Kegigihan yang dilakukan Ibu J, Rosti Simanjuntak banyak mendapatkan dukungan publik ketika ia melihat anaknya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J pulang tak bernyawa
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid di Kompas TV , 15 Agustus 2022 bahkan menyatakan bahwa kasus pembunuhan Brigadir J bisa ditetapkan menjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Pada awal-awal kasus terungkap, Ferdy Sambo selalu diposisikan sebagai korban. Hal ini menuai tanda tanya besar publik.
Padahal berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia, polisi adalah terduga pelaku serangan terhadap pembela HAM terbanyak sepanjang 2021. Dari Januari hingga Oktober 2021, anggota polisi diduga melakukan aksi kekerasan dan intimidasi terhadap pembela HAM dengan tujuh kasus dan mengakibatkan delapan korban. Lalu, sepanjang Juni 2020-Juni 2021, setidaknya ada 17 kasus penyiksaan yang diduga melibatkan anggota polisi dengan 30 korban.
Komnas HAM juga mencatat lembaga kepolisian RI adalah pelaku pelanggaran HAM yang paling banyak diadukan sepanjang 2016-2020
Dari proses penyelidikan polisi dari awal kasus, kita bisa melihat 3 kejanggalan dalam penanganan kasus ini:
1.Penanganan Kasus Mengabaikan Ibu Brigadir J dan Vera Simanjuntak
Banyak pihak memberikan dukungan bagi para perempuan yang gigih memperjuangkan penyelesaian yang adil atas pembunuhan terhadap Brigadir Nofriyansah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J.
Yang terutama adalah Ibu Rosti Simanjuntak, ibunda Brigadir J, yang sejak awal terus mengupayakan pelurusan dan penyelesaian yang adil atas pembunuhan putranya. Sejak awal Rosti menolak skenario yang dibuat Ferdy Sambo bahwa Brigadir J terbunuh dalam kontak tembak dengan Bharada E, karena kedapatan melakukan pelecehan seksual terhadap PC.
Ia bersikeras agar sebelum pemakaman, peti mati putranya dibuka. Dari sinilah kemudian keluarga Brigadir J menemukan sejumlah bekas luka tak wajar, sehingga muncul dugaan Brigadir J meninggal karena disiksa hingga tewas dengan cara yang tak wajar.
Akibat kejadian yang menimpa putranya ini, Rosti sempat mengalami trauma dan selama beberapa waktu tak bisa beraktivitas normal. Rosti juga sempat absen dari tugasnya sebagai pengajar di salah satu SD di Muaro Jambi.
“Anak kami disiksa,” ujar Rosti saat polisi menggali ulang makam Brigadir J. Video rekaman tersebut ditayangkan sejumlah media dan beredar luas di dunia maya.
Perlindungan dan pendampingan psikolog seharusnya juga dilakukan untuk Vera Simanjuntak, pacar Brigadir J. Setelah kasus penembakan Brigadir J diberitakan, Vera mendapat tekanan besar. Vera yang sudah 8 tahun menjadi pacar Brigadir J, ia harus menghadapi pemberitaan yang masif. Kehidupan pribadi dan privasinya dikoyak dan diumbar di media.
Ponsel milik Vera juga sempat disita sementara untuk proses penyidikan karena disebut menyimpan rekam jejak komunikasi dengan Brigadir J beberapa hari sebelum kejadian. Vera bahkan juga harus menjalani pemeriksaan sebagai saksi yang harus dilakukan meski dalam kondisi sedang berduka karena kehilangan orang yang dikasihinya.
Kondisi ini menambah tekanan dan beban mental yang dialaminya, bahkan kondisi ini membuat Vera membutuhkan pendampingan dari psikolog
2.Penegak Hukum Harus Adil dan Tak ‘Tebang Pilih”
Keputusan Polri yang tak menahan istri Ferdy Sambo, PC sebagai tersangka pembunuhan berencana Brigadir J banyak jadi perbincangan publik belakangan ini. Polisi menyampaikan alasan bahwa PC tidak ditahan karena alasan kesehatan, kemanusiaan dan anaknya yang masih kecil berusia di bawah tiga tahun (batita).
Keputusan Polri ini seperti tebang pilih karena ada sejumlah kasus lain yang menimpa perempuan di dalam penjara yang juga punya anak dan tidak mendapatkan perhatian seperti ini. Polisi melakukan tebang pilih kasus.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat), Afif Abdul Qoyim mengatakan pihaknya selama ini memang memperjuangkan agar aparat penegak hukum (APH) memiliki sensitivitas termasuk penahanan perempuan yang memiliki anak. Sebab APH inilah yang memiliki kebijakan dan pertimbangan untuk menilai seberapa besar urgensi dari penahanan tersebut. Penahanan prapengadilan menurut Afif setidaknya ada 3 jenis, yaitu penahanan rumah, kota dan rumah tahanan negara. Dia mengkritisi sistem kebijakan yang selama ini belum jelas soal indikator penentuan penahanan prapengadilan. Ini bisa jadi celah.
“Masih lowong penilaiannya seperti sangat subjektif. Meskipun misalnya secara subjektif sudah terpenuhi secara di atas 5 tahun. Perlu dipertegas lagi,” kata Afif ketika dihubungi Konde.co, Rabu (7/9).
Tanpa adanya proses yang jelas serta transparan, Afif mengatakan hal itu bisa menimbulkan banyak asumsi yang berkembang di masyarakat. Terlebih seperti kasus yang terjadi pada PC ini dibandingkan dengan para perempuan lainnya dengan anak yang tak memiliki akses hukum yang memadai dan berkualitas.
Dia mencontohkan, beberapa kasus yang pernah terjadi termasuk yang didampinginya bahwa masih ada ibu yang ditahan di rutan yang kemudian membesarkan anak di dalam rutan. Ada pula kasus Merry Utami, terpidana mati, yang pada saat itu dia menjadi buruh migran dan meninggalkan 2 anaknya yang masih kecil-kecil. Saat balik ke Indonesia anaknya juga belum besar. Ketika Mery di dalam penjara, anaknya bahkan meninggal dunia karena sakit.
“Masih menjadi pekerjaan rumah akses bantuan hukum yang memadai dan berkualitas, soal akses bantuan hukum, pendamping, psikolog, harus tersedia pada perempuan lainnya yang berhadapan dengan hukum,” katanya lagi.
Dari kasus ini, dirinya mendesak bahwa ini momentum Polri untuk membenahi sistem peradilan hukum yang adil dan tak ‘tebang pilih’ hingga menyebabkan diskriminasi.
“Aturannya harus jelas. Ketika perempuan di hadapan hukum, haruslah perlakuannya sama. Karena ini amanat konstitusi. Tapi ketika belum ada atau belum clear pada implementasi, ini berpotensi diskriminatif. Berpeluang diskriminatif. Ini jadi momentum kepolisian untuk menyusun aturan-aturan reformis,” pungkasnya.
Pengacara dan aktivis perempuan, Asnifriyanti Damanik menambahkan, perbedaan perlakuan dalam penanganan kasus memang terlihat pada sikap polisi yang hingga kini belum menahan PC meskipun sudah dijerat dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Asni mengatakan perbedaan perlakuan ini terlihat jelas.
“Ya jelas terdapat perbedaan. Jadi kan kita biasa mendampingi, kok selama ini untuk minta penangguhan penahanan saja sulit gitu ya, boro-boro untuk ini. Di kasus ini kan dia posisinya 340 pasalnya dan itu berat karena itu pembunuhan berencana. Untuk penganiayaan aja kita sulit untuk bisa meminta supaya tersangkanya tidak ditahan,” ungkap Asni.
Lebih lanjut Asni mengungkapkan sebenarnya sikap penyidik yang belum menahan PC dengan pertimbangan faktor kemanusiaan, kesehatan dan memiliki bayi tidak menjadi masalah jika hal itu berlaku juga bagi perempuan yang berhadapan dengan hukum dan perempuan yang berkonflik dengan hukum yang memiliki balita, bayi atau sedang hamil.
“Iya yang berkonflik dengan hukum, terutama yang sedang hamil atau yang punya bayi, atau punya balita gitu ya, tidak dibeda-bedakan kasusnya apapun itu. Karena ini untuk kasus berat perlakuannya begini berarti untuk seluruh pasal yang disangkakan itu harus mendapat perlakuan yang sama,” ujar Asni.
3.Pengacara Harus Bisa Buktikan Kasus Kekerasan Seksual
Sehari setelah terjadinya penembakan Brigadir J pada 8 Juli 2022, PC membuat laporan ke Polres Metro Jakarta Selatan terkait dugaan pelecehan seksual dengan terlapor Brigadir J. Meskipun diketahui terlapor telah meninggal dunia, tetapi laporan kasus tetap diproses oleh aparat penegak hukum bahkan sampai pada tahap penyidikan.
Polisi baru menghentikan penyidikan perkara ini setelah melakukan gelar perkara. Dari proses gelar perkara polisi menyimpulkan tidak ditemukan peristiwa pidana dalam laporan kasus tersebut. Langkah penyidik ini mengundang tanda tanya.
Advokat LBH APIK Jawa Barat Asnifriyanti Damanik menyatakan laporan kasus tersebut seharusnya dari awal ditolak karena terlapor sudah meninggal dunia.
“Jadi siapa yang mau diperiksa sebagai terlapor. Kan tuntutan hukum itu akan gugur kalau terlapor/ tersangka/terdakwa meninggal dunia,” ujar Asni.
Asni menjelaskan mengingat terlapor sudah meninggal dunia maka seharusnya dugaan kasus kekerasan seksual ini bukan menjadi ranah penyidik. Sebaliknya ini menjadi ranah penasehat hukum tersangka. Kuasa hukum PC harus membuktikan bahwa PC adalah korban dalam proses pembelaannya nanti di persidangan.
“Itu bukan ranahnya penyidik untuk melakukan penyidikan bahwa dia adalah korban, enggak. Dia posisinya sekarang sebagai tersangka dan tugas dari penasihat hukum tersangka untuk mulai sekarang mengumpulkan bukti-bukti untuk nanti pembelaan di persidangan ketika kasus ini naik sampai ke pengadilan dan posisi dia sebagai terdakwa nantinya,” kata Asni saat dihubungi Konde.co.
Selain bahwa laporan PC langsung diproses meskipun terlapor sudah meninggal, penanganan laporan PC dari proses pelaporan kasus hingga masuk tahap penyidikan bisa dikatakan cenderung cepat. Penyidik dalam penanganan laporan PC juga mengarah pada upaya untuk menggunakan UU TPKS yang disahkan pada April lalu.
Tentu saja ini merupakan hal baik karena sebenarnya proses penanganan kasus kekerasan seksual semacam ini yang diharapkan oleh aktivis perempuan. Sayangnya langkah penyidik semacam ini belum tampak pada kasus-kasus sejenis lainnya yang tidak mendapat sorotan publik yang luas seperti pada kasus PC.
Untuk itu menurut Asni yang perlu didorong ke depan adalah perlakuan yang sama. Yang menjadi masalah adalah ketika muncul perlakuan yang tidak sama, sehingga akan menimbulkan diskriminasi.
.