‘Kapan Nikah? Mau Kerja Dimana Habis Lulus Kuliah?’: Pertanyaan Retoris Dan Bikin Tak Nyaman

Jika para perempuan ditanya: kapan nikah setelah lulus kuliah, laki-lakipun mengalaminya. Mereka ditanya: kerja dimana habis kuliah? Pertanyaan jebakan ini selalu membuat tak nyaman semua orang

Tiap kali habis pulang kampung, Ita (29) selalu mengomel karena baru saja “disidang” kedua orang tuanya dengan sederet pertanyaan yang intinya: kapan nikah? 

Meski dengan penyampaian yang berbeda, Ayah Ibunya seperti ada saja celahnya untuk “menyudutkan” sulung dari dua bersaudara ini: bahwa Ita adalah seorang perempuan berumur nyaris kepala 3, yang beberapa tahun lalu baru saja lulus kuliah S2. Jadi, mau apalagi kalau tidak menikah?

“Ada fase pusing banget aku tuh kadang, bukannya gak mau nikah, ya tapi kalau belum ada mau gimana?” ujar Ita kepada Konde.co, Jumat (22/7).

Situasi Ita memang bisa dibilang cukup ‘mujur’ dalam urusan pendidikan dan karir. Dia bisa lancar lulus magister di universitas negeri ternama di Indonesia, pekerjaannya pun cukup stabil untuk menghidupinya sebagai perantau di ibu kota. Ya, setidaknya bisa untuk menjalani gaya hidup doyan makan dan travelingnya.  

Hanya saja, Ita mengakui bahwa urusan percintaannya seringkali tak lancar. Jadi ya, boro-boro menikah, mengenalkan pacar ke orang tua saja belum pernah ia lakukan. Dan itulah yang sering membuat orang tuanya tampak begitu cemas dengan Ita.

“Perempuan kayaknya lebih kencang ya tuntutannya, apalagi usia juga semakin bertambah, jadi orang tua panik kalau anaknya kok gak nikah-nikah, gak berumah tangga,” katanya. 

Dalam salah satu novelnya, “Lebih Senyap dari Bisikan,” novelis Andina Dwifatma menulis bahwa tubuh perempuan itu seperti makanan kaleng yang ada tanggal kadaluarsanya. Harus menikah umur segini, harus punya anak umur segini. Jika sudah lewat di tanggal itu, maka tubuhnya dianggap gak berguna atau kadaluarsa

Jika dipikir-pikir, Ita bilang, lelah juga mengikuti tuntutan orang tua dan sosial untuk segera punya kehidupan “mapan” dengan tolak ukur sudah berumah tangga, dan memiliki anak. Beda dengan beberapa waktu lalu, dia kini memilih untuk menikmati timeline hidupnya: tidak harus sama dengan standar hidup yang dipatok masyarakat termasuk soal pernikahan. 

“Capek sih, mendingan enjoy aja, apa yang bisa dikerjain ya kerjain. Toh, aku juga masih punya mimpi yang harus dikejar. Ntar kalo udah saatnya, juga datang sendiri jodoh,” ujarnya. 

Tak hanya menikah, menginjakkan usia tepat 30 tahun di tahun ini, memberikan tekanan tersendiri bagi Ian. Laki-laki yang kini bekerja sebagai karyawan swasta di Jakarta ini, sudah didesak orang tuanya untuk segera menikah, yang di saat bersamaan, dia juga dituntut untuk berpenghasilan tinggi dan mempunyai aset kendaraan atau rumah. 

“Ada pressure kalau laki-laki itu kan yang tanggung jawab sama keluarga nantinya. Jadi, kayak harus punya tabungan untuk beli ini dan itu,” kata Ian saat berbincang dengan Konde.co beberapa waktu lalu. 

Tekanan paling terasa bagi Ian, saat setahun lalu dirinya mengalami dampak pandemi dengan adanya pemotongan upah di kantornya yang cukup signifikan. Hingga dia merogoh sisa tabungan yang dia miliki, bahkan sempat berhutang dengan saudara. 

“Rasanya, semakin jauh untuk memenuhi tuntutan ini itu. Ya sudah fokus pada kebutuhan aja sekarang, pelan-pelan sesuai kemampuan daripada stres,” ujarnya. 

Tuntutan pada perempuan dan laki-laki biasanya terjadi ketika mereka sudah dianggap cukup umur, sudah mau selesai kuliah misalnya, atau sudah lebih dari 25 tahun untuk umur rata-rata dianggap dewasa dan boleh menikah.

Yanti mengalami hal yang sama dulu. Seusai kuliah, mahasiswi dulu kerap ditanya: kapan nikah, sedangkan mahasiswa ditanya: habis ini kerja dimana? Ada semacam tuntutan untuk cepat menghasilkan keturunan bagi anak perempuan dan cepat memetik hasil pekerjaannya pada laki-laki, misalnya harus punya kerjaan, punya mobil, punya rumah.

Apa yang dialami Ita, Yanti dan Ian ini serupa. Ita sudah selesai kuliah, sebagai perempuan Ia dituntut untuk cepat menikah, lalu punya anak. Tuntutan rumit ini seperti terjadi secara turun-temurun. sedangkan laki-laki seperti Ian tak kalah rumitnya, ada tuntutan untuk cepat kerja, dapat uang banyak, punya mobil dan rumah. Ini merupakan pola patriarki yang sudah lama tumbuh di sekitar kita. 

Lalu, apa yang bisa dilakukan dalam situasi ini?

Aktivis perempuan sekaligus Founder LetSS Talk, Diah Irawaty mengatakan, hal pertama memang kita semua harus mengakui masih adanya bias gender dan ketidakadilan gender yang masih tetap kuat di tengah masyarakat soal soal pola-pola pembakuan gender yang selama ini terjadi soal tuntutan terhadap laki-laki dan perempuan yang habis selesai kuliah yang membelenggu mereka. Walaupun saat ini kita sudah mengalami perkembangan dalam beberapa aspek sosial, seperti partisipasi dalam pendidikan bagi perempuan. 

“Meski dari segi praktik sosial, telah mengalami beberapa perubahan, seperti dalam pendidikan ini, namun paradigma, perspektif, dan ideologi gender yang patriarkhal masih sangat solid. Perubahan pada praktik tidak sepenuhnya didasari dan atau dibarengi perubahan cara berpikir,” ujar Diah Irawaty kepada Konde.co, Kamis (21/7).

Situasi ini, menurut Irawaty, seperti menghadirkan paradoks terkait keadilan dan kesetaraan gender. Satu sisi, perempuan telah mendapatkan kesempatan lebih terbuka dan lebih luas, namun di sisi lain, kesempatan itu tidak membawa pada transformasi dari segi keadilan gender, baik di level individu apalagi di level sosial. 

“Situasi dalam bidang pendidikan memang menjadi contoh paradoks sangat nyata, bahkan terjadi sejak perempuan masih dalam masa-masa studi,” lanjutnya. 

Diah Irawaty mencontohkan, kaitannya itu kita bisa melihat langsung dari pengalaman perempuan-perempuan yang melanjutkan sekolah tinggi, bahkan di luar negeri, bagi mereka yang kebetulan sudah berkeluarga.

Selama studi, selain harus sukses di bidang akademik, mereka juga tetap dituntut “sukses” mengurus keluarga.  Jika tidak membawa keluarga, terutama anak-anak, sangat mungkin mereka mendapatkan stigma sebagai ibu yang selfish dan tidak mau bertanggung jawab mengurus anak, atau mengabaikan pasangan. Sementara itu, tuntutan itu tidak terjadi pada mahasiswa laki-laki. 

Sementara bagi perempuan yang belum keluarga, Diah Irawaty melanjutkan, menikah pasca-kuliah seperti kewajiban yang tidak boleh ditawar. Meski sukses di bidang akademik, jika akhirnya tidak atau telat menikah, perempuan akan tetap dianggap tidak sempurna, bahkan sebaliknya, sukses dalam pendidikan tapi tidak sukses dalam relasi keluarga semakin membuat perempuan menjadi target stigma. Itulah bentuk kontradiksi yang kasat mata tentang perkembangan kesetaraan gender –sekali lagi, kesempatan pendidikan tidak menjamin terpenuhinya keadilan, untuk bebas dari diskriminasi dan stigma, justru sebaliknya.

Selain terkait kontradiksi, situasi ini juga menunjukkan pembelajaran dalam pendidikan yang tidak mampu membangun perubahan cara berpikir terutama dari cara berpikir patriarki ke cara berpikir yang lebih berkeadilan gender. Sebab, pendidikan belum sepenuhnya memediasi proses learn, unlearn, dan relearn terkait cara berpikir dan bersikap yang berkeadilan gender. 

“Kita tahu stigma dan stereotypes yang dialami perempuan juga terjadi dalam lembaga-lembaga pendidikan melalui berbagai bentuk, sesama teman, dari dosen, atau dalam praktek akademik yang lain –misalnya kategori jurusan yang bergender: perempuan didorong untuk mengambil jurusan-jurusan lebih praktis,” katanya.  

Pendidikan menurut perempuan yang saat ini tengah mengambil studi doktoral di Amerika Serikat (AS) itu, juga belum sepenuhnya menjadi tempat membangun cara berpikir kritis terkait bias dan diskriminasi gender. Maka, jika tidak turut melestarikan seperti dalam contoh di atas, pendidikan kita masih membiarkan atau mendiamkan pandangan dan perilaku bias gender, bahkan yang terjadi dalam lembaga pendidikan. 

“Tentu ini juga menjadi bentuk kontradiksi dan paradoks lain: pendidikan yang harusnya membantu peserta didik mengalami proses kritis, justru melestarikan dan membiarkan pikiran dan perilaku bias gender, atau bahkan menerima pemikiran tersebut sebagai sesuatu yang normal dan alamiah,” katanya. 

Diah Irawaty melanjutkan, tak hanya berdampak bagi perempuan, patriarki juga menyasar laki-laki. Termasuk kaitannya dengan bidang pendidikan. Ini juga terjadi saat dalam masa studi. Laki-laki tidak diharapkan mengambil bidang atau program studi yang dianggap sebagai bidang tradisional perempuan, seperti keperawatan atau keguruan dasar. 

Di satu sisi, konstruksi patriarki pada laki-laki juga menyebabkan mereka setelah selesai kuliah juga didesak untuk mendapatkan pekerjaan yang bisa menjamin sumber hidup, sejalan dengan konstruksi laki-laki sebagai pencari nafkah, juga lebih kuat diterapkan pada laki-laki. 

“Masyarakat tidak peduli, tanpa kompromi. bagaimana sulitnya mendapatkan pekerjaan, bagi laki-laki, jika sudah lulus, di harus segera mendapatkan pekerjaan, dan bukan sembarang pekerjaan,” sambungnya.  

Untuk mengatasi masalah struktural itu, Diah Irawaty berpendapat, kita bisa memulainya dengan mentransfer model pembelajaran kritis tentang gender dalam forum-forum di luar pendidikan ke dalam proses pendidikan formal.

Para mahasiswa dan dosen yang sudah memiliki pandangan dan pemikiran dan perspektif gender yang tidak diskriminatif dan bias perlu aktif mentransfer pandangan dan perspektifnya di lembaga-lembaga pendidikan mereka. 

“Pendidikan harus mulai menjadi pusat bagi gerakan transformasi cara berpikir yang lebih berkeadilan gender,” pungkasnya.

(Artikel ini merupakan kerjasama Konde.co dan ID COMM yang mendapat dukungan dari Investing in Women)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!