Bermula saat Irma menjadi mahasiswa, ia memutuskan bergabung menjadi relawan di sebuah desa yang terdapat beberapa korban kekerasan seksual saat masa konflik Aceh. Kondisi para korban kekerasan seksual ini, banyak yang tidak berani bicara karena hidup mereka didiskriminasi dan dijauhi dari lingkungan. Para korban bahkan kerap dicap sebagai “pacar tentara” atau “lonte”.
Proses pendekatan yang dilakukan Irma cukup lama yaitu satu setengah tahun hingga dia bisa mendapatkan kepercayaan para korban untuk menceritakan kisahnya. Para korban awalnya cenderung menutup diri, sensitif, dan agak kurang senang didatangi apalagi diajak diskusi. Bahkan, mereka juga terkesan mencurigai siapapun orang baru yang masuk ke desa termasuk Irma.
Dengan penuh kesabaran dan melindungi dengan merahasiakan identitas mereka, Irma pun akhirnya berhasil menceritakan kisah para korban kekerasan seksual. Hal itu dilakukan karena kondisi mereka yang belum sepenuhnya pulih ketika masa lalunya tentang konflik di Aceh diungkit, meskipun sekarang sudah damai.
“Saya anggap tulisan ini termasuk berani,” ujar Irma dalam launching buku Aku Berani Cerita: Pengalaman Anak Muda Aceh Hadapi Diskriminasi Gender, Rasisme dan Ketidakadilan yang diterbitkan The Leader dan Konde.co, Kamis (15/9).
Tulisan Irma yang berjudul “Trauma Kekerasan Dan Nikah Siri Kondisi Perempuan Pasca Darurat Militer” masuk dalam salah satu daftar tulisan di buku Aku Berani Cerita tersebut.
Penulis lainnya, Ainul Fahmi, dalam tulisannya berjudul “Rinduku Terbayar Tuntas”, menceritakan pengalaman pertemanannya dengan teman beda agama. Fahmi mengenal seseorang yang setelah 2 bulan lamanya kenal, dia baru tahu bahwa temannya bukanlah seorang beragama Islam, meskipun memakai jilbab.
Saat itu, muncul ide untuk mewawancarai temannya itu tentang bagaimana rasanya tinggal di Aceh dan menggunakan jilbab. Ternyata baru Ainul tahu, bahwa temannya itu disuruh pakai jilbab oleh orang tuanya agar lebih menghargai umat Islam di Aceh.
“Sebenarnya selama tinggal di Aceh dia merasa aman dan senang. Tapi yang menjadi ganjalan saat dia tidak sedang pakai jilbab, ke mesin ATM misalnya orang-orang akan menatapnya, lalu ganjalan lainnya teman-temannya sendiri sering bertanya kenapa dia tidak masuk Islam saja, kan sudah pakai jilbab,” kata Ainul.
Menyoal itu, Ainul jadi mengerti apa yang selama ini dialami oleh temannya itu. Ainul tidak setuju dengan adanya diskriminasi yang terjadi terhadap mereka. Kepercayaan agama itu semestinya begitu personal dan tiap orang harus saling menghargai.
“Coba saja kalau pertanyaannya dibalik?” kata Ainul.
Setelah berteman dengan teman yang berbeda Ainul merasakan bahwa ternyata mereka peduli dan siap membantu sama seperti manusia lainnya, tidak seburuk seperti yang dituduhkan.
Cerita berikutnya dari Fazil Rinaldi dengan tulisannya yang berjudul “Cerita Perempuan Pintar Aceh Merebut Ruang Publik”, nama pena: Narasenja.
Fazil sebagai laki-laki pernah terlintas di pikirannya sebuah pertanyaan tentang mengapa perempuan tidak diberi ruang? Apa laki-laki takut disaingi perempuan? Fazil juga menemui bahwa hanya perempuan yang nanti setelah menikah harus memilih antara karir dan rumah tangga? Kenapa laki-laki tidak disuruh memilih demikian?
“Saya sadar akan hal ini awalnya saat sedang mandi waktu anak-anak. Setiap anak yang mandi kadang pernah lupa mematikan kran air. Saat itu Ibulah yang berteriak paling besar untuk mematikan kran air, kenapa bukan bapak yang peduli?” kata Fazil.
Dia sadar bahwa memang selama ini banyak beban di rumah yang dilimpahkan sebagai urusan Ibu. Kemudian lanjut ke pemikiran, bagaimana seorang perempuan bisa memiliki karya ketika ia tidak diberi ruang? Seorang ibu yang dipaksa memahami teori tapi tidak memberinya ruang praktik?
Fadil bercerita saat dirinya lulus ada satu mahasiswa perempuan dengan IPK 3,90 dan langsung mendapat tawaran pekerjaan di Banda Aceh. Tapi karena anggapan bahwa perempuan itu “tidak baik” lama-lama di luar kampung, lalu akhirnya ia memilih menjadi honorer di kampungnya. Padahal ia seorang yang bisa menulis dan cakap dalam berbicara.
Ayah teman perempuannya itu sebetulnya tidak takut atas keselamatan putrinya saat bekerja jauh dari rumah, tapi bisik tetangga seperti “Nanti anaknya terlalu pintar tidak ada yang mau.”
Usai Fazil mengikuti kegiatan The Leader, dia kemudian bertekad akan tetap berjuang untuk feminisme. Salah satunya melalui tulisannya di buku Aku Berani Cerita ini yang menggaungkan untuk melawan pemunduran perempuan.
“Laki-laki hebat berani mendukung perempuan di sampingnya untuk maju ke depan” ujarnya.
Penulis dan peneliti sejarah, perempuan dan dekolonialisme, Raisha Kamila, yang menjadi salah satu mentor The Leader mengungkapkan apresiasinya terhadap kerja The Leader yang telah menjadi support system untuk anak-anak muda Aceh berani bicara.
“Dengan adanya The Leader, beruntung anak muda Aceh yang mengalami keresahan bisa saling menemukan satu sama lain. Bukan hanya sebagai media menulis buku namun juga support system,” kata Raisha.
Dirinya mengatakan, di Aceh seringkali selalu diwarnai ketakutan, orang tua selalu melarang ini itu, dan ini masih berlangsung sampai anak itu dewasa, orang tua masih melarang anak-anaknya. Dirinya sebagai perempuan jadi seperti tidak tahu rasanya punya pilihan dan kehendak sendiri.
“Saat saya melakukan penelitian di Aceh, warga akan bertanya hal-hal seperti: apa kamu orang Aceh, bisa bahasa Aceh atau tidak, sudah berkeluarga atau belum. Ada memang tipe keluarga yang membebaskan anaknya, menyediakan akses belajar bahasa Inggris, tapi ketika anaknya besar, anaknya tetap akan terbentur dengan keadaan sosial masyarakat yang sulit menerima perbedaan,” ceritanya.
Pun saat dirinya memutuskan untuk merantau ke luar Aceh untuk berkuliah. Banyak sekali pandangan-pandangan yang seolah mengerdilkannya.
“Hati-hati kuliah di Jawa, nanti bukannya bawa ijazah, tapi bawa anak” demikian kata tetangganya.
Raisha juga bercerita bahwa kelompok minoritas di Aceh acap kali menerima efek konflik yg lebih kompleks, traumanya turun temurun, padahal sesungguhnya mereka hanya ingin hidup dan mencari nafkah.
Dirasakan ada upaya struktural seperti tata kota diatur sedemikian rupa agar jalannya tidak melewati toko-toko orang keturunan Tionghoa. Orang Aceh beralasan ini semua untuk menjaga marwah agar tidak rusak. Seperti menjaga marwah agama, marwah negara. Namun marwah ini ditafsirkan sendiri.
Maka dari itu baginya, The Leader telah membuka kesempatan untuk semua orang bisa menjadi dirinya sendiri. Meskipun, ada yang masih memakai anonim sebagai nama beberapa penulisnya—karena belum semua orang siap untuk tampil di publik dan menerima konsekuensi tulisan. Namun, ini bisa menjadi langkah awal penting untuk berani bersuara.
Hadirnya buku Aku Berani Bercerita ini adalah serangkaian dari proses yang dilakukan Khalida Zia (Direktur The Leader) dan Konde.co yang melakukan training dan mengadakan pembuatan buku dengan mengajak anak-anak muda Aceh.
“Walau Konde berada di Jakarta, tidak menghalangi untuk bisa saling belajar, bertukar pengalaman bagaimana para penulis ini bisa membuat sejarah. Jika ingin membuat sejarah, tulis sejarahmu sendiri,” kata Pemimpin Redaksi Konde.co, Luviana.
Khalida Zia menyampaikan, program yang dimulai dari Maret 2022 ini, bertujuan untuk mengajak anak muda Aceh untuk berani speak up dan kampanye menghentikan diskriminasi dan menciptakan ruang aman di negeri ini bukan hanya di Aceh.
“Harapannya ke depan, gerakan ini dapat menjadi referensi untuk pengambilan kebijakan,” pungkasnya.
Ilustrator: Ade Amelia Ansari & Cut Meviantira Nanda