Privasi adalah Isu Feminis: Ramai-Ramai Blokir Kominfo

Isu privasi adalah isu feminis, Kominfo tak bisa mengendalikan tubuh perempuan atas nama privasi dan aturan digital

Pelanggaran privasi itu seperti bentuk kontrol yang melanggengkan ketidaksetaraan. Di zaman ekosistem bisnis digital yang masif seperti sekarang, ini menjadikan isu privasi jadi begitu politis.

Feminis mengarahkan kita pada gerakan dan ideologi yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan di lingkup pribadi dan ruang publik. Begitu juga dengan privasi.

Privasi adalah salah satu elemen penting isu perjuangan feminis. Isu privasi menjadi hal genting yang belakangan banyak diperbincangkan. Publik ramai-ramai memprotes aturan Menteri Komunikasi dan Informasi (Permenkominfo) kaitannya dengan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), yang dianggap dapat merenggut hak privat hingga kebebasan. 

Sebelumnya, Peneliti ELSAM menyampaikan, PSE lingkup privat dikatakan wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau Data Elektronik kepada Kementerian atau Lembaga dalam rangka pengawasan. Padahal, definisi ‘pengawasan’ dalam Permenkominfo 5/2020 ini masih sangat luas. Sementara saat ini, kita juga belum memiliki payung hukum yang menjamin Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang komprehensif yakni RUU PDP. 

Maka di situasi itu, minimnya regulasi dan mekanisme pengawasan PDP tentu saja bisa menyebabkan potensi penyalahgunaan wewenang yang tinggi: pelanggaran privasi data. 

Lalu, mengapa kemudian isu privasi ini kemudian bisa menjadi isu feminis yang mesti diperjuangkan? 

Blandina Lintang dari Purple Code Collective menyampaikan, penting bagi feminis untuk merebut kembali isu privasi karena privasi itu berarti kontrol atas diri kita.

Hak privasi itu memungkinkan kita untuk mengakses hak-hak lain. Terlebih bagi perempuan, yang selama ini dalam sejarah menjadi kalangan yang secara sistematis dibuat kehilangan privasinya. Misalnya saja kaitannya dengan masyarakat (society) yang acapkali mengontrol tubuh perempuan termasuk keputusan-keputusannya. 

“Jadi privasi itu tidak sebatas ini punya saya, bukan tentang belonging atau ownership. Privasi tidak soal suka-suka gue. No. Ini adalah soal otoritas dan bagaimana kita mengendalikan hak-hak kita (utamanya bagi perempuan–red),” ujar Blandina kepada Konde.co, Senin (1/8). 

Hal krusial yang dihadapi saat ini, menurutnya juga terkait data. Bagaimana teknologi hari ini sangat masif memanfaatkan data. Potensi ancamannya, semua data seolah tak bisa lagi kita kontrol siapa yang menggunakan, siapa yang mengakses, siapa yang memanfaatkan akibat nihilnya aturan perlindungan data pribadi. 

“Itu menunjukkan bahwa kita itu sudah gak punya kontrol.. dan kita hari ini menjadi target yang menempatkan kita hanya sebagai komoditas,” katanya.  

Kondisi sosial kita saat ini apalagi, menurutnya juga masih begitu maskulin, heteronormatif dan patriarki sehingga berpotensi menimbulkan banyak ketimpangan. Nilai-nilai  itulah yang kemudian, membuat kelompok minoritas/rentan seperti perempuan dan ragam identitas gender semakin terpinggirkan dan tak berdaya atas hilangnya otoritas. 

“Teman-teman queer dan kelompok ragam identitas gender LGBT Community, mereka juga tidak punya kontrol atas tubuh dan identitasnya karena nilai-nilai tadi,” imbuhnya. 

Isu Privasi adalah Perjuangan Bersama

Blandina melanjutkan, pelanggaran hak privasi sebagai bentuk upaya mengontrol dan melanggengkan ketidaksetaraan. Terlebih di era ekosistem bisnis digital yang masif menjadikan isu privasi ini menjadi begitu politis. Singkatnya, bisa “diperjualbelikan” data dengan keuntungan ekonomi. 

Selain pentingnya menguatkan kontrol atas diri melalui upaya perlindungan privasi, menurutnya juga perlu untuk menempatkan isu privasi bukan sebatas persoalan masing-masing individu. Namun, isu bersama yang mendesak untuk diperjuangkan. Dengan kata lain, isu privasi adalah isu kolektif. 

“Karena kalau itu sebatas individual, maka hak privasi akan menjadi tergantung privilege-nya. Tergantung dia dari kelas mana, identitasnya apa. Bukan perkara individual,” tegasnya. 

Dirinya menambahkan, hak privasi dalam ranah feminisme juga bisa berarti perjuangan untuk memerdekakan. Ia mencontohkan kaitannya dengan isu kekerasan terhadap perempuan, masih seringkali justru dihambat dengan dalih “hak privat” sehingga sebaiknya diselesaikan dengan kekeluargaan atau tidak perlu ikut campur. 

“Isu privasi ini sebelumnya, menjadi tameng untuk menutupi bentuk-bentuk kekerasan. Hari ini kita masih menemukan bagaimana isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan seksual pemerkosaan, dianggapnya itu privasi atau aib yang gak perlu publik tau,” terangnya. 

Maka dari itu, Blandina menegaskan, perjuangan isu privasi mesti dimaknai sebagai suatu upaya memerdekakan perempuan dari kekerasan dan ketidakadilan. Bukan malah sebaliknya, disalah artikan sebagai pelanggeng penindasan. Paling tampak pada isu kekerasan seksual dimana berdalih privasi/aib, korban mengalami viktimisasi yang kedua kali. 

Salah satu contohnya, kasus kekerasan Seksual di Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, yang mana korban butuh waktu panjang tuntaskan kasus yakni  sampai 2 tahun atau lebih oleh salah satu pengurus pesantren. Relasi kuasa begitu kuat di sini, mengingat pelaku merupakan anak pemilik dan pengasuh pondok pesantren, serta pemilik pusat kesehatan ternama.

Penyalahgunaan isu privasi di sini tampak pada upaya Kyai Muchtar Mu’thi —ayah pelaku, yang sengaja melakukan pertemuan dengan Kapolres Jombang AKBP Muh Nurhidayat untuk menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual yang terjadi adalah fitnah dan masalah keluarga (privasi). Dia meminta kasus ini untuk tidak ditindaklanjuti.

“Itu sejarah buruk “isu privasi”, tetapi pada perkembangannya kita dapat melihat bahwa privasi itu yang seharusnya sesuatu yang memerdekakan kita. Karena ini adalah recognize kita dan otonomi kita terhadap sesuatu yang tidak adil. Terhadap situasi yang timpang. Kita perlu debunking (miskonsepsi) “privasi yang lama” dengan privasi hari ini yang memerdekakan, menguatkan kontrol atas diri,” pungkas dia. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!