Jika Tidak Ada Kebijakan Melindungi LGBT, Siapa Yang Akan Melindungi Mereka?

Ketika negara tak kunjung menjamin perlindungan bagi LGBTQ, penguatan komunitas menjadi titik awal untuk membantu korban. Komunitas dapat memulai dari kemampuan yang dimiliki dan merangkul lebih banyak allies/sekutu.

Setelah disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 12 April 2022 lalu, Indonesia memiliki satu lagi payung hukum yang melindungi warganya dari tindak kekerasan, di samping Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Namun, di negara yang penduduknya tidak punya kebijakan soal perlindungan pada kelompok LGBTQ+ ini, sesungguhnya perlindungan dari kekerasan yang menimpa LGBTQ+ ini akan semakin mengemuka

Kita tahu, selama ini Indonesia tidak mengakui adanya relasi di luar relasi heteronormatif dan otomatis perlindungan terhadap orang-orang yang berelasi di luar itu tidak ada. Hal ini juga diperburuk dengan stigma dan hilangnya rasa kemanusiaan saat korban nonhetero seperti LGBTQ+ ini menjadi korban KDRT. 

Kondisi ini makin dipersulit ketika kemampuan komunitas LGBTQ+ dalam merespons kasus-kasus kekerasan domestik juga belum sekuat gerakan perempuan yang berelasi dalam relasi heteronormatif. Ini lagi-lagi karena memang tidak ada payung hukum apapun yang melindungi, bahkan hukum itu berpotensi mengkriminalkan mereka. 

Untuk bergerak maju, seperti halnya yang terjadi di gerakan perempuan, dengan tak adanya kebijakan untuk LGBTQ+, maka rasanya akan sulit sekali. Masih segar di ingatan kita, saat UU TPKS masih menjadi Rancangan Undang-Undang, berbagai serangan muncul karena RUU ini dianggap memperbolehkan relasi nonhetero dan bagaimana akhirnya komunitas LGBTQ+ akhirnya meredupkan harapannya demi tujuan yang dianggap lebih besar, karena negara ini begitu membenci LGBTQ+ dan apapun yang dianggap akan melegalkan, juga akan memberikan resistensi yang sangat kuat. 

Dengan minimnya langkah apapun untuk perlindungan, akhirnya LGBTQ+ tidak jarang memilih berdiam dan berusaha sendiri untuk keluar dari relasi yang buruk. Melapor ke polisi? Bisa-bisa justru korban dijadikan bulan-bulanan. Mau melapor ke RT/RW setempat? Bisa-bisa korban yang nanti dipersekusi. Mau melapor ke kawan sesama komunitas? Bagaimana bisa jika pelaku juga berasal dari komunitas, bahkan justru memiliki kuasa yang lebih kuat di sana? 

Belum lagi ancaman dari pelaku yang akan membuka identitas seksual korban ke orang tua atau tempat kerja jika korban berani melarikan diri. 

Lagi-lagi, sama seperti relasi hetero, pelaku sering kali mengikat korban melalui manipulasi sehingga korban akhirnya bergantung padanya dan hanya memiliki teman-teman yang adalah teman-teman pelaku sehingga korban tidak bisa kemana-mana dan tidak punya pilihan apapun. Jika akhirnya mereka bisa keluar dari relasi itu, untuk memulihkan diri seutuhnya juga merupakan tantangan besar. Berapa banyak lembaga konseling psikologis yang memiliki keberpihakan pada LGBTQ+ dan tidak memberikan stigma? 

Lalu, apa yang harus kita lakukan sebagai orang yang berada dalam komunitas ini dan yang memilih menjadi ally? Hartoyo, aktivis yang bergerak di isu LGBTQ+ mengatakan bahwa penguatan komunitas menjadi titik awal yang sangat penting untuk membantu para korban. Karena sulit untuk mengaitkan perlindungan korban dengan hukum negara, salah satu yang penting untuk dikuatkan adalah pemulihan secara psikologis dan dukungan dana sementara serta shelter

Kita yang peduli pada isu LGBTQ+ harus bergerak bersama untuk menciptakan suatu sistem terpadu bagi perlindungan korban kekerasan domestik dan kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi LGBTQ+. 

Setiap komunitas bisa memulai sesuai dengan kemampuannya dan apa yang sudah dimilikinya tetapi tetap dalam koordinasi yang solid. Penting juga untuk menyamakan pandangan mengenai kekerasan itu sendiri dan terus menerus menyosialisasikan prinsip anti kekerasan. 

Crowdfunding, integrasi materi kekerasan dan pemulihan ke dalam kegiatan yang melibatkan LGBTQ+, merangkul lebih banyak ally yang terbukti keberpihakannya, bisa menjadi cara. Tindakan pencegahan dan penanganan serta pemulihan tentu sebaiknya dilakukan dengan serentak selama gerakan komunitas dan individu yang peduli pada isu LGBTQ+ sudah solid. 

Negara melalui aturan-aturannya memang tidak berpihak pada LGBTQ+ yang berada dalam situasi kekerasan domestik dan kekerasan seksual sehingga gerakan sosial menjadi harapan bagi setiap individu LGBTQ+ yang mengalami kekerasan untuk bisa mendapatkan hak-haknya agar mendapat keadilan, perlindungan dan pemulihan. Memang, ini bukan sesuatu yang mudah dengan situasi politik sekarang tetapi ini bukan suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.

Mia Olivia

Co-founder Safe Circle Community, pribadi yang peduli pada isu-isu sosial kelompok minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!