lebih telaten dan penyabar. Mayoritas mereka menjawab setuju. “Ini seolah kayak laki-laki itu nggak telaten dan penyabar gitu kan,” ujar Satria.

Konstruksi berbasis gender inilah, yang turut jadi penyebab pelimpahan beban perawatan kepada perempuan. Sementara satu sisi, bukannya tidak mungkin laki-laki yang turut serta dalam perawatan dianggap kurang maskulin. 

Dampak lainnya juga diungkap dalam survei ini. Demi kerja perawatan, perempuan harus berhenti dari pekerjaan. Sebanyak 28,1 % laki-laki menjawab istri atau saudara perempuan mereka, berhenti kerja demi melakukan pekerjaan perawatan. Dan 22,4 % laki-laki menganggap, bahwa hal itu merupakan kewajiban utama istri atau saudara perempuannya. Mereka pun tidak berencana menggunakan pihak lain. 

Sementara itu, 68,3 persen laki-laki menganggap perempuan yang berhenti bekerja karena pekerjaan perawatan, bukanlah masalah yang harus diselesaikan. 

Semua persepsi itu, didasari pada pemahaman soal kewajiban seorang ibu yang merawat anak. Begitu pun jika sebagai anak, mereka menganggap itu juga sudah menjadi kewajibannya sebagai perempuan merawat orang tua.

Baca Juga: Edisi Care Work: Potret PRT di Kaltim, ‘Ning’ dan ‘Ita’ Tak Punya Pilihan

Hal yang menjadi ironi, 67,3 % perempuan tidak sadar bahwa jam kerja mereka sebenarnya lebih banyak dari laki-laki. Dan 78,3 % perempuan menganggap tidak perlu mengurangi jam kerja panjang tersebut dan mengalihkan beban ganda itu kepada pihak lain. Alasannya, itu adalah kewajibannya sebagai seorang perempuan.

“Dari hasil survey ditemukan bahwa perempuan dapat beban lebih besar dibanding laki-laki. Dan masih juga terbentur dengan konstruksi sosial tentang apa peran perempuan dan peran laki-laki,” katanya. 

Cuti Ayah untuk Mendorong Kerja Perawatan Laki-laki 

Early Dewi Nuriana, Koordinator Program Ekonomi Perawatan ILO berharap perusahaan-perusahaan bisa menerapkan cuti ayah. Selain itu, juga memiliki kebijakan atau memberikan tunjangan daycare kepada pekerjanya. 

“Kita harus melihat good practice, perusahaan yang sudah menerapkan cuti ayah harus dipromote sehingga bisa menginspirasi perusahaan lain untuk memberikan cuti ayah” kata Early.

Menyoal itu, Lenny N. Rosalin menyatakan penting bagi para pasangan untuk membuka diri dan berbagi peran dalam keluarga, supaya pekerjaan perawatan bisa dilakukan bersama-sama.

“Seorang perempuan yang sudah lulus sekolah tentu ingin memberikan manfaat pada dunia kerja. Namun kenyataan membuktikan, ketika perempuan sudah memiliki anak, langsung drop out dari pasar kerja atau berhenti bekerja” sebut Lenny.

Melanie Subono pun berharap agar edukasi tentang pekerjaan perawatan menjadi tanggungjawab bersama ini harus disosialisasikan dengan bahasa yang sederhana, agar dapat dipahami semua pihak. 

Edukasi tentang kerja perawatan ini adalah hal penting yang harus diperjuangkan. Dengan begini diharapkan dapat merubah persepsi di masyarakat dan menghapuskan stigma dan konstruksi sosial yang masih melekat terkait pekerjaan perawatan.

“Kalau aku tidak berteman dengan para aktivis, mungkin aku juga tidak tahu akan hal ini. Masih ada hal terputus dengan kenyataan di lapangan. Agar perempuan yang kita sasar bisa memahami hal ini dengan sendirinya,” pungkas Melanie. 

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!