Seksualitas Dan Wacana Gender: Kuasa Pengetahuan Pascakolonial Direplikasi Hingga Kini

Sepertinya kita sudah melewati masa kolonialisme, padahal sejatinya tidak. Refleksi Buku “Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial” karya Katrin Bandel membuktikan bahwa kita tak akan terbebas atau tak akan benar-benar terbebas dari pengaruh kolonial. Kuasa pengetahuan pascakolonial atas gender, seksualitas dan tubuh perempuan ini bahkan terus direplikasi hingga kini

Masa Kolonial sudah lama ditinggalkan. Kita berada pada masa pascakolonial, setidaknya sejak tujuh puluh tujuh tahun lalu: merdeka dan terbebas dari pengaruh kolonial! 

Namun dalam buku Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial, Katrin Bandel membuktikan bahwa kita tak akan terbebas atau benar-benar terbebas dari pengaruh kolonial. 

Buku setebal 135 halaman ini dipilih para penulis “Ruang Baca Puan” sebagai bacaan refleksi pada perayaan kemerdekaan Indonesia ke-77 pada 17 Agustus 2022. Diskusi buku Katrin Bandel ini juga digagas dua bulan lalu saat menanggapi sebuah berita tentang kata “berharga” dalam cerita  asal muasal sebutan kutang yang dimuat di instagram dan facebook.

Buku Katrin Bandel “Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial”
(Sumber gambar: IG Jual Buku Sastra)

Payudara, Kutang dan Wacana Kecantikan Sejak Zaman Kolonial

Don Lopez Comte de Paris adalah bangsawan Perancis yang datang ke nusantara pada tahun 1808. Saat ia melihat wanita Jawa tidak menutup dadanya, ia memberikan kain untuk menutup dadanya sambil bilang “countant” yang artinya “berharga” dalam bahasa Prancis. Kini countant menjadi bahasa serapan di Indonesia yang kita kenal sebagai “kutang”.

(https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=406423858066888&id=102946718414605)

Cerita tentang  Don Lopez ini sebenarnya ada pada novel Pangeran Diponegoro dan Perempuan Bernama Arjuna 5: Minasanologi dalam Fiksi karya Remy Silado (2016). 

Makna soal payudara perempuan yang “berharga” yang ditulisnya ini kemudian menjadi pembahasan panjang dalam grup WhatsApp. Ternyata kutang itu salah satu warisan kolonial, termasuk hal-hal keseharian lainnya yang dialami perempuan. 

Seperti apa pengalaman yang terkait dengan sedimen kolonial bangsa yang dijajah?  Mulai definisi cantik dan putih bagi kulit perempuan yang merujuk pada sosok perempuan Eropa, anggapan orang “bule” itu istimewa dan lebih pintar, menikah dengan bule itu memperbaiki keturunan, hingga perlakuan berbeda terhadap hijab, dan juga tentang asal muasal “haji” menjadi gelar di depan nama seseorang yang pulang dari kota Mekah. 

Ternyata, kita yang hidup di zaman pascakolonial ini menerima narasi sepotong-sepotong, dan tak mengikuti perubahan dan perdebatan yang terjadi dari waktu ke waktu. 

Jika kita telan mentah-mentah potongan-potongan tersebut, akan berpotensi menjadi dogma dan kebenaran yang bisa mengawetkan lapis kuasa kolonial. Buku Katrin Bandel yang terbit enam tahun lalu ini masih sangat relevan dan patut kita apresiasi karena membantu kita untuk menyambungkan potongan-potongan tersebut. 

Kuasa Pengetahuan Pascakolonial

Bandel mengajak kita memikirkan kembali pengetahuan yang kita dapat, yang parsial, dan kontekstual. Misalnya pengetahuan yang dituliskan Sugiarti Siswandi sastrawan LEKRA dalam  cerpennya “Belajar” yang dibahas Bandel dalam bukunya. 

Cerpen ini bertutur tentang seorang petani sederhana di pedesaan Jawa dan membaca berita tentang peluncuran satelit sputnik milik Rusia dan wacana pengetahuan seputar luar angkasa. Mereka sangat antusias mengetahui hal itu dan berbangga terhadap keunggulan Uni Soviet yang meluncurkan roket ke luar angkasa. 

Di satu sisi cerpen menggambarkan hal yang positif tentang keingintahuan dan keinginan belajar para petani di desa. Namun, di sisi lain ada informasi yang menurut Bandel terabaikan tentang sisi gelap kemajuan ilmu pengetahuan dan perlombaan pamer teknologi antara Rusia dan amerika Serikat kala itu, dan mengabaikan persoalan di belahan dunia lain seperti kelaparan dan bencana  yang lebih membutuhkan dibanding membiayai pembuatan satelit. Bandel mengingatkan bahwa pengetahuan dan kejadian perlu dilihat dalam kontek zaman, atau kapan itu muncul.

Ini membuat kita bertanya: apakah kekaguman mereka ada hubungannya dengan wacana kolonial?. Dimana barat dianggap lebih maju daripada dunia timur, atau bekas penjajah dianggap lebih maju daripada negara bekas jajahannya, sehingga semuanya harus membutuhkan uluran tangan dari barat?. Apakah ini ada hubungannya dengan orang-orang desa yang menganggap merantau dan bertahan hidup di kota besar itu jauh lebih keren dan terpandang dibanding yang tinggal di desa? Sementara mereka yang tetap memilih di desa – mandiri sebagai petani dianggap lebih tertinggal?. 

Ini yang membuat sebagian petani kemudian berbondong-bondong meninggalkan desa untuk pindah ke kota. Wacana kolonial juga menganggap keterbelakangan erat kaitannya dengan adat, tradisi daerah, dan agama. Sehingga lengkaplah sudah ketertinggalan orang-orang di pedesaan yang masih mempertahankan adat istiadat dan taat pada keyakinan ataupun kepercayaan yang dianutnya.

Apa yang salah dengan Hibriditas?

Suatu hari, seorang kawan laki-laki bertanya apa identitas saya. Saya pun dengan cepat menjawab:

“Campuran suku Dayak Benuaq dan Jawa.” 

Setelahnya ia tertawa dengan merespon jawaban saya. 

“Hahaha ternyata hybrid kamu”.

Saya pun heran dengan tawanya meski saat itu demi menjaga silaturahmi, akhirnya saya hanya tersenyum kecut. Mau bagaimanapun, jawaban saya adalah kenyataan. Saya tak mungkin mengubah identitas saya, menjadi seorang Dayak Benuaq murni ataupun Jawa sepenuhnya. Saya adalah hasil dari cinta kedua orang tua saya yang menikah antar etnis”.

Refleksi AV, Agustus 2022

Kutipan di atas bisa ditangkap sebagai catatan biasa. Tapi oleh yang mengalami, tawa itu bisa dianggap ejekan, yang membawa pada daftar pertanyaan baru: “apa yang salah dengan menjadi hybrid? Sebegitu rendahkah sampai harus ditertawakan? Buku Bandel  bisa meredam kegundahan itu. Esainya, “Kartini, Manusia Hybrid”, dia menggambarkan dalam diri kita masing-masing memang ada dua atau bahkan lebih identitas. Entah kebangsaan dari mana, agama apa hingga suku dan sebagainya. Belum bicara ideologi yang dianut sebagai prinsip hidup dan masih banyak lagi. Hal pentingnya, kita bisa belajar dari setiap identitas yang melekat selama kita masih hidup. Bedanya dengan Kartini yang meninggal 118 tahun lalu, dia tak bisa mengelak, apalagi protes dan berkirim email sanggahan.  Katrin Bandel membantu kita memahami Kartini sebagai manusia yang hibrid.

Sebelum membaca buku ini, sepertinya kita menjadi bagian dari orang yang menaruh beban pada Kartini. Menganggap Kartini adalah pahlawan pendidikan, feminis, dan menyuarakan kesetaraan perempuan. Sebagian lainnya membebankan gelar keagamaan kepada Kartini, yaitu sebagai murid Kiai Sholeh Darat. Kita semua begitu menggebu menganggap Kartini sebagai sosok yang sesempurna itu. Padahal dalam surat-surat yang dikirimkannya, nampak sekali Kartini adalah sosok yang hibrid dan sempat bingung dengan identitasnya. Sebagai contoh, ia menyatakan bahwa dirinya tak mau dinikahi oleh laki-laki beristri. Namun, pada akhirnya ia memutuskan bersedia menikah dengan Bupati Rembang, sebagai istri kedua.

Tentu saja kita tak akan tahu alasan Kartini melakukan pilihan itu. Kita juga tak bisa menyalahkan keputusannya. Sebab kita tak pernah benar-benar tahu betapa rumitnya kondisi Kartini kala itu. Ia adalah kesatuan semua identitas yang kita kenal, dengan segala pertentangannya. Harusnya kita memahami Kartini adalah manusia hybrid yang gelisah dan terombang-ambing. Memahami dan menerima Kartini juga manusia hybrid, rasanya bisa jadi bekal untuk memahami diri sendiri dengan segala ketidaksempurnaannya. Diri kita dengan segala perdebatan di dalamnya, dengan beragam keunikan hibriditas masing-masing.

Gender, Sex dan Posisionalitas

Bagaimana dengan gender? Bandel mengajak memahami pandangan kita tentang definisi sex/gender beserta ragam persoalannya. 

Ia mengajak kita untuk merefleksi dinamika sejarah bagaimana gender dan sex didefinisikan dan dikategorikan, serta hubungannya dalam memposisikan diri. Pada kenyataannya, sejarah kuasa politik dan pengetahuan menjadi unsur penting dalam mendefinisikan gender (kelamin sosial) dan sex (kelamin biologis). 

Ternyata tak hanya gender yang dikonstruksi secara sosial, tetapi juga sex atau identifikasi kelamin yang juga dikonstruksi secara pengetahuan. Ini terjadi khususnya pada abad 19 bersamaan dengan berkembangnya pengetahuan kedokteran yang lantas memiliki kuasa dalam mendefinisikan batas ciri anatomis laki-laki dan perempuan, termasuk dinilai ‘normal’ maupun ‘abnormal’. 

Artinya pemahaman tentang gender dan sex itu tidak statis dan tidak universal. Mendialogkan hal-hal yang dianggap tabu ini penting untuk menghindari universalitas dalam hubungan sosial ekologi yang makin kompleks.

Kembali kepada identitas yang tidak tunggal, Bandel mengingatkan kehidupan kita tak hanya dibentuk oleh sex, ras dan gender, tapi juga identitas lainnya, termasuk agama, pendidikan, umur dan lainnya. 

Lalu Kimberley Crenshaw (1989) juga menunjukkan pengalaman perempuan kulit hitam tentang bagaimana identitas itu tumpang tindih dan mempengaruhi relasi kuasa dalam keseharian para perempuan kulit hitam. Ia menyebutnya sebagai interseksionalitas. Bandel mencontohkan pengalaman dirinya menjadi muallaf dan kegundahan memakai dan melepas jilbab. Kegundahan melepas jilbab dan perseteruan yang muncul di dalam dirinya terjadi setelah itu. Ada perasaan bebas sekaligus rasa bersalah yang muncul bersamaan. Lebih-lebih ketika dia berjumpa dengan orang-orang berkulit hitam: mereka tak bisa menanggalkan “kulit hitam” sebagai identitasnya seperti saat ia menanggalkan jilbabnya. Bandel harus menghadapi ambivalensi barat, bangsanya sendiri, saat menyebut pilihannya memakai jilbab sebagai sebuah kemunduran.

Bandel mencontohkan bagaimana cara memandang dan memposisikan diri ini berujung pada berlatih dan praktek yang terus menerus, sebagai tindakan empati, dan menciptakan sebuah ruang bercakap dan bernegosiasi. Bagaimanapun setiap pengetahuan itu parsial. 

Donna Haraway (1988) mengingatkan tentang “situated knowledge”, pengalaman yang tersituasikan, yang selalu parsial dan tidak utuh. Khususnya pengalaman ketubuhan perempuan yang memiliki peran unik jika dibanding laki-laki dalam hal sosial dan biologis. 

Buku ini mengajak kita memikirkan kontek dan konten, serta dinamika yang hibrid dan mengalir dan terus berubah yang akan membantu kita memposisikan diri dalam situasi komunitas dan dunia yang terus berubah.

Saya lahir pada masa setelah kolonial Belanda cabut diri dari Samarinda dan juga setelah rezim orde baru di Indonesia, maka disitulah saya harus belajar jejak apa yang ditinggalkan. Beberapa informasi yang saya dengar yaitu melalui catatan sejarah dan kebudayaan. Dua penulis asal Samarinda membantu saya mendiskusikannya seperti Romo Roedy Haryo Widjono dan Bung Muhamad Sarip. Misalnya Romo Roedy cukup heran pada saya yang tidak fasih Bahasa daerah Dayak Benuaq ini menjadi ejekan sedikit tetapi menyentil pikiran saya. Siapa yang disalahkan disini? Bukankah kita identik dengan Bahasa Ibu? Sedang Ibu saya berdarah Jawa pun tidak mengajari dan akhirnya di rumah, kami menggunakan Bahasa Indonesia hingga hari ini. Dan apakah itu sebuah kesalahan? Sebab bagi saya kesalahan itu saya menolak mengenal identitas asal-muasal saya. Dewasa ini saya kembali terus mencari jawaban itu semua, bersama dengan pengetahuan lokal setempat.

(Pengalaman AV, Agustus 2022)

Pascakolonial, Dimana Letak Ekologi?

Sejarah penggunaan kutang di Indonesia dimulai pada awal abad 19 ketika dimulainya pembangunan proyek jalan Daendels dari Anyer sampai Panarukan tersebutlah seorang pembantu setia Gubernur Jenderal yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan proyek tersebut. Dia adalah Don Lopez comte de Paris keturunan Spanyol. Hingga awal abad 19 di daerah Jawa masih banyak penduduk wanita yang bertelanjang dada. Mereka hanya memakai penutup di bagian bawah. Bahasa Jawanya ngligo, dan ini sebenarnya hal yang biasa di desa-desa dan kota. Don Lopez merupakan orang yang pertama kali menyuruh para pekerja paksa proyek jalan Anyer Panarukan itu untuk menutup bagian payudaranya. Kepada budak-budak dari Semarang yang mengerjakan jalan pos di kota tersebut Don Lopez memotong kain putih dan memberi kepada salah satu budak perempuan. Sambil memberikan potongan dia berkata “tutup bagian berharga itu” dalam bahasa Prancis kata berharga “coutant”. Saat itulah orang Indonesia mulai mengenal kutang dan mulai mengembangkan dalam bentuk yang sangat sederhana.

(Sulistyaningrum (2011) mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta)

Catatan tentang Kutang dalam tugas akhir yang membahas kostum penari indhel, tarian tentang para perempuan pembuat gula Jawa di Banyumas ini bisa menghubungkan isu rasisme, kolonialisme, ekologi dan pascakolonial. 

Mulai dari budaya “ngligo” yang dulu adalah hal umum di Jawa, yang dianggap tak beradab oleh seorang bangsawan barat. Atau pembangunan jalan Anyer-Panarukan dan praktik perbudakan yang menyediakan infrastruktur jalan dan mendorong percepatan ekonomi di sekujur tubuh pulau Jawa, yang menjadi kiblat model pembangunan bagi provinsi lainnya di Indonesia. Pandangan terhadap sungai sebagai halaman depan bergeser menjadi halaman belakang di Kalimantan, sejak pembangunan-pembangunan jalan digalakkan untuk mengangkut log-log kayu pada 1970-an, diteruskan dengan pertambangan pada 2000-an. Artinya, kondisi-kondisi  sosial politik dan ekonomi terbentuk dalam relasi dengan ekologi.

Sayangnya buku Bandel ini belum sampai membahas ekologi sebagai isu penting paskakolonial. Jika kolonial dimaknai sebagai pencaplokan tanah tempat tinggal orang lain, serta penindasan dan eksploitasi penghuninya (hal. 5), maka kolonialisme adalah moda akumulasi kapital, yang menghubungkan dinamika global dan lokal. Sistem kapitalisme beroperasi memperlakukan alam murah dan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja perempuan yang tidak berbayar yang mengurus kerja-kerja reproduksi dan domestik. 

Model pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi kemudian menjadi satu-satunya ukuran indikator kemajuan di Indonesia yang juga jadi bagian wacana kolonial yang terus eksis. 

Di Kalimantan, masuknya komoditas karet sepaket dengan masuknya agama baru yang dibawa oleh Belanda pada abad ke 18 mengubah hubungan-hubungan sosial antara masyarakat dengan lahan, akumulasi tanah dan pendisiplinan kerja perempuan dan laki-laki dalam keluarga. Namun sampai sekarang pun, pulau Kalimantan dan pulau-pulau lainnya terus menjadi wilayah perampasan lahan untuk diubah menjadi kawasan tambang, penebangan dan perkebunan skala besar, yang mempengaruhi hubungan-hubungan gender di dalamnya. 

Maka pascakolonial mesti berbicara tentang ekologi. Ini akan menghubungkan kita dengan persoalan yang akan mengubah berbagai hubungan yang ada di muka bumi: perubahan iklim.

Wacana Kolonial yang Bertahan Lama dan Direplikasi: Penutup

Sepuluh esai yang dihubungkan dengan pengalaman pribadi Katrin Bandel dalam buku ini bisa mengurangi sebagian kegamangan atas pertanyaan-pertanyaan tentang gender dan identitas lainnya. Ia seperti memberikan sepotong pijakan untuk melangkah lebih lanjut. 

Terhadap pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, buku ini menyarankan kita terus melakukan refleksi. Tak hanya keluar, seperti merefleksikan apa yang disampaikan Bandel sebagai perempuan yang lahir dan tumbuh di Eropa. 

Apa saja sedimen kolonial yang mempengaruhi kehidupan Katrin Bandel atau warga Eropa lainnya yang berpengaruh mengawetkan wacana kolonial di Indonesia? Tapi juga refleksi ke dalam, seperti menanyakan apa pengalaman keseharian yang membuat wacana kolonial bertahan lama dan direplikasi terus menerus.

Adjie Valeria, Belgis Beng, Rezha Rizky dan Siti Maimunah

Para penulis adalah pembelajar di Sekolah Ekofeminis ‘Ruang Baca Puan’
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!