Pentingnya Bahasa Isyarat Untuk Tuntaskan Kasus Kekerasan Seksual Perempuan Disabilitas

Perempuan disabilitas korban kekerasan seksual masih menghadapi sejumlah hambatan dalam penanganan kasus kekerasan yang dialaminya, salah satunya karena minimnya orang yang menguasai bahasa isyarat. Upaya memperjuangkan hak-hak korban masih terkendala bahasa dan kuatnya stigma. Di sisi lain meski sudah ada aturan terkait pemenuhan hak perempuan disabilitas korban kekerasan seksual, tetapi implementasinya belum optimal.

Bahasa adalah satu dari segelintir hal yang kita dapat secara cuma-cuma, sesuatu yang kita terima begitu saja. Namun bagi penyandang disabilitas, bahasa bisa menjadi permasalahan besar dalam hidupnya.  

Erlina Marlinda (43 tahun), membuka percakapan tentang kepiluannya melihat teman-teman disabilitasnya terkendala dalam berkomunikasi. Ia sendiri terlahir sebagai disabilitas fisik. Kesehariannya tak lepas dari kursi roda.  

Hal pertama yang ia sampaikan adalah pentingnya penyadaran kepada keluarga untuk belajar bahasa isyarat. “Masih banyak orang tua khususnya di Banda Aceh yang memiliki anak tuli, tetapi tak mengerti bahasa isyarat,” ujar Erlin.  

Kondisi ini membuat anggota keluarga yang memiliki disabilitas jarang dilibatkan dalam diskusi keluarga. Alhasil, ketika memiliki masalah, mereka cenderung lebih nyaman bercerita dengan sesama teman tulinya. 

Adanya hambatan berkomunikasi tersebut, menjadi permasalahan yang sangat krusial. Pada 2017, Erlin pernah memfasilitasi pelatihan kesehatan reproduksi bagi teman tuli dan disabilitas intelektual di Kota Banda Aceh. Orang tua peserta juga diikutsertakan.  

Peserta dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jenis kelamin. Terdapat dua fasilitator, satu perempuan dan satu laki-laki yang mendampingi kelompok peserta tersebut. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah mereka menyusun puzzle alat kelamin. Setelah semua kepingan puzzle berhasil disusun, peserta merasa malu dengan gambar tersebut.  

Hal tersebut menunjukkan, betapa tabunya pendidikan seksual bagi mereka. Pada kelompok orang tua, fasilitator menanyakan bagaimana sejak kecil mereka mengajarkan pemahaman kesehatan reproduksi pada anaknya. Mereka mengaku tidak pernah mengajarkannya. Bahkan hingga anaknya telah masuk usia remaja pun tidak diajarkan, dengan alasan tidak berani menjelaskannya. 

Menurut Erlin, minimnya informasi mengenai kesehatan reproduksi tersebut berdampak pada pemahaman terhadap tubuh, Ia menemukan pada saat teman tuli berpacaran, mereka tidak hanya berpegangan tangan saja, tetapi bisa sampai “overdosis”. 

Lebih lanjut, Erlin menjelaskan, “Ketika teman tuli menjadi korban kekerasan seksual dan berhadapan dengan hukum, orang tua seharusnya dapat menjadi orang pertama yang memahami permasalahan yang dialami oleh anaknya. Namun, tidak semua orang tua dapat berkomunikasi dengan anaknya.”  

Karena itu, Erlin menyarankan untuk mencari orang yang paling dekat dengan korban. Biasanya mereka adalah temannya. 

Kebutuhan Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan Seksual Masih Diabaikan

Data P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Kota Banda Aceh menunjukkan sepanjang tahun 2019 – 2020, terlaporkan adanya 9 kasus dengan berbagai jenis kekerasan. Siti Maisarah, pendiri Puan Adisa menjelaskan dari 9 kasus tersebut hanya 2 kasus saja yang sampai tahapan BAP/Berita Acara Pemeriksaan. Sementara sisanya diselesaikan secara kekeluargaan.

Puan Adisa, lembaga yang bergerak untuk advokasi perempuan dan anak disabilitas, membuka layanan pengaduan dan memberikan rujukan. Namun, kendala yang dihadapi adalah kurangnya sarana dan prasarana pendukung seperti rumah aman bagi para korban. Perempuan disabilitas korban kekerasan seksual membutuhkan ibu asuh dalam proses pendampingan. Mereka juga membutuhkan penerjemah dan fasilitas yang ramah terhadap disabilitas.

Puan Adisa pernah mendampingi perempuan disabilitas intelektual. Korban diperkosa hingga hamil dan melahirkan. Kejadian tersebut dianggap sangat memalukan bagi keluarga, sehingga korban ditolak oleh keluarganya dan membutuhkan perlindungan.

Dalam hal merawat bayi, penyandang disabilitas intelektual dianggap tidak cakap. Oleh karena itu, dibutuhkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam pengasuhan. Kondisi ini tak jarang membuat bayi menjadi korban trafficking, diadopsi atau dititipkan ke Dinas Sosial. Sementara fasilitas yang disediakan pemerintah juga terbatas, khususnya ketersediaan SDM pendamping atau ibu asuh khusus disabilitas. 

Menurut Siti Maisarah yang akrab disapa Imay, banyaknya kasus yang mandek diakibatkan oleh sikap penegak hukum yang menyamakan penyelesaian kasus pada perempuan disabilitas dengan perempuan non-disabilitas. Sementara UU Perlindungan Anak dan Qanun Jinayah sudah mencantumkan aturan tentang pendampingan hukum atau penerjemah. Akan tetapi implementasinya di lapangan belum maksimal. 

Biasanya bentuk kekerasan seksual yang dialami korban adalah pemerkosaan dan pelecehan seksual. Sering kali pengakuan korban tidak diakui dan kesaksiannya diragukan. Ini terutama terjadi pada penyandang disabilitas intelektual. Penyandang disabilitas intelektual memiliki daya ingat dan daya nalar yang lebih lemah dibandingkan kecerdasan rata-rata manusia sehingga mengalami hambatan dalam berinteraksi dan berkomunikasi.  

Hambatan berkomunikasi tersebut Imay rasakan langsung saat mendampingi korban. Penyidik dalam kasus ini, sangat progresif karena bekerja sama dengan psikolog. Mereka mencoba memahami korban lewat ekspresi mata dan bahasa tubuh yang ditunjukkan saat napak tilas ke lokasi kejadian dan media menggambar atau menulis di kertas. Meskipun petunjuk dapat ditemukan dari dua metode tersebut, tetapi upaya penetapan pelaku menjadi sangat sulit karena keterbatasan komunikasi penyandang disabilitas intelektual. 

Perempuan dengan disabilitas intelektual mempunyai hambatan untuk mengontrol kebutuhan biologisnya karena daya tangkap lebih lemah untuk memahami norma-norma sosial. Itu sebabnya naluri untuk memenuhi kebutuhan seksual hampir sama dengan kebutuhan makan saat merasa lapar. Ketika mendapat perlakuan seks, ia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu salah karena biasanya pelakunya adalah anggota keluarganya sendiri, seperti ayah atau pamannya.

Keluarga juga akan menyalahkan korban karena sifatnya yang centil dan tidak memiliki tempat untuk hasrat seksual. Oleh karena itu, kebanyakan kasus terhenti di tahapan BAP dan jarang yang masuk ke tahap persidangan dan putusan. 

Lebih lanjut Imay mengungkapkan untuk kasus KDRT ada yang terlaporkan dan dapat ditangani hingga selesai. Hal ini dikarenakan KDRT dianggap bukan aib. Kasus tersebut masuk dalam kategori kekerasan fisik dan perlu dilindungi agar korban tidak lagi mendapatkan penyiksaan. Sementara pada kasus kekerasan seksual, bagi kebanyakan keluarga korban, dianggap sebagai aib sehingga banyak yang tidak terselesaikan. 

Rendahnya Pengetahuan dan Munculnya Stigma di Keluarga dan Masyarakat

Masih adanya anggapan di masyarakat bahwa disabilitas intelektual sama seperti ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa), menjadi salah satu faktor banyaknya kasus tidak terlaporkan dan rantai kekerasan seksual sulit diputuskan. Sekolah memainkan peran penting dalam memberdayakan kelompok disabilitas. Tidak hanya mengajarkan mereka berkomunikasi tetapi juga basic knowledge. Seperti memberikan pemahaman tentang polisi, pemerintah, hukum dan sebagainya. 

Jika penyandang disabilitas mampu mengurus dirinya sendiri, keluarga pun tidak perlu mengisolasi mereka di rumah atau bahkan memasungnya. Keluarga juga tidak perlu malu hingga tidak memasukkan mereka dalam kartu keluarga yang dapat berakibat pada tidak adanya kepastian data pada disabilitas karena mereka tidak memiliki KTP. 

Pada aspek hukum, saat kelompok disabilitas menjadi korban, keluarga bahkan tidak dapat membantu sebagai pihak yang membela karena tidak mengerti bahasa isyarat. Penanganan kasus di pengadilan yang inklusif terhadap kelompok disabilitas di Indonesia baru terdapat di Yogyakarta. Pengadilan paling tidak di tingkat provinsi harus lebih peduli. Dampaknya tentu dapat diturunkan ke tingkat kabupaten/kota.

Akhir kata, agar rasa kepedulian itu muncul, bukan hanya sebatas rasa kasihan, maka derita mereka harus mampu menjadi derita kita juga.

Mardha Mardhatillah

Program Manager "The Leader"
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!