Rose O’Dea, UNSW dan Shinichi Nakagawa, UNSW
Ada stereotip yang kuat bahwa matematika dan sains bersifat maskulin.
Tapi penelitian kami terhadap nilai sekolah lebih dari 1,6 juta siswa menunjukkan prestasi anak perempuan dan laki-laki sama saja dalam mata pelajaran sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM).
Penelitian ini yang dipublikasikan di Nature Communications juga menunjukkan bahwa anak perempuan berprestasi lebih baik daripada anak laki-laki dalam mata pelajaran non-STEM.
Baca juga:
‘Walking into a headwind’ – what it feels like for women building science careers
Hasil penelitian kami memberikan bukti bahwa kesenjangan besar dalam representasi perempuan dalam karir STEM di kemudian hari bukan karena perbedaan dalam prestasi akademik.
Laki-laki vs perempuan
Satu penjelasan untuk ketimpangan gender dalam STEM adalah “hipotesis variabilitas”. Ini merupakan suatu gagasan bahwa kesenjangan gender jauh lebih besar di bagian ekor distribusi – di antara nilai yang tertinggi dan yang paling rendah – daripada di tengah.
Kepintaran dan keunggulan telah lama dianggap sebagai domain laki-laki. Orang tua menganggap karunia untuk anak laki-laki lebih sering daripada anak perempuan. Anak-anak berpikir anak perempuan kurang mungkin dibandingkan anak laki-laki untuk menjadi “benar-benar pintar. Dan bidang-bidang yang menghargai “bakat”, seperti matematika dan filsafat, mempekerjakan lebih sedikit perempuan.
Variabilitas laki-laki lebih besar pertama kali diusulkan sebagai penjelasan untuk superioritas laki-laki pada era 1800, dan pemikiran tersebut tidak pernah hilang.
Pada 2005 hipotesis variabilitas kembali menjadi penting. Ekonom Amerika Lawrence Summers, dulu merupakan Rektor Universitas Harvard, mencatat variabilitas laki-laki lebih besar yang merupakan alasan utama mengapa ada lebih banyak laki-laki dalam posisi sains dan teknik. Ia mengatakan:
… dalam kasus khusus sains dan teknik, terdapat masalah mengenai kecerdasan intrinsik, dan khususnya variabilitas kecerdasan, dan pertimbangan tersebut diperkuat oleh adanya fakta mengenai faktor yang rendah dalam sosialisasi dan diskriminasi.
Penolakan terhadap komentar-komentar ini dengan cepat muncul: Summers dicerca dan kemudian meminta maaf.
Tapi apakah dia benar?
Apa yang dikatakan nilai
Salah satu dari kami (Shinichi Nakagawa) mengembangkan sebuah metode kuat untuk menguji perbedaan dalam variasi antar kelompok dalam meta-analisis.
Kami menerapkan metode ini untuk menguji variabilitas laki-laki yang lebih besar dalam kinerja akademik, menggunakan data dari banyak penelitian.
Kami mencari literatur ilmiah dan menemukan informasi tentang nilai dari 1,6 juta siswa, yang diberikan antara 1931 dan 2013, dari 268 sekolah atau ruang kelas yang berbeda. Kebanyakan data ini untuk siswa yang berbahasa Inggris dari seluruh dunia, dengan mayoritas yang berbasis di Amerika Utara.
Untuk setiap kelompok siswa, kami menghitung perbedaan antara anak perempuan dan anak laki-laki dalam skor rata-rata dan variabilitas.
Dalam mata pelajaran STEM, kami menemukan distribusi nilai untuk anak perempuan dan laki-laki sangat mirip. Kesenjangan gender terbesar adalah pada subjek non-STEM seperti bahasa Inggris, yang anak perempuan mendapatkan nilai rata-rata 7,8% lebih tinggi dan 13,8% lebih sedikit variabel dari anak laki-laki.
Kemudian kami menggunakan perkiraan tentang perbedaan gender untuk mensimulasikan distribusi nilai sekolah anak perempuan dan anak laki-laki, untuk mengeksplorasi apakah 7,6% lebih besar variabilitas laki-laki dalam STEM cukup untuk menjelaskan mengapa perempuan kurang terwakili dalam bidang ini dari tingkat universitas.
Siswa perempuan cukup berbakat
Hasil kami dari simulasi menunjukkan bahwa 10% teratas dari kelas STEM berisi jumlah anak perempuan dan laki-laki yang sama.
Mengingat bahwa berada di 20% teratas sudah cukup untuk masuk gelar sains di universitas berperingkat tinggi, kesenjangan gender dalam variabilitas tidak dapat secara langsung menjelaskan kesenjangan gender pada mahasiswa sarjana mereka memilih untuk mempelajari mata pelajaran matematika yang intensif.
Lawrence Summers tidak sepenuhnya salah, ada “perbedaan gender dalam variabilitas bakat”.
Memang benar bahwa di antara orang-orang berprestasi sangat tinggi, kita akan berharap untuk melihat lebih banyak laki-laki, berdasarkan variabilitas, laki-laki menghasilkan lebih banyak pada pekerjaan ekstrem dari distribusi prestasi. Tapi apakah karier dalam STEM terbatas pada orang-orang berprestasi yang sangat tinggi ini?
Kami tidak berpikir demikian. Para ilmuwan yang berhasil pada umumnya orang biasa, pekerja keras. Sayangnya keyakinan yang salah pada kemampuan super diperlukan untuk beberapa bidang STEM dapat membantu melanggengkan ketidaksetaraan gender.
Baca juga:
New study says the gender gap in science could take generations to fix
Perbedaan gender dalam kinerja akademik ada, tapi kita tidak boleh terlalu menekankan pentingnya mereka. Ada lebih dari cukup perempuan berbakat untuk menutup kesenjangan gender di STEM. Tapi para perempuan ini memiliki pilihan lain, karena mereka cenderung berbakat dalam mata pelajaran non-STEM juga.
Perempuan di STEM menghadapi rintangan yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan mereka, seperti stereotip, pukulan balasan, diskriminasi, dan pelecehan. Sampai rintangan-rintangan ini dijatuhkan, kita tidak boleh menggunakan perbedaan kecil dalam variabilitas sebagai suatu alasan untuk perempuan yang kurang mewakili di bidang STEM.
Rose O’Dea, PhD Candidate, Biology, UNSW dan Shinichi Nakagawa, Associate Professor of Evolutionary Biology, UNSW
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.