Edisi Khusus ‘Anak Muda Menulis PRT’: Sejarah Gelap Pekerja Itu Bernama PRT

Dari sejarahnya, Pekerja Rumah Tangga/PRT mengandung muatan latar belakang kolonial yang begitu tebal, dianggap pribumi inferior yang ikut pada majikan Eropa yang superior dari sisi ras, kekuasaan, hingga ekonomi, maupun politik. Yang membuat saya sedih, posisi inferior ini tidak juga berubah setelah majikan mereka berganti menjadi elit pribumi. PRT tetap dianggap sebagai liyan.

Selama sepekan ini, 5-10 September 2022, Konde.co bersama Jaringan Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dengan didukung VOICE menurunkan Edisi Khusus “Anak Muda Menulis tentang Pekerja Rumah Tangga.” Selamat Membaca!

Saya mulai memikirkan residu sejarah, bagian-bagian yang hilang di tengah kegelapan, tersingkir dari bagian-bagian yang mendapat penerangan penuh dan dipercaya sebagai kebenaran tunggal. Sejarah memang sering kali tak adil, menerangi sebagian peristiwa lalu menggelapkan peristiwa lainnya.

Bagi saya, usia 14 tahun pada era 1990 awal adalah perayaan kemerdekaan perempuan yang makin emansipatif. Pendidikan pada tahun-tahun itu menjadi lebih mudah diakses sementara lapangan pekerjaan juga makin variatif. Saya belajar dari para guru betapa besar jasa R.A. Kartini untuk kami.

Tanpa Kartini, hidup kami akan selalu dalam terungku. Pendidikan yang rendah, dipingit, kawin muda, lalu dipaksa menerima sistem poligami. Beruntung berkat perjuangan Kartini, kami kini bisa bersekolah tinggi, bekerja bersama para laki-laki dalam derajat yang setara, serta terbebas dari tekanan menikah muda seperti generasi kami sebelumnya.

Sejarah menggambarkan kehidupan perempuan seperti garis statistik yang naik. Kehidupan perempuan di Indonesia dari tahun ke tahun tampak menjadi lebih baik. 

Saya mengeja pelajaran sejarah dalam narasi yang demikian semenjak dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Namun, saat metode pembelajaran berubah secara ekstrem, dari menghafal di sekolah menengah menjadi menganalisis di perguruan tinggi, saya rasakan teks-teks yang saya baca mulai banyak mengenalkan sisi-sisi lain sejarah.

Beragam bacaan memberi saya kesadaran baru bahwa Kartini dan saya hidup dalam status sosial yang sama. Bukan sama persis – bagaimanapun era modern telah menghapus strata sosial yang sangat tebal di era poskolonial, melainkan sama-sama dalam status sosial arus utama.

Status sosial arus utama yang saya maksud adalah status sosial milik para perempuan yang bisa mengakses pendidikan dengan baik dan mempunyai pengetahuan yang cukup sehingga mereka mampu bersuara dan bercerita tentang kondisi mereka.

Entah abai atau lupa, sejarah tak menceritakan tentang para perempuan dalam kelompok subaltern di masa poskolonial. Berbasis pemikiran Antonio Gramsci, perempuan subaltern merujuk pada keberadaan warga yang secara sosial dan politik di luar struktur kekuasaan hegemonik. Gramsci mengidentifikasi kelompok subaltern sebagai kelompok masyarakat yang terkucil dari institusi masyarakat sehingga mereka tidak punya sumber daya dan cara untuk bersuara.

Para perempuan yang masuk dalam kelompok subaltern ini, menurut saya, adalah mereka yang pada generasi-generasi terdahulu tidak pernah mengenyam pendidikan hingga kemudian berkembang menjadi para perempuan yang putus sekolah. Intinya pendidikan mereka tidak memadai. Suara mereka hilang dari dunia sosial.

Kondisi demikian membuat saya berpikir bahwa para perempuan dalam kelompok itu menghadapi dua tekanan sekaligus. Keduanya sama kerasnya. Pertama sebagai perempuan dalam relasi gender yang tidak setara (kelompok subordinat), dan kedua sebagai warga yang berada di luar struktur arus utama.

Berangkat dari perenungan itu, ingatan saya kembali pada garis statistik yang selalu naik, yang diajarkan dalam kelas-kelas sejarah. Saat pelajaran sejarah menjejali saya dengan kehidupan perempuan arus utama yang terus membaik – angka partisipasi sekolah yang naik di tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi – lantas bagaimana halnya dengan mereka yang berada di kelompok subaltern? Mereka yang lahir dalam kondisi sangat miskin, yang putus sekolah, ngenger pada keluarga kaya, lalu menjadi batur atau pembantu (sebutan populer pada era 1980-1990)?

Apakah grafik kualitas kehidupan mereka juga naik atau justru berjalan di tempat sehingga tidak layak diceritakan dalam kelas-kelas sekolah dasar maupun menengah? Bagaimana posisi mereka dan bagaimana kelompok masyarakat arus utama memandang mereka?

Perjalanan saya mengenali jejak-jejak kelompok ini di peramban terhenti pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ada alasan kuat mengapa penelusuran saya menggunakan KBBI sebagai pegangan. Bahasa merupakan dasar kehidupan manusia, sarana untuk berkomunikasi, bersosialisasi, hingga saling mempersuasi yang Foucault sebut sebagai proses perebutan kekuasaan di tingkat mikro. Bahasalah yang mampu melanggengkan kekuasaan suatu kelompok dalam sebuah rezim sambil meminggirkan kelompok yang lain.

KBBI edisi ke-5 memasukkan kata pembantu sebagai kata yang baku. Definisi pembantu adalah orang upahan yang pekerjaannya membantu mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti memasak; mencuci; menyapu, dan lainnya. Dengan demikian, pembantu adalah pelengkap atau komplementer, bukan sebuah entitas yang mandiri. Fakta ini mengejutkan saya, namun di sisi lain, saya mulai paham kenapa kenapa negara ini begitu susah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang telah dirilis DPR pada 2004 lalu. Itu artinya sudah 18 tahun RUU tersebut terkatung-katung.

Definisi pembantu dalam KBBI mengingatkan saya pada pertanyaan klasik yang diajukan Virginia Wolf tentang bahasa. Virginia Wolf bertanya, “Mana yang lebih menyedihkan, terusir dari dunia kata atau terkucil dalam dunia kata?”

Secara personal, Wolf kemudian memilih yang kedua dan saya sangat setuju dengan pilihannya itu. 

Pilihan kedua merujuk pada seseorang yang tetap berada dalam sebuah komunitas, namun dia berbeda. Dia adalah liyan. Konsep liyan inilah yang menunjukkan pada saya bagaimana mayoritas orang di negara ini melihat posisi PRT.

Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan sangat mudah saya menyimpulkan Peekrja Rumah Tangga/ PRT termasuk dalam kelompok pekerja. UU itu mengatur secara jelas definisi pekerja. Mengacu pada UU tersebut, pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Lantas kenapa PRT tidak dimasukkan di dalamnya?

Apabila kita ingin mengetahui bagaimana struktur pikir seseorang maka perhatikan bahasanya. Lewat KBBI yang menggambarkan bagaimana pemikiran mayoritas, saya akhirnya paham bahwa dalam masyarakat kita, PRT adalah liyan. Jadi, meski pekerja atau buruh termasuk dalam kelompok mayoritas, namun PRT bukan. Dia terkucil dalam dunia kata kita.

Saya rasakan definisi itu mengandung muatan latar belakang kolonial begitu tebal, pribumi inferior yang ikut pada majikan Eropa yang superior dari sisi ras, kekuasaan, hingga ekonomi, maupun politik. Yang membuat saya sedih, posisi inferior itu tidak juga berubah setelah majikan mereka berganti menjadi elite pribumi. Relasi PRT tetaplah sebagai liyan.

Terus terang saya tidak bisa menggunakan diksi lain yang lebih sesuai selain liyan karena konstruksi kita pada entitas PRT memang sangat kejam. Sebuah entitas terkadang dihubungkan dalam relasi biner, seperti putih dan hitam yang merujuk pada entitas warna, baik dan jahat untuk karakter, atau buruh dan pengusaha untuk entitas dunia kerja. Menjadi pertanyaan, bagaimana lantas relasi yang terbangun antara PRT dan majikannya?

Ada konsekuensi yang harus kita tanggung ketika kita bersikap hipokrit. Saya berpikir itu tak ada bedanya dengan kita melanggengkan perbudakan di era modern yang dimulai dari penghancuran karakter mereka.

Hubungan yang tidak memanusiakan manusia lain adalah hubungan yang cenderung destruktif pada kelompok subordinat. Novel Beloved yang ditulis Toni Morrison adalah contoh terburuk – yang berhasil menunjukkan kepada kita betapa tuanya praksis kekejaman ini. Bagaimana Sethe dalam novel itu, seorang budak, digambarkan membunuh anaknya agar tidak mengalami nasib seperti dirinya.

Ingatan saya pada Sethe lantas berkelindan dengan ingatan saya tentang Sunarsih. Seorang gadis remaja berusia 14 tahun yang meninggal akibat kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan pembatasan sosial dari majikannya pada 2001 lalu. Sunarsih bekerja lebih dari 18 jam sehari, tidur di lantai jemuran, upah tidak dibayar, mengonsumsi makanan sisa, hingga disekap. Kisah Sunarti menunjukkan bagaimana sikap hipokrit kita bekerja dengan sangat efektif. Pertanyaannya, sampai kapan kekejaman ini berakhir apabila mayoritas dari kita tidak pernah mengubah sudut pandang?

Perbudakan adalah eksploitasi fisik dan emosional yang tidak pernah bisa diterima dengan akal sehat maupun kemanusiaan. Namun, kenapa setelah puluhan tahun kita belajar dari berbagai kasus yang sangat tidak manusiawi itu, praktik tersebut masih saja terjadi? Apabila sebagian dari kita membantah adanya praksis ini dengan ukuran yang abstrak, tidak begitu kejam seperti zaman dahulu, misalnya, maka apa indikatornya? Bagaimana kekejaman bisa diukur? Bukankah esensi kekejaman adalah hal yang buruk? Kenapa kita harus mengukur kekejaman?

Komnas Perempuan dalam laman resminya menulis kasus-kasus pelanggaran hak, kekerasan, dan penyiksaan terhadap PRT sebagaimana yang dialami Sunarsih masih terus terjadi hingga saat ini. Pada 2020, Komnas Perempuan melaporkan 17 kasus PRT sepanjang 2019 yang pengaduannya diterima secara langsung. Sedangkan yang dilaporkan dan ditangani Women Crisis Centre dan Lembaga Swadaya Masyarakat (WCC & LSM) sebanyak 17 kasus. Dua kasus PRT dilaporkan dan ditangani pengadilan negeri.

Sementara itu, catatan dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) selama 2015 hingga 2019 menunjukkan ada 2.148 kasus yang dialami PRT. Bentuknya beragam, seperti kekerasan fisik, psikis, hingga kekerasan ekonomi. Tak jarang PRT mengalami kekerasan berlapis yang berujung pada kematian mereka.

Angka-angka itu terlihat menakutkan bagi saya sehingga saya pikir diksi darurat bisa merepresentasikan kondisi kita saat ini. Saya khawatir kampanye penghentian kekerasan terhadap PRT hanya akan menabrak dinding-dinding kosong dan keras, sama kerasnya dengan isi kepala kebanyakan orang yang menganut konsep liyan.

Mereka itu adalah para majikan yang mempekerjakan PRT selama belasan jam dengan upah minim dan tanpa jaminan sosial atau jaminan kesehatan apa pun. Mereka adalah para orang tua yang dengan tidak bertanggung jawab mewariskan pandangan liyan kepada anak-anak mereka, atau para guru yang meneruskan pandangan itu kepada murid mereka, para dosen yang meneruskan pandangan itu kepada mahasiswa mereka, dan masih banyak lagi yang lain.

Pandangan liyan akan diturunkan dari generasi ke generasi sehingga waktu pun tidak mampu mengubah isi kepala kita dalam memandang pekerja rumah tangga.

Konsistensi ruang-ruang kelas yang meneruskan konten sejarah tentang para perempuan secara berat sebelah makin menambah kekhawatiran saya. Sejarah yang menggambarkan para perempuan secara umum dalam kondisi hidup lebih baik, bagi saya, terasa sangat tidak adil dan sudah saatnya ditinjau ulang. Apa alasan saya meminta ini?

Mengacu pada data yang dipublikasikan Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam lamannya, tidak ada perubahan signifikan dalam pola rasio seks PRT antara 2008 dan 2015. Menurut ILO, ada 320 PRT perempuan untuk setiap 100 PRT laki-laki pada 2008 lalu, sementara pada 2015 rasionya menjadi 292 PRT perempuan untuk setiap 100 PRT laki-laki. Itu artinya sejak dulu sampai sekarang PRT didominasi para perempuan yang kehidupan mereka jelas tidak baik-baik saja.

Jadi, di mana posisi para PRT ini dalam sejarah kita? Di mana posisi mereka dalam grafik statistik kualitas hidup perempuan Indonesia yang secara umum terus naik? Sampai kapan negara ini menyingkirkan mereka dalam ruang sosial? Sampai kapan negara ini menempatkan mereka sebagai liyan yang tak pernah mendapat kesempatan berbicara, yang terlempar dari data-data, dan yang selalu direndahkan dalam kata-kata?

Sampai kapan kita memandang PRT bukan sebagai manusia yang artinya memberikan ruang sangat luas kekerasan terhadap mereka terus terjadi dan berulang?

(Artikel ini adalah pemenang lomba mengenai Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang diselenggarakan Konde.co dan Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dengan didukung VOICE)

Ayu Prawitasari

Jurnalis, tinggal di Solo.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!