Cerita Perjuangan 5 LGBT di Indonesia: Sampai Kapan Kekerasan Hilang Dari Hidup Kami

Dipukuli, di-bully, dan distigmakan sebagai pembawa sial, tiap hari kondisi ini dialami para Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Indonesia. Chaerani Arief merangkum kejadian-kejadian yang dialami 5 LGBT di Indonesia.

Cerita Yuyun, Transpuan

Keluarga yang harusnya menjadi tempat aman, rupanya jauh dari harapan Yuyun (bukan nama sebenarnya).

Yuyun ditolak orang tua, hingga anggota keluarga lainnya setelah mengakui jika dirinya adalah seorang transpuan (Transgender Male to Female).

“Saya itu lahir kembar ka’, laki-laki semua, tapi saya merasakan gender saya ini perempuan. Makanya dari kecil saya merasa saya ini perempuan, cuman keluarga, terutama bapak saya tidak membenarkan kalau saya berekspresi seperti itu (feminim),” kisah Yuyun dibalik percakapan Video call WhatsApp, 21 Juni 2022 lalu.

Penolakan keluarga diekspresikan dengan berbagai bentuk kekerasan. Dipukuli, dibully, hingga menjalani ritual rukiah telah diterima Yuyun. Keluarga yang diharapkan Yuyun menjadi tempat berlindung, tempat meminta bantuan dalam kesulitan dan tempat mendapatkan kasih sayang dan bahagia, justru menjadi tempat yang tidak nyaman baginya.

“Karena ekspresi saya yang ditolak orang tua terutama bapak dan saudara-saudara, saya beberapa kali dipukuli, ditendang, bahkan saya pernah diseret-seret sambil disaksikan tetangga. Mereka bilang itu akan menjadi malapetaka bagi keluarga jika saya jadi bencong,” kenang Yuyun yang tak kuasa menahan air mata.

Yuyun sering kali tidak mendapatkan apresiasi dan dukungan dari orang tuanya meskipun sejumlah prestasi dia dapatkan saat duduk di bangku sekolah. Bahkan sebatas merasakan kehadiran orang tua saat pembagian rapor pendidikan di akhir semester.

“Saya kalau mengingat itu pasti menangis karena teman-teman ku orang tuanya datang semua, saya ji yang tidak, padahal waktu itu saya dapat rangking di sekolah,” kenangnya sambil menyeka air mata yang terus jatuh.

Karena keluarga belum bisa menerima Yuyun sebagai seorang transpuan, orang tua memaksa dirinya menjalani ritual rukiah untuk mengeluarkan roh-roh jahat dari dalam tubuhnya. Bapaknya meyakini roh-roh jahat itulah menjadi penyebab anaknya menjadi transpuan.

Ritual rukiah itu kemudian dia lakukan berkali-kali ke Yuyun, tetapi tidak juga membuatnya menjadi laki-laki maskulin. Belum merasa puas dengan ritual rukiah, orang tuanya kemudian memaksa Yuyun masuk ke pesantren, hingga akhirnya keluarga menyerah sebab Yuyun tetap berekspresi feminim.

“Saya bilang sama bapak biar di rukiah ka, biar masuk ka pesantren tidak berubah ekspresiku sebagai perempuan karena memang bukan roh jahat, itu dari dalam diriku saya rasakan. Tapi gara-gara perlawananku saya dapat ji perlakuan kasar, dipukulka’, dibuang semua bajuku, bahkan di usir ka dari rumah,” kisah Yuyun lagi.

Cerita Icha, Transpuan

Kisah Yuyun yang mengalami kekerasan karena penolakan juga dirasakan Icha (bukan nama sebenarnya). Sebagai seorang penyintas kekerasan bukanlah hal mudah untuk bangkit dari trauma masa lalu. Mata berkaca, bibir yang masih bergetar saat berbicara memperlihatkan bahwa trauma kekerasan itu masih terlihat nyata di depan mata.

“Saya masih ingat bagaimana ibu saya memukul saya untuk pertama kalinya hanya karena tidak menerima saya sebagai perempuan berpenampilan maskulin (tomboy) dan menyukai perempuan (lesbian). Jika mengingat itu badan saya masih lemas dan dada saya sakit,” cerita Icha dengan nada serak.

Apalagi usia Icha saat itu 29 tahun, diusia itu seseorang memasuki fase dewasa, di mana harusnya ia bisa diberikan pilihan atas kehidupannya. Bukan malah memberikan kenangan dan memori yang penuh ketakutan.

“Keluarga menolak saya karena dinilai melanggar budaya dan norma sebagai seorang perempuan yang dipahami keluarga saya hingga kini,” kenangnya.

Icha mengaku kerap kali disebut sebagai anak pembawa sial (cilaka). Ia jugabiasa dituding sebagai anak tak jelas (antara laki-laki atau perempuan). Pelabelan ini pun didapatkan dari orang tua dan anggota keluarganya sendiri.

“Belum lagi di nama saya ada marga keluarga yang dinilai terpandang dan terhormat sehingga saya dituntut untuk menjaga itu sesuai adat istiadat dan budaya yang ada di keluarga saya,” kenang Icha lagi.

Icha setelah itu mengalami kondisi makin sulit ketika ia juga menjadi korban pernikahan paksa. Pernikahan itu dinilai menjadi bentuk pembuktian bahwa dirinya adalah seorang yang dianggap “normal” oleh masyarakat heteronormatif saat ini.

“Saya harus menikah dengan laki-laki maskulin, katanya itu menjadi jalan keluar agar saya bisa berekspresi lebih feminim dan bisa tertarik pada laki-laki agar saya tidak lagi lesbian. Padahal saya tidak bisa menolak bahwa saya perempuan yang tertarik dan menyukai perempuan,” Icha menegaskan diri.

Cerita Rizal, Gay

Kekerasan dan kecaman dari keluarga bukan hanya dirasakan seorang transpuan dan lesbian. Rizal (nama samaran) juga merasakan bagaimana penolakan keluarga kepada dirinya sebagai seorang gay.

Tekanan, makian dan stigma dari keluarga, serta tidak adanya peran orang tua yang melindungi membuatnya takut bertemu dengan keluarga.

“Bahkan saya sempat dapat kekerasan fisik dari keluarga dan orang tua karena saya gay. Mereka menolak saya menjadi gay, saya dianggap mencoreng keluarga dan membuat keluarga malu,” katanya.

Kebanyakan dari keluarga Rizal juga tidak lagi memberikan kasih sayang dan perhatian seperti sebelum ia mengetahui bahwa dirinya seorang gay. Hanya saja ia mengakui bahwa dirinya yang menyukai dan tertarik sesama laki-laki bukan bagian dari paksaan.

“Saya sempat dipukul bapak saya karena mereka malu saya besar menjadi orang yang dianggap tidak normal. Apalagi tekanan dari keluarga besar waktu itu, karena dianggap pilihan saya ini adalah kesalahan di tengah-tengah masyarakat,” kisah Rizal.

Cerita Kasma, Transpuan

Stigma yang melekat bagi kelompok LGBT ini rupanya membawa ketakutan dan pergolakan batin bagi Kasma (nama samaran). Ia terpaksa menutup rapat-rapat identitas gendernya sebagai transpuan di depan orang tua dan keluarga besar. Bahkan hingga kini di usianya ke 53 tahun.

Keputusan ini ia pilih sebagai bentuk menjaga kehormatan orang tua dan keluarganya. Meskipun awalnya ia merasa berat karena harus berpakaian dan berekspresi seperti laki-laki maskulin pada umumnya.

“Orang tua saya setiap melihat bencong (waria) dia selalu bilang ke anak-anaknya yang laki-laki agar jangan ada yang seperti mereka. Karena itu akan membawa malu keluarga karena tidak normal,”ungkap Kasma.

Hal ini pun membuatnya takut, sebab jika dia mengakui dirinya secara terbuka ia yakin tidak akan diterima keluarga. Padahal Kasma menemukan dirinya sebagai seorang perempuan dirasakannya sejak bersekolah di tingkat sekolah dasar.

“Di dalam keluarga saya, termasuk semua saudara saya tidak ada yang setuju jika ada anggota keluarganya begitu (menjadi waria), sehingga saya menutup diri agar tidak diketahui bahwa saya sebenarnya waria. Apalagi keluarga sudah mengancam akan dikeluarkan sebagai anggota keluarga jika melanggar, jadi saya takut dikucilkan” akui Kasma.

Meskipun Kasma dalam kehidupan sehari-harinya memakai pakaian seperti yang dikenakan laki-laki maskulin pada umunya, ia tetap meyakini bahwa dirinya hingga saat ini adalah seorang perempuan. Kasma baru memakai pakaian hingga berdandan feminim dilakukannya jika berada jauh dari daerah tinggalnya, karena dirinya takut dan merasa tidak nyaman kalau sewaktu-waktu keluarga melihatnya.

“Awalnya memang berat karena saya mau berekspresi seperti perempuan pada umumnya, tapi karena takut dengan keluarga makanya saya begini saja. Saya juga sudah tua, sehingga saya merasa bukan pakaian yang menandakan saya perempuan atau laki-laki, tetapi bagaimana saya mengenali diri saya sendiri,” tegas Kasma.

Cerita Miranda, Transpuan

Miranda (bukan nama sebenarnya) pernah mengalami ancaman dari aparat kepolisian saat dirinya diusir dari rumahnya sendiri. Pengusiran dari sekelompok masyarakat itu terjadi pada 2018 lalu dirumahnya sendiri di Kabupaten Gowa, salah satu daerah di Provinsi Sulawesi Selatan.

“Saya pernah diancam ditembak oleh aparat saat saya diusir di rumah saya sendiri karena saya seorang transpuan,” kenang Miranda menghela nafas panjang.

Miranda mengaku diusir sekelompok orang yang terdiri dari warga sekitar, aparat kepolisian, dan aparat setempat dengan dalih dirinya secara bebas mengajak tamu (pasangannya) tinggal bersama, dan itu tidak normal menurut mereka. Meskipun itu di rumah pribadinya sendirinya.

“Hak privasi saya bebas direnggut. Sementara saya tidak pernah membuat kejahatan dan merebut hak orang lain,” kata Miranda.

Sekelompok orang tanpa surat izin itu dengan semena-mena masuk ke rumah Miranda dan mengobrak-abrik isi rumah. Mereka memeriksa hampir seluruh bagian rumah, isi lemari, tempat tidur dan semua yang dicurigai diperiksa oleh mereka.

“Saya tidak tahu alasannya, rumah saya di obrak-abrik, di periksa seluruh isi rumah, saya juga tidak tahu apa yang dicari,” terang Miranda terbata mengingat momen pilu itu kembali.

Saat isi rumahnya di obrak-abrik, Miranda mencoba melawan dengan meminta surat izin kepada salah satu dari petugas untuk memastikan tindakan mereka resmi atau hanya diinisiasi oleh mereka yang dinilai tidak menyukai. Hasilnya bukan surat izin pemeriksaan yang diterima Miranda. Malah ia digertak dan diancam akan ditembak jika melawan.

“Saya minta surat izin kan, kemudian salah satu petugas majuika’ dan langsung geretak saya dan bilang kau jangan macam-macam disini, saya tembak itu,” akunya mengisahkan.

Pengusiran paksa kembali dialaminya pada 2021 lalu. Itu terjadi di rumah neneknya di salah satu perumahan di Kota Makassar. Alasannya, warga sekitar menolak Miranda karena satu rumah bersama pasangan.

“Mereka menilai hal yang saya lakukan adalah hal yang haram, bisa mendatangkan bencana dan pembawa sial. Padahal saya sudah meyakinkan mereka bahwa pasangan saya hanya datang istirahat, tidak akan lama, dan saya waktu itu posisinya tidak tinggal berdua tetapi ada beberapa orang,” ujarnya.

Penolakan di Sekolah, Dunia Kerja dan Rumah Ibadah

Penolakan lingkungan masyarakat juga menjadi kenangan pahit yang masih terekam dalam ingatan Icha. Saat duduk di bangku SMP, ia mendapatkan perbedaan yang cukup luar biasa dari teman-teman sekolah dan gurunya.

Saat ada kesalahan yang dilakukan teman perempuan feminim misalnya, ia hanya mendapatkan perlakuan yang lembut sebagai sanksi kesalahan, tetapi jika pelakunya adalah dirinya ia diberikan hukuman yang berat karena dianggap sebagai seorang laki-laki.

Di dunia kerja juga tak luput dari tindakan diskriminasi dan stigma yang kerap dilekatkan pada dirinya. Di instansi pemerintahan bahkan perguruan tinggi tempatnya dulu bekerja mengatur cara berpakaian karyawannya, sehingga aturan ini menutup ruang bagi dirinya sebagai perempuan dengan ekspresi maskulin.

“Saya dulu pernah bekerja di instansi pemerintahan, tapi saya memilih keluar karena saya tidak nyaman. Saya dipaksa berekspresi dan berpakaian feminim, sementara saya tidak nyaman melakukan itu,” jelas Icha.

Di tengah-tengah lingkungan masyarakat, seseorang dengan lesbian masih menjadi hal yang ditolak, dan rawan tindakan main hakim sendiri. Sama halnya dengan pengalaman Miranda yang diusir dari rumahnya sendiri, Icha juga mengalami pengusiran di rumah kontrakannya di Makassar, bahkan pengusiran itu tidak didasari bukti hanya berasumsi.

“Saya difitnah oleh oknum tokoh agama yang setiap hari beraktifitas dis ekitar kontrakan saya. Ia menuduh kalau saya sering membawa pasangan dan lainnya, sementara saya secara pribadi sangat merahasiakan termpattinggal saya pada orang sekitar, saya tidak sembarangan mengajak orang ke kontrakan saya,” sebut nya.

Yuyun juga merasakan hal yang sama, kekerasan dan bullying bahkan dia dapatkan di rumah ibadah. Di mana seharusnya rumah-rumah ibadah ini menjadi tempat yang paling aman untuk semua individu dengan beragam gender.

Saat itu Yuyun hendak melaksanakan shalat tarawih berjamaah, ia kemudian dilempari seorang temannya di dalam masjid. Bahkan saat sementara melaksanakan shalat, sejadah yang ia pakai ditarik, kemudian Yuyun didorong keluar dari saf. Perlakuan ini tidak dilaporkan Yuyun ke orang tua, sebab dia yakin dirinya tidak akan mendapatkan pembelaan dari siapa-siapa, apalagi saat itu pelakunya adalah anak dari keluarga yang berpengaruh di kampung tersebut.

“Saya akhirnya lawan, ku bilang kenapa begitu, dia cuman jawab kau tidak perlu shalat karena karena kalau bencong (waria) shalatnya tidak diterima jadi katanya percuma. Akhirnya saya takut mi pergi ke masjid,” kenangnya.

Stigma Pembawa Sial dan Melanggar Norma Jadi Ketakutan Untuk Berekspresi

Pegiat Keberagaman Ainun Jamilah mengatakan, Indonesia dengan keberagamannya berhasil dicederai dengan tindakan-tindakan diskriminasi dari kelompok berkuasa ke kelompok rentan. Kondisi ini menandakan bahwa nilai keberagaman telah bergeser saat ini.

“Indonesia telah beragam sejak kita lahir, beberapa tahun yang lalu masyarakat telah dewasa melihat keberagamaan itu. Hanya saja saat ini mengalami pergeseran, sehingga masyarakat sebagian kembali tabu, dan kaget memaknai keberagaman itu sendiri,” katanya.

Mayoritas masyarakat saat ini lebih antipati dari pada empati kepada kelompok-kelompok yang diluar dari pemahamannya secara nilai dan ekspresi. Sehingga melahirkan masyarakat yang arogan dalam menyikapi adanya perbedaan-perbedaan dari segi nilai agama, dan etnis. Terlebih jika itu berbeda dari segi gender dan ekspresi seksual.

“Saya melihat ini bagian dari arogansi identitas, merasa diri mayoritas sehingga merasa dirinya benar jika menghukum orang-orang yang ia tidak senangi. Inilah kemudian diimplementasikan lewat tindak kekerasan, seperti ujaran kebencian, memukul, persekusi dan bentuk kekerasan lainnya,” terangnya.

Pada kelompok minoritas seksual atau LGBT misalnya, mereka dilihat sebagai kelompok anti tuhan hingga dihubung-hubungkan dengan fenomena bencana alam yang tentunya sangat tidak memiliki kaitan dan hubungan yang relevan. Sebab, ia meyakini bahwa kelompok minoritas seksual ini adalah individu manusia yang sama dengan manusia lainnya. Sehingga dihadapan negara, dan kehidupan bermasyarakat harusnya memiliki hak dan posisi yang sama.

“Ketika kita berbicara soal mereka yang berbeda dengan kita secara ekspresi gender dan seksual harusnya kita tidak langsung membawa hitam atau putih, halal atau haram, hingga salah atau benar. Tetapi melihat pada konteks baik dan tidak baik. Selama mereka berbuat baik, maka itu kebaikan dan siapa pun itu tanpa melihat golongan, ekspresi, dan lainnya harusnya bisa kita terima,” tegas Pendiri Komunitas Cadar Garis Lucu.

Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Sulawesi Selatan Syamsurijal mengatakan, Islam sejak awal mengakui tentang keberagaman dan hal itu telah bersifat sunnatullah, dan juga telah diperjelas dalam beberapa ayat-ayat Alquran.

Sehingga ini merupakan salah satu landasan dasar yang menunjukkan Islam itu mengakui bahwa keberagamaan merupakan kodrat yang ditentukan oleh tuhan. Jika menolak kebergaman, artinya menolak ketentuan tuhan dan menolak sunnatullah.

Penerimaan keberagaman itu menurut Rijal dilakukan dengan membuka diri untuk berjumpa, berkomunikasi dan berdialog dengan kelompok yang diluar dari kelompok yang merasa dibenarkan.

“Karena ini bersifat sunnatullah, maka semua orang harus niscaya menerima itu. Perbedaan itu tidak harus karena merasa diri berbeda maka tidak mau berjumpa dengan kelompok lain yang berbeda, itu bukan sifat yang dijelaskan dalam Islam,” katanya.

Kemudian jika keberagaman itu dilihat pada konteks perbedaan gender atau minoritas seksual, masyarakat seharusnya tidak lagi melihat pada kisah-kisah Nabi Luth. Beberapa ulama sudah melihat itu secara lebih adil dengan menempatkan mereka sebagai manusia pada umumnya. Sehingga seharusnya kelompok-kelompok agamawan bagaimana melihat mereka sebagai manusia yang memiliki hak atas hidup, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak, serta hak menerima seluruh fasilitas pelayanan publik secara adil.

“Islam memberikan hak-hak hidup bagi kelompok minoritas seperti LGBT, disabilitas, agama minoritas dan kelompok rentan lainnya. Dalam Islam hak-hak mereka tetap diakui di tengah-tengah masyarakat,” terang Rijal.

Ia menilai tidak hanya kelompok minoritas seksual yang merasakan marginalisasi, diskriminasi dan tindakan kekerasani saat ini. Komunitas-komunitas lokal dan kelompok agama minoritas juga mengalami kondisi yang sama. Ini disebabkan karena munculnya kelompok-kelompok keagamaan tertentu yang sangat konservatif, sementara sifat konservatif ini bukan hanya dalam pandangan mereka, tetapi diaktualisasikan dalam tindakan, sehingga itu tidak bisa dibenarkan.

“Kalau pada tingkat tertentu pikirannya saja yang konservatif itu tidak masalah, tapi ini dilanjutkan dengan aksi-aksi seperti ujaran kebencian terhadap orang yang berbeda dengan dirinya dan ada tidak kekerasan kepada kelompok, bahkan ada pelarangan, nah ini yang jadi problem,” lanjutnya.

Berjuang Menegaskan Diri Sendiri Hingga Diterima Secara Terbuka

Penerimaan kelompok LGBT secara terbuka di tengah-tengah keluarga bukanlah ibarat membalikkan telapak tangan. Pembuktian dan menjadi diri sendiri menjadi sebuah perjuangan bagi mereka melawan segala bentuk penolakan.

Yuyun terpaksa memutuskan diri untuk keluar dari kampung halamannya. Keputusan ini karena ancaman yang menghantui, apalagi saat masuk ke usia dewasa sekitar 2009 lalu, ia betul-betul merasakan kecaman dan penolakan dari masyarakat. Apalagi waktu itu terjadi pembubaran kegiatan personi waria di daerahnya di Kabupaten Bulukumba untuk pertama kalinya.

“Saya “buang diri” ke Surabaya, di situ saya ingin membuktikan kalau dengan jati diri saya ini saya bisa dapat uang yang halal. Akhirnya dari hasil pekerjaan saya di tempat perantauan saya bisa mengirimkan ibu saya untuk kebutuhan hidup, bahkan biaya pengobatan bapak tanpa mereka tahu itu dari saya,” kenangnya.

Setelah orang tuanya mengetahui selama ini biaya hidup berasal dari anak transpuannya di negeri perantuan, orantuanya pun kemudian membuka diri untuk menerima Yuyun sebagai anak laki-laki dengan ekspresi perempuan. Tiba saat bapaknya meninggal, saudara-saudaranya pun kembali menolak identitas dirinya, imbas penolakan itu ia tidak mendapatkan hak waris dengan alasan dirinya tidak menjadi seperti anak yang diinginkan orang tua dan dianggap melanggar moral yang diajarkan orang tua.

“Bukan hanya keluarga, waktu saya memutuskan kembali ke kampung saya merintis usaha dengan membuka salon. Tapi salon saya dirusak oleh saudara dan tetangga, akhirnya saya memutuskan kembali merantau lagi, hingga akhirnya saya kembali ke kampung halaman dengan diterima secara terbuka oleh masyarakat,” kata Yuyun.

Diterima sebagai seorang gay bukan lah hal mudah bagi Rizal. Dirinya secara perlahan-lahan membuktikan diri bahwa dengan menjadi seorang gay tidak menjadikan orang jahat.

“Saya membuktikan dengan identitas diri saya sebagai seorang gay tidak membuat buruk citra keluarga. Sehingga lambat laun keluarga, termasuk orang tua bisa menerima saya sebagai anak laki-laki yang menyukai dan tertarik dengan laki-laki,” kata Rizal.

Negara Masih Mengabaikan Kelompok Minoritas Seksual dan Gender Penyintas Kekerasan

Koordinator Divisi Advokasi dan Pendampingan Kasus KSM Makassar Echa Lareyzha mengakui saat ini proses advokasi dan pendampingan korban kekerasan kepada transpuan dan kelompok LGBT lainnya masih perlu dimaksimalkan. Masih banyak kendala-kendala yang perlu menjadi catatan penting untuk diperhatikan, misalnya perlunya rumah aman bagi mereka.

“Termasuk ruang aman bagi korban kekerasan dari kelompok LGBT juga belum ada. Sementara kami merasa ini juga penting bagi mereka, karena kita bukan hanya fokus pada menyelesaikan kasus misalnya bagaimana pelaku bisa dijerat hukum dan lainnya, tetapi juga tetap memperhatikan hak korban yang dia butuhkan,” terangnya.

Termasuk juga saat proses pendampingan kasus jika kasus telah selesai, biasanya korban tidak lagi didampingi dalam bentuk penguatan dan pemulihan trauma. Hal ini tentunya karena tidak adanya layanan psikolog yang ramah terhadap LGBT, khususnya transpuan, sehingga hal tersebut masih sangat menjadi kendala besar saat ini.

Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) yang dirangkum Komunitas Sehati Makassar sepanjang 2007 hingga 2022 sebanyak 45 kasus dengan jumlah korban 1.507 orang atau 23 kasus secara individu dan 12 kasus secara kelompok atau komunitas. Kemudian dari total kasus yang tercatat 27 persen adalah kasus kekerasan fisik, 50 persen kasus kekerasan psikis, 2 persen kasus kekerasan seksual, dan 22 persen kasus kekerasan ekonomi.  Pada kasus-kasus kekerasan terhadap kelompok LGBT ini, kelompok transpuan sebagai korban yang paling banyak mengalami kekerasan.

Sementara pada pola kekerasan yang ada pun beragam. Antara lain, 33 persen intimidasi, 13 persen pembubaran kegiatan, 13 persen penganiayaan, 10 persen pengusiran, 10 persen penyiksaan, 6 persen pembatalan izin, dan 2 persen adalah bentuk pola lainnya yang mendiskriminasi.

Echa menjabarkan, kondisi pelaku kekerasan terhadap kelompok LGBT juga mengalami pergeseran dari tahun ke tahun. Berdasarkan data hingga periode 2007 hingga 2019 pelaku kekerasan terbesar adalah negara sebanyak 17,42 persen, komunitas atau kelompok dan organisasi masyarakat sebesar 48 persen dan personal dengan 4,10 persen.  Kemudian pada periode 2020 hingga sekarang ini, tren tersebut berubah di mana pelaku kekerasan terbesar adalah kelompok atau organisasi masyarakat.

Negara Belum Menjalankan Kewajibannya Melindungi Kelompok Minoritas

Negara telah menjamin hak hidup dan hak berekspresi bagi masyarakat. Jaminan ini tertuang dalam Undang-Undang (UU) No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Belum lagi dalam pasal 28A pada UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup, serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

Adanya jaminan negara terkait perlindungan bagi masyarakat, rupanya masih mengabaikan jaminan perlindungan kepada kelompok rentan. Seperti kelompok minoritas gender dan seksual. Hal ini dibuktikan dengan negara melalui aparat negara masih menjadi pelaku diskriminasi dan kekerasan kepada kelompok-kelompok minoritas. Sementara seharusnya pemerintah perlu mengedepankan perlindungan bagi mereka.

“Mereka (pemerintah) justru harus memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas ini. Baik kelompok minoritas seksualitas, kelompok masyarakat lokal, minoritas agama dan kelompok rentan lainnya. Sebab di negara demokrasi seperti ini kita tidak boleh melarang keberadaan satu kelompok,” katanya Syamsurijal.

Bahkan sebaiknya perlu aturan khusus terkait perlindungan kepada kelompok rentan ini, sebab pelarangan yang dilakukan aparat pemerintah kepada kelompok mereka hingga saat ini dinilai keliru. Seharusnya pada porsi pelarangan yang harus dilihat adalah jika kelompok minoritas ini merusak beberapa hal prinsipil. Antara lain, merusak stabilitas dan moral.

“Yang mereka lakukan dan mendapat pelarangan bukan pada konteks itu, melainkan konteks kebebasan mereka dalam berekspersi dan ruang hidup lainnya. Ini yang keliru,” tegasnya.

Belum lagi yang diasumsikan pelanggaran oleh kelompok minoritas seperti kelompok LGBT, harusnya aparat negara menyelesaikannya melalui proses hukum yang adil. Sehingga sangat tidak dibenarkan adanya tindakan pemaksaan, persekusi dan bentuk kekerasan lainnya tanpa melewati proses-proses hukum yang adil.

“Aturan atau kebijakan perlindungan bagi kelompok rentan ini tentunya bertujuan untuk melindungi mereka, dan juga bisa menjadi jembatan dalam menangani persoalan perbedaan secara nilai dan ekspersi yang ada di masyarakat. Sehingga sangat penting untuk menjadi perhatian negara dalam menyelesaikan kasus diskirminasi bagi kelompok rentan dan minoritas ini,” tegas Rijal.

(Foto ilustrasi merupakan karya orisinil dari Muhammad Irham: Lelaki manis yang suka minum green tea)

Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.

Chaerani Arief

Masih aktif menjadi jurnalis di salah satu media lokal di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Senang berteman dengan siapa saja tanpa melihat agama, gender, jenis kelamin dan seluruhnya. Selain senang dipanggil Rhany juga senang dipanggil makan.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!