Upah kecil bikin buruh sulit mengakses makanan sehat

Sugar Generation, Upah Kecil Bikin Buruh Perempuan Sulit Akses Makanan Sehat

Para perempuan buruh pabrik sebenarnya ingin mengonsumsi makanan sehat seperti makanan organik, namun mereka tak bisa mengaksesnya karena upah kecil dan kerja berat.

Lindah adalah salah satu buruh yang bekerja di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta. Jam kerja yang tinggi dan harus kejar target kerja membuat Lindah tak setiap hari bisa masak makanan sehat. 

Lindah akhirnya banyak membeli makanan yang dijual di sekitar pabrik karena ia tidak mungkin bisa mengakses makanan sehat karena mahal, makannya seadanya saja. 

Jarak tempuh antara tempat tinggal dan pabrik mereka bekerja juga membuat mereka tak cukup waktu tiap hari untuk masak. “Ada yang tinggal di Bekasi juga, sehingga waktunya sudah habis di jalan,” ujar Lindah.

Selain itu ia menambahkan, faktor keuangan dan kelelahan kerja juga menjadi alasan buruh tidak membeli makanan sehat. Kelelahan kerja yang dimaksud adalah soal target produksi.

“Misal ditarget harus selesai pasang kerah baju sebanyak 60 pieces, mau kita ke toilet atau mau minum, pihak perusahaan tidak mau tau. Selain itu, ketika mesin rusak dan mengakibatkan permakan banyak (akibat mesin rusak, misalnya jahitan nya jadi kendor (benangnya) atau benang jahitan nya loncat, dll). Akibatnya pekerjaan bertambah, selain harus mendapatkan target produksi yang sudah ditentukan. Sebelum bel kerja sudah kerja. Siang setelah makan buru-buru menjahit. Sepulang kerja masih menjahit walaupun tidak dihitung lembur, apalagi dibayar lembur. Kami menyebutnya menyekorkan diri. Akhirnya sampai rumah kita sudah kelelahan.”

Banyak buruh yang membeli teh kemasan saat bekerja, selain karena harganya murah, minuman itu juga dapat mengganjal perut saat lapar. “Buruh mana tahu kalau kandungan gulanya tinggi, karena minuman itu banyak yang jual di sekitar pabrik.”

Baca Juga: Perempuan di Balik Makanan Sehat

Hal senada juga diamini Jumisih, Wakil Ketua Serikat Buruh FSPBI. Ia mengatakan jam kerja dan upah yang kecil sulit buat buruh menjangkau makanan 4 sehat 5 sempurna. 

“Ketika jadi buruh pabrik, saya sarapan cuma roti, siang beli lauk saja, nasi bawa sendiri bahkan saya kerap puasa Senin dan Kamis untuk ngirit. Apalagi bagi yang pulang malam, udah ngga sempat ke pasar, akhirnya bikin mie instan.”

Konde.co menghubungi Dr. Hariati Sinaga, seorang akademisi dan juga pengamat politik pangan dan gender (14/6). Ia mengatakan bahwa dari perspektif kelas pekerja, perempuan pekerja sebenarnya ingin mengonsumsi makanan sehat seperti makanan organik. Namun mereka memiliki keterbatasan waktu dan keuangan. Pengeluaran mereka sudah habis untuk transportasi dan sewa tempat tinggal, sehingga mengeluarkan biaya untuk membeli makanan sehat jadi dikesampingkan. Akhirnya, makanan cepat saji yang tidak terjamin nutrisinya menjadi solusi konsumsi mereka. 

“Mereka seringnya tinggal di kost yang tidak punya akses terhadap kulkas. Sehingga untuk masak sendiri harus berulangkali belanja, padahal mereka tidak punya waktu banyak karena bekerja,” jelas Hariati.

Lebih lanjut ia mengatakan, jika jajanan cepat saji yang aksesnya mudah ditemui sifatnya adalah rekreasional. Karena dengan mengeluarkan biaya yang sedikit, konsumen sudah merasa cukup kenyang dan merasakan makanan yang enak. 

Kemudian jika berbicara tentang makanan sehat, spektrumnya sangat luas dan berkaitan dengan relasi sosial. Misal, sayur yang diproduksi besar-besaran tentu menggunakan rekayasa produksi yang tidak menjamin sayur tersebut sehat. 

Baca Juga: Kondisi Buruh Perempuan Sawit: Kekerasan Seksual dan Diskriminasi Upah Yang Mereka Alami
Foto buruh saat membeli makan siang di sekitar area pabrik. (Dok. pribadi Lindah)

Hariati Sinaga, yang sempat mengamati ibu-ibu pekerja kebun sawit, mengatakan karena tidak mampu membeli makanan, mereka memetik tumbuhan pakis. 

“Ibu-ibu itu memetik tumbuhan pakis di sekitar pohon sawit untuk dijadikan sayur. Padahal tumbuhan tersebut sudah terpapar pestisida. Sayur kan, identik dengan makanan sehat, ya. Namun jika terpapar pestisida dalam jumlah banyak, tentu bukan makanan sehat lagi.”

Lindah juga menyatakan bahwa ia dan beberapa rekannya yang berusia 30 tahun ke atas juga mengalami tumor payudara dan kista. Ia mendengar bahwa penyebabnya mungkin salah satunya karena banyak mengkonsumsi makanan instan.

“Saya sendiri sudah 3 kali operasi tumor payudara, benjolannya sebesar bakso ukuran sedang. Kata dokter yang pertama, tumor itu karena saya sering makan makanan instan,” kata Lindah.

“Sedangkan operasi tumor yang ketiga tahun 2022 lalu, dokternya mengatakan saya kembali terkena tumor karena perubahan hormon,” tambahnya.

Baca Juga: Buruh Perempuan Dipaksa ‘Staycation’: Kontrak Kerja Jadi Celah Eksploitasi

Saat mengurus izin sakit pun, Lindah sempat dipersulit. “Kalau tumor, kan, nggak langsung operasi, ya. Kita harus cek dan control berulang kali seperti USG. Tahu sendiri, kan, antrian BPJS bisa seharian. Tapi karena saya bernegosiasi dengan atasan, izin sakit pun diberikan.”

Lindah juga mengatakan bahwa di pabrik tempatnya bekerja sudah ada 2 rekan buruhnya yang meninggal dunia karena tumor payudara. 

“Yang rekan pertama telat ketahuan kalau dia kena tumor, mengeluh sering sesak nafas. Ternyata setelah dicek tumornya sudah parah. Yang kedua, ia sebenarnya tahu tapi takut operasi. Selain tumor, ada juga 2 orang buruh perempuan yang kena kista,” tambahnya.

“Para  buruh itu juga takut menceritakan kepada sesama teman buruh, apa lagi melapor kalau ia sakit. Hal itu disebabkan karena mereka takut kontrak kerja tidak diperpanjang jika ketahuan sakit oleh perusahaan. Apalagi kontrak kerja buruh sangat pendek, ada yang 3 bulan, ada yang 1 bulan bahkan ada yang harian lepas (HL),” kata Lindah.

“Jangankan sakit, ketahuan hamil saja mereka takut. Padahal saya sudah sampaikan kalau cuti melahirkan adalah hak buruh. Mereka tidak akan kehilangan pekerjaan jika mengambil cuti melahirkan tapi mereka lebih memilih menutupinya.”

Baca Juga: Bagaimana cara Bantu Perempuan yang Berkasus Hukum? Baca Disini

Kendala waktu dan pekerjaan membuat buruh tidak punya banyak pilihan. Lindah bercerita, banyak dari buruh yang membeli makanan beku untuk konsumsi keluarga, karena menganggap itu adalah makanan kelas atas. 

“Setiap 2 minggu sekali, kan, kami gajian. Mereka langsung belanjain frozen food itu, mereka merasa senang dan bangga karena mampu memberi anak-anaknya lauk frozen food. Tentu saja alasan lainnya praktis dan enak.”

Selain pola makan buruh itu, Linda juga mengatakan bahwa kesadaran berolahraga kurang di kalangan buruh. “Kayak saya, mana ada waktu untuk olahraga? Karena habis pulang kerja lanjut berorganisasi, sampai rumah sudah jam 7, harus nyuci dan beres-beres juga.”

Jangan Konsumsi Secara Berlebihan

Konde.co lalu menghubungi dr. Ahmad Kurnia, Sp.B (K). Onk Bedah Tumor (Breast & Neck & Rekonstruksi) (14/6). Ketika ditanya apakah makanan jajanan cepat saji dapat menimbulkan penyakit seperti tumor dan kista, ia mengatakan bahwa sesungguhnya jika tidak dikonsumsi secara berlebihan, makanan atau minuman tersebut tidak akan menyebabkan penyakit. 

Lebih lanjut ia menghimbau kepada perempuan untuk rajin melakukan SADARI (periksa payudara sendiri), 7-10 hari setelah menstruasi. 

“Saya melihat bahwa perempuan jarang melakukan SADARI. Padahal jika kanker dapat dideteksi secara dini, maka akan lebih cepat untuk diobati,” tutupnya.

Beberapa waktu lalu, di sebuah akun base twitter juga sempat ramai cuitan salah satu follower mereka yang mengingatkan mengenai pola makan yang berisiko terhadap kesehatan. Cuitan itu berbunyi, “guyss buat kalian semua cewe-cewe yukk kalian harus lebih aware lagi sama kesehatan ya, terutama apa yang kalian makan dan buat cowo-cowo plis ingetin pasangan kalian ya.”

Cuitan tersebut mendapatkan respon hingga 800 komentar dan 5.000 retweet. Pengirim twit di akun base itu mengunggah tangkapan layar mengenai cerita seorang perempuan yang mengalami tumor jinak di sekitar area payudaranya. Ia menyatakan bahwa pola makan yang tidak teratur serta konsumsi junk food adalah salah satu faktor yang menyebabkannya sakit.

Gaya hidup sedentari kini memang marak dijalani, apa lagi sejak pandemi makin banyak masyarakat yang terbiasa bekerja dari mana saja. Hariati Sinaga mengatakan, selain keterbatasan waktu untuk berolahraga, akses olahraga juga tidak banyak di sekitar tempat tinggal pekerja. 

“Belum lagi untuk olahraga di tempat umum seperti jogging dengan aman dan nyaman masih sulit didapatkan perempuan,” ujarnya.

Ia juga mengatakan, tidak semua perempuan memiliki privilege terhadap akses ilmu pangan. Karena ilmu pangan sendiri memiliki cakupan yang luas yang berhubungan dengan relasi sosial yang membungkusnya.

Konsumsi Gula yang Berlebihan

Konsumsi gula yang berlebihan juga ada kaitannya dengan akses terhadap air minum yang buruk. “Kita nggak bisa nyalahin masyarakat. Contohnya buruh pabrik, ketika haus dan butuh energi secara bersamaan, maka ia memilih untuk membeli teh manis kemasan. Karena bisa menghemat waktu makan, menghilangkan haus, harganya murah dan mudah didapatkan,” kata Hariati.

Ketika ditanya tentang rencana pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis, Hariati memberikan pendapat bahwa boleh-boleh saja memberlakukan cukai tersebut. Namun, hasil dari penerimaan cukai sebaiknya dialokasikan untuk subsidi makanan sehat dan pembangunan infrastruktur air bersih.

“Tidak perlu memberlakukan cukai selamanya. Sampai terbentuknya pola hidup yang sehat pada masyarakat maka cukai tidak diperlukan lagi,” kata Hariati.

Pungkasnya, “Jika harga minuman berpemanis menjadi mahal, maka masyarakat akan memilih air mineral untuk dikonsumsi. Jadi cukai jangan dilihat sebagai goals, namun dilihat sebagai salah satu instrumen untuk membentuk pola hidup sehat.”

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!