MN Diusir Setelah Mengaku Netral Gender: Bukti Nyata Otoritarianisme di Lingkungan Kampus

Pengusiran MN menunjukkan iklim akademik dan atmosfer intelektual masih tunduk pada pandangan-pandangan gender maupun seks yang dogmatis dan tunduk pada norma abad pertengahan. Dunia kampus belum mampu melepaskan diri dari arogansi dan otoritarianisme. Cara berpikir dan bertindak berdasar kebenaran tunggal atau kacamata biner harus dihentikan.

Peristiwa pengusiran terhadap mahasiswa baru Universitas Hassanudin berinisial MN karena gendernya pada Jumat (19/8/2022) viral di media social. Video rekaman layar berdurasi 1 menit 5 detik yang beredar luas di dunia maya itu menggambarkan dengan jelas bagaimana MN secara semena-mena ‘diusir’ dari kegiatan pengenalan kehidupan kampus Universitas Hassanudin (Unhas) pada Jumat lalu.

Mahasiswa baru berinisial MN diusir karena saat ditanya mengenai jenis kelaminnya, ia menjawab dirinya merupakan gender netral.

“Kita tidak terima laki-laki-perempuan di sini. Salah satunya diterima,” kata Wakil Dekan (WD) III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, Dr. Muh. Hasrul kepada MN di depan mahasiswa baru lainnya,

Diketahui, momen itu terjadi di Auditorium Baharuddin Lopa Fakultas Hukum Unhas, kompleks kampus Unhas Tamalanrea, Jalan Perintis Kemerdekaan Makassar, Sulawesi Selatan. Video yang beredar luas di media social ini mendapat tanggapan beragam dari warganet.

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) ikut buka suara terkait kejadian ini. Mereka mengecam  sikap dosen Fakultas Hukum Unhas, yakni Muhammad Hasrul dan Sakka Pati yang dalam video tersebut terbukti telah ‘mengusir’ MN keluar ruangan setelah mengaku sebagai seorang gender netral.

Menurut SEJUK, kemerdekaan memilih dan berekspresi di lingkungan kampus Unhas telah terlanggar akibat kejadian ini.

“Ironis! Dalam suasana merayakan kemerdekaan dan ketika arah pemahaman tentang Sexual Orientation, Gender Identity and Expression, and Sex Characteristics (SOGIESC), baik di tingkat lokal, nasional, dan internasional, mengacu pada keputusan WHO dan basis-basis ilmu pengetahuan dan otoritas medis yang kredibel, menghormati keberagaman gender dan seks, dosen fakultas hukum universitas negeri itu malah bertindak tidak profesional, sangat dangkal,” demikian pernyataan SEJUK di akun Instagramnya @kabarsejuk.

Direktur SEJUK, Ahmad Junaidi menegaskan cara berpikir dan bertindak dengan memakai klaim kebenaran tunggal atau kacamata biner seperti yang dilakukan Pembantu Dekan III FH Unhas ini, sudah layaknya dihentikan.

Selama iklim akademik dan atmosfer intelektual masih tunduk pada pandangan-pandangan gender maupun seks yang dogmatis, tunduk pada norma abad pertengahan, ujarnya, maka arogansi dan otoritarianisme dunia kampus akan berulang terus.

SEJUK mendesak Kemendikbud untuk segera menghentikan praktik-praktik diskriminasi gender di dunia pendidikan tinggi, seperti yang terjaid di FH Unhas ini.

“Jangan ada lagi mahasiswa yang menjadi korban diskriminasi gender dan seksualitas berikutnya di lingkungan pendidikan manapun dan level apapun,” tandas SEJUK dalam pernyataan tertulisnya.

Ahmad Junaidi juga menyayangkan hal ini terjadi di Sulawesi Selatan. Pasalnya di Sulawesi Selatan, sejak lama dikenal lima gender. Selain laki-laki dan perempuan (uroane dan  makkunrai), budaya Sulawesi Selatan juga mengenal adanya laki-laki berpenampilan perempuan (calabai), perempuan berpenampilan laki-laki (calalai), dan bissu (perpaduan semua gender).

Di mana bissu yang merupakan perpaduan semua gender (netral gender) berada dalam posisi yang sangat dihormati. Bissu yang biasanya berpasangan dengan transgender, ujarnya, diposisikan sebagai penasehat raja.

“Jadi, sangat disayangkan ada dosen bersikap seperti itu, apalagi sampai meminta mahasiswa keluar ruangan karena gendernya. Sebagai akademisi seharusnya dia tidak melakukan diskriminasi berdasarkan agama, ras, etnis dan orientasi seksual. Apalagi ini, terjadi dalam masyarakat Sulawesi Selatan yang mengenal lima gender,” kata Ahmad Junaidi ketika dihubungi Konde.co Senin (22/8/2022).

Ahmad menegaskan, harusnya semua pihak terutama para akademisi di lingkungan kampus menghormati pilihan gender orang lain. Selain itu, setiap orang juga tidak seharusnya memaksakan pandangannya kepada orang lain.

Dalam kasus kampus Universitas Hasanuddin, Ahmad sepakat bahwa sebaiknya institusi pendidikan di semua level menghormati pilihan gender siswa dan mahasiswanya. Sudah seharusnya Muhammad Hasrul dan Sakka Pati meminta maaf dan mengakui kesalahannya serta berjanji tidak lagi mengulangi perbuatannya.

Ahmad Junaidi menambahkan, kecenderungan homofobik masih banyak ditemukan di lingkungan perguruan tinggi. Ia mencontohkan, pada 2016 silam Universitas Indonesia pernah menolak mengakui kelompok diskusi tentang keragaman gender sebagai organisasi resmi kampus.

“Bahkan ada perguruan tinggi yang secara terbuka menyebutkan “Tidak menerima mahasiswa LGBT”. Ini kan tidak benar,” imbuh Junaidi 

Mengatasi kondisi ini, Junaidi menegaskan aturan untuk tidak mendiskriminasi lebih ditegakkan, terutama di pihak pengajar dan civitas akademika di lingkungan perguruan tinggi. Kampus sebagai tempat belajar dan pendidikan yang melahirkan kelompok intelek seharusnya sudah terbebas dari diskriminasi dalam hal apapun.

Gender itu tak hanya laki dan perempuan.

Dihubungi terpisah, Ayu R. Yolandasari, lulusan Magister Women’s Studies, Ewha Womans University Korea Selatan juga mengungkapkan keprihatinanya. Apalagi hal ini terjadi di Unhas yang sudah menyatakan diri sebagai inklusif dan berada Sulawesi Selatan yang secara kultural mengakui lima sistem gender.

“Jadi ketika ada mahasiswa bukan dari gender biner dipermalukan, diinvalidasi identitasny aseperti itu, ini sangat keluar dari culture di sana,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Menurut Ayu, kejadian ini menunjukkan ada gap yang sangat besar antara pengetahuan dosen dengan maba tentang gender. Dosen menanyakan gender, tetapi ia berpegang pada jenis kelamin. Ada pengetahuan yang nggak nyambung bahwa identitas gender yang dasarnya subyektifitas individu berbeda dengan jenis kelamin yang ditetapkan dengan karakteristik biologis,

Ia juga melihat ada pelanggaran kode etik dalam kejadian ini. Bagaimana seorang dosen menanyakan hal personal di depan umum kepada mahasiswa yang memiliki kerentanan yang tinggi.

“Sebagai maba, MN harus dilindungi. Ini pelanggaran kode etik yang sangat fatal dan keluar dari jargon inklusifitas yang diusung Unhas selama ini,” tegasnya.

Peraturan Senat Akademik Universitas Hasanuddin No. 469124 / UN.4/IT.03/2016 Tentang Kode Etik Dosen Universitas Hasanuddin sendiri melarang segala perbuatan diskriminasi berdasarkan alasan apapun.

Pasal 11 Peraturan Senat Akademik Unhas nyata-nyata menyebutkan bahwa “Setiap dosen berkewajiban menjunjung tinggi kesetaraan dan pluralisme serta tidak melakukan diskriminasi berdasarkan kriteria apapun seperti ras, etnis, agama, golongan, gender, status perkawinan, usia, disabilitas, dan orientasi seksual”

Ayu mengingatkan, dampak yang dirasakan MN dari kejadian ini bisa berkelanjutan dan berdampak jangka panjang. MN rentan mendapat bullying baik dari dosen, para pegawai maupun dari sesama mahasiswa.

Agar kejadian seperti ini tak terulang lagi, Ayu memandang pentingnya semua tenaga pendidik terutama dosen untuk mempelajari kajian gender dan seksualitas.

Ditambahkan, ada banyak sekali jenis gender di muka bumi ini. Jumlah itu masih terus berkembang karena identifikasinya berdasar subyektifitas masing-masing orang. Namun, hingga saat ini hukum positif Indonesia hanya mengakui dua jenis kelamin yakni laki-laki dan perempuan.  Hal ini tidak bisa lagi mengakomodasi jenis kelamin yang ada di luar itu, seperti interseks dan jenis lain di luar yang sudah ditetapkan sejak lahir yakni laki-laki dan perempuan.

Pandangan heteronormative dan sistem biner yang dianut selama ini telah banyak menimbulkan problem bagi mereka yang terlahir sebagai interseks. Masih banyak orang beranggapan, di luar laki-laki dan perempuan sebagai hal yang tidak normal, sehingga harus disembuhkan, dipinggirkan atau bahkan dibuang.

Konstruksi inilah yang memicu diskriminasi kepada mereka yang terlahir sebagai interseks. Sehingga jika memungkinkan, hukum positif ini harus dikaji ulang.

“Tentang hukum positif ini, jika memungkinkan, bisa dikaji ulang. Bagaimana dengan teman-teman interseks yang sejak kecil ditentukan sebagai laki-laki atau perempuan tapi dalam pertumbuhannya mengarah pada hal yeng berbeda?” imbuhnya.

Menutup perbincangan kami siang itu, Ayu mengatakan kejadian di FH Unhas ini bisa terjadi karena pendidikan seksual yang belum berjalan dengan baik. Hingga saat ini pendidikan seksual sulit diakses karena karena sekolah menabukan diskusi tentang seksualitas. “Pendidikan seksual masih dilakukan secara jalur informal, melalui pelatihan-pelatihan yang dilakukan NGO atau berjejaring. Selain itu penyebaran pengetahuan tentang seksualitas sering terbentur pada value pribadi yang dipegang orang per orang,” paparnya.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!