TNI

Istri TNI Bersuara: Suami Saya Poligami dan KDRT, Tapi Pengadilan Militer Melepaskannya

R, adalah istri seorang TNI yang tiba-tiba mendapati suaminya telah menikah dengan orang lain dan punya anak. Perjuangan atas nasibnya sebagai korban poligami dan KDRT, belum berakhir hingga kini.

Minggu 3 Oktober 2021 adalah hari yang tak mungkin dilupakan R, perempuan paruh baya yang berprofesi sebagai dokter di sebuah rumah sakit di Jakarta. 

Pagi itu seperti biasa ia membersihkan sepatu dinas suaminya, MH, seorang prajurit TNI Angkatan Udara dengan pangkat Kolonel Kal. Ia menyemir sepatu-sepatu itu satu per satu, lalu menjemur dan merapikannya.

Usai membereskan pekerjaannya, saat sedang berbaring untuk istirahat, putri semata wayangnya, K (10 tahun), menghampiri. K menyuruh R membuka handphone (HP) suaminya. Saat itu HP sedang di-cas dan MH sedang menonton TV.

“Mami, buka deh, buka,” ujar K seperti disampaikan R.

R menolak permintaan anaknya, tapi K terus memaksa. K tahu password HP ayahnya, jadi ia bisa melihat isinya.

“Pas saya lihat, astagfirullahaladzim! Ada percakapan di WhatsApp, suami saya mengucapkan selamat ulang tahun pada anaknya dan percakapan suami istri. Saya syok,” ujar R dengan suara serak pada Konde.co awal Juni 2023.

Hari itu R baru mengetahui jika suaminya ternyata punya istri lagi dengan 2 orang anak. Perkawinan tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan dan izin darinya juga izin dari pimpinan di dinasnya.

Sejak itu ia harus menghadapi jalan panjang dan berliku untuk mencari keadilan atas haknya sebagai istri dan perempuan. Di saat yang sama ia juga mengupayakan pemulihan untuk anak dan dirinya sendiri. Sayangnya hingga hari ini keadilan belum ia dapatkan.

Di lingkungan TNI soal perkawinan diatur dalam Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 31 Tahun 2017 tentang Perkawinan, Perceraian dan Rujuk bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian Pertahanan. Pasal 4 ayat 1 menyebutkan Pegawai Kemhan laki-laki pada asasnya hanya diizinkan mempunyai 1 orang istri dan Pegawai Kemhan wanita hanya diizinkan mempunyai 1 orang suami.

Perkara Poligami Dilaporkan ke Dinas

Masih diliputi rasa syok atas pengkhianatan suaminya, R memutuskan untuk segera melaporkan perbuatan MH ke atasannya.

Saat itu MH bertugas di Pusdiklat Belanegara Rumpin Bogor. Sore itu juga R menelepon istri dari komandan suaminya dan menjelaskan tindakan yang dilakukan suaminya. Istri komandan berjanji akan melaporkan hal tersebut ke komandan.

R kemudian meminta Letkol Sus Rosidi, tetangga sekaligus rekan suaminya, untuk memediasi dengan menggelar pertemuan di rumah dinas Rosidi. Pertemuan dihadiri keluarga R dan keluarga MH. R minta ada pertemuan tersebut karena ingin mengonfirmasi kebenaran data yang ia dapat.

Di pertemuan tersebut, MH mengakui ia sudah menikah dengan seorang perempuan secara siri pada 2006 di Solo. Dari pernikahan tersebut, MH mengaku punya 2 orang anak.

Pada 6 Oktober 2021 R ditemani Kolonel Kal Arif Rahman menemui Kepala Bagian Umum Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Pertahanan (Kabagum Badiklat Kemhan) Kolonel Bondan. R bermaksud melaporkan nikah siri yang dilakukan suaminya.

Sekitar seminggu kemudian pada 12 Oktober 2021, R dihubungi via telepon untuk datang ke Badiklat Kemhan. Tapi tak ada surat panggilan yang dikirim kepada R. Ia dipanggil untuk dimintai keterangan perihal nikah siri yang dilakukan MH.

R menunggu kelanjutan laporannya, tapi karena tak ada kemajuan, pada 26 Oktober 2021 R kembali mendatangi Pusdiklat Bela Negara Kemhan untuk menemui Kapusdiklat. Saat itu R diterima Kasubbag Pusdiklat Bela Negara, Mayor Hartono. Ia menyampaikan bahwa respons atas laporan R masih menunggu arahan dari Kabadiklat Kemhan.

R menuturkan, ia pernah dimediasi tapi secara pribadi oleh Kasubbag Kepegawaian, Waluyo. Mereka bertiga (R, MH dan Waluyo) bertemu di sebuah rumah makan di bilangan Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu Waluyo meminta MH untuk pulang ke rumah. Karena sejak kejadian itu MH tidak pulang ke rumah.

“Pak MH pulang ke rumah ya. Percuma saya merukunkan kalau pak MH nggak mau pulang ke rumah,” ujar Waluyo seperti disampaikan R.

Baca juga: Kasus Dugaan Perkosaan Terjadi di TNI: Awalnya Perkosaan, Lalu Dibilang Suka Sama Suka

Saran Waluyo tak diacuhkan MH. Ia beralasan saat itu adiknya sedang mengikuti pemilihan lurah di daerah Serang, jadi ia harus ada di sana untuk memberi dukungan. Proses mediasi itu tidak disambut baik.

Pada 4 November 2021, R lalu mengirim surat ke Kepala Badiklat Kemhan dengan ditembuskan ke Sekjen dan Irjen. Surat berisi pengaduan perkara poligami yang dilakukan MH beserta kronologinya.

Di bulan Desember, R baru dipanggil dan dimintai keterangan oleh Bagian Pengamanan (Bagpam) Kemhan. Proses BAP berlangsung seharian.

R sempat beberapa kali menanyakan tindak lanjut pengaduan. Petugas mengatakan perkaranya sudah diserahkan ke bagian hukum. Ketika ia minta penjelasan lebih jauh petugas menyuruh R untuk menunggu kabar selanjutnya.

Pada 2 Desember 2021, MH tiba-tiba mengajak R untuk menghadap Kabadiklat Kemhan. Mereka datang sendiri-sendiri dan bertemu langsung di kantor Badiklat Kemhan di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat. Begitu sampai di sana, mereka ditemui oleh ajudannya yang mengatakan Kabadiklat tidak dapat ditemui. Alasannya, Kabadiklat ingin mereka menghadap bertiga, MH, R dan RA, istri siri MH.

Mereka kemudian menemui Ses Badiklat atau Wakil Kabadiklat. Seperti pernyataan sang ajudan sebelumnya, Ses Badiklat juga menyampaikan bahwa Kabadiklat hanya bisa ditemui jika mereka menghadap bertiga. MH menanggapi pernyataan Ses Badiklat dengan mengatakan dirinya tidak mungkin minta RA untuk datang menghadap karena RA sudah ia ceraikan. Selain itu posisi RA saat itu berada di Solo. Akhirnya mereka pulang tanpa ada kejelasan.

Baca juga: Kekerasan Seksual Pegawai Kementerian: Korban Diperkosa dan Dipaksa Menikahi Pelaku

Sekitar Januari 2022, MH mengajak R menghadap Kapusdiklat yang baru menjabat menggantikan Kapusdiklat lama yang pindah tugas. Dalam pertemuan tersebut Kapusdiklat mendengarkan penjelasan dari R maupun penjelasan dari MH. Kapusdiklat bertanya pada MH, apa tujuan hidupnya. Ia mengarahkan MH kalau memang tujuan hidupnya bersama istri, sebaiknya MH menuruti apa yang diinginkan istri.

Kapusdiklat menanyakan apa yang diinginkan R. Ketika itu R mengungkapkan dirinya ingin tetap bersama suaminya dan meminta suaminya agar menceraikan RA, istri sirinya karena ia tidak ingin dipoligami. R menginginkan MH menceraikan RA dihadapan R dan diketahui oleh dinas. Ini lantaran R tidak ingin MH mengaku sudah menceraikan, tapi di belakangnya masih berhubungan dengan RA.

Kepala Pusdiklat mengarahkan MH untuk menuruti kemauan R. Ia menambahkan dinas siap untuk membantu dan dirinya minta dikabari dua minggu ke depan.

Dari pertemuan tersebut, R tidak melihat ada upaya yang dilakukan MH untuk mengikuti arahan dari atasannya. Ia justru menemukan indikasi MH masih berhubungan dengan RA dan didukung oleh keluarga besarnya. Proses komunikasi antara MH dan RA juga difasilitasi oleh Rosidi.

Pada sore hari 19 Februari 2022, R mengonfirmasi hal tersebut ke MH dalam perjalanan pulang setelah mereka mencuci mobil. Lalu terjadilah pertengkaran. MH memaksa R keluar dari mobilnya, setiba mereka di teras rumah. Ia menarik R keluar dari mobil dan memukulnya.

Kejadian itu disaksikan K, yang berada di teras rumah di depan mobil yang berhenti dengan MH dan R berada di dalamnya. K sempat merekam peristiwa pemukulan tersebut lewat HP. Saat itu pekerja rumah tangga (PRT) mereka sempat keluar dan menolong R. Peristiwa tersebut juga terekam oleh CCTV yang ada di teras rumah.

Selepas magrib, R melaporkan kekerasan dan poligami yang dialaminya ke Polisi Militer Angkatan Udara (POM AU) Lanud Halim. Laporan R diterima tapi tidak diberikan surat tanda terima laporan pengaduan. R langsung disarankan untuk melakukan visum. Ia diantar penyidik ke RSAU Esnawan Antariksa untuk divisum.

Akibat pemukulan yang dilakukan MH, R mengalami memar pada pipi, lengan dan leher sebelah kiri. Setelah divisum, R diperbolehkan pulang.

KDRT Berulang

Pemukulan yang terjadi pada 19 Februari 2022 tersebut bukanlah yang pertama. R menuturkan ini sudah yang ketiga kalinya.

R menikah dengan MH pada April 1999. Mereka berkenalan sekitar akhir 1998 lewat seorang teman dokter di tempat kerja R. Mereka lalu berpacaran dan menikah. Pernikahan dilakukan atas izin komandan satuan dan acara resepsi juga dihadiri komandan.

Kekerasan fisik yang dilakukan MH pertama kali terjadi pada 2002, sekitar tiga tahun setelah pernikahan. Ketika itu masih zaman SMS (short message service), R memergoki MH sedang pacaran dengan perempuan lain, memberi kado, dsb. R marah, mereka pun bertengkar dan saling berkata kasar. MH tidak terima lalu menghajar R.

Saat itu R menceritakan kekerasan yang dialaminya pada Rosidi. Tapi ia tidak melaporkan peristiwa tersebut.

Kejadian kedua terjadi saat mereka tinggal di Solo. MH saat itu bertugas sebagai Kepala Seksi Bahan Bakar Minyak (Kasi Bamin) Lanud Adi Soemarmo. Sementara R sedang mengambil pendidikan spesialis di Semarang. Pada semester pertama R ditugaskan di Solo sehingga bisa tinggal serumah dengan suaminya. Setelah satu semester, R kembali ke Semarang dan setiap minggu pulang ke Solo.

Satu waktu R menemukan sebuah nota dari salon yang salah satu itemnya berisi perawatan untuk rambut panjang. R mengecek ke salon dan pihak salon membenarkan MH datang ke salon bersama seorang perempuan. Ketika R menanyakan hal tersebut pada MH, MH malah menempeleng R.

Waktu itu, R melaporkan kekerasan yang dilakukan suaminya ke komandannya di Lanud Adi Soemarmo Solo. Ternyata sang komandan memediasi, dan akhirnya R berdamai dengan MH dan tidak mempersoalkan KDRT yang dialaminya.

Baca juga: Kisah Penyintas KDRT: Anakku, Cukup Ibumu Saja yang Menjadi Korban

Mengingat kembali peristiwa buruk tersebut, R mengatakan saat itu dirinya belum tahu soal KDRT dan prosedur pelaporannya di institusi TNI. Karena itu ia tidak melanjutkan kasus tersebut setelah proses mediasi.

“Seandainya 2006 itu saya sudah paham mengenai KDRT dan paham mengenai pelaporan KDRT, mestinya saya lapor ke POM bukan ke Dan Lanud, dan minta bukti lapor. Seandainya saat itu saya mengembangkan info yang ada, mungkin saya bisa mencegah pernikahan yang berkelanjutan sampai sekarang,” ujar R.

Sepanjang perkawinan mereka, MH juga sering merendahkan R, terutama dengan mengatakan R tidak bisa punya anak. Ini juga sering dikatakan MH kepada teman-teman dan lingkungan dinasnya, termasuk di hadapan anak mereka.

“Mami kamu ini belum pernah melahirkan, belum pernah hamil,” ucap MH seperti disampaikan R.

R merasa perkataan dan tindakan MH yang merendahkan dan selalu mempersoalkan kekurangan R sebagai upaya membuat R tidak betah sehingga menggugat cerai.

Sementara untuk kebutuhan rumah tangga selama pernikahan mereka praktis ditanggung oleh R. Pasalnya sejak awal pernikahan, MH selalu mengatakan bahwa gaji seorang prajurit itu kecil. Karena itu R tidak terlalu mempermasalahkan ketika MH tidak pernah memberikan uang gaji bulanan. Sikap MH ini terus berlanjut bahkan ketika pangkat dan jabatan MH makin naik. Hingga hari ini R tidak tahu persis besaran gaji MH.

Sikap R yang mempercayai dan memaklumi kondisi MH tersebut justru dimanipulasi oleh MH untuk menghindar dari tanggung jawab. Karena itu R harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hingga pada 2011, R mengalami keguguran akibat kelelahan. Ketika itu R berhasil hamil lewat program bayi tabung yang kedua. Sayangnya pada usia kehamilan 10 minggu ia harus kehilangan janin yang sangat dinantikan.

Pada saat itu R tinggal sendirian di rumah dinas di Jakarta, sementara MH tinggal di Bandung untuk menjalankan tugas sebagai Kasi Bamin di Lanud Husein Sastranegara. Peristiwa ini sempat membuat R terguncang, tapi ia harus menghadapinya seorang diri.

Ketidakpedulian MH ini sudah tampak sejak tahun-tahun awal pernikahan. Dari 2002 hingga 2012 R menempuh berbagai upaya untuk bisa mendapatkan keturunan. Biaya berobat ke dokter, konsultasi, obat, dll, tidak ditanggung oleh Askes. Karena itu R harus keluar uang sendiri. Selama proses tersebut MH jarang sekali punya waktu untuk mendampingi R.

Baca juga: Menjadi Korban KDRT, Hidupku Berubah 180 Derajat

MH juga sering absen dalam momen-momen penting bagi R. Ketika R ada kegiatan seperti acara ilmiah, dinas, umroh, atau gathering keluarga, MH selalu menolak untuk mendampingi. Ia selalu berkelit dengan alasan sulit mendapat izin dinas.

Saat mereka memiliki anak yang dirawat dari bayi pada 2012, kebutuhan sang anak juga ditanggung oleh R. Mulai dari biaya perawatan, biaya dokter dan terapis karena K sempat mengalami keterlambatan kemampuan bicara, hingga biaya pendidikan. MH tidak memberikan uang untuk kebutuhan anaknya tersebut.

Setelah ketahuan bahwa MH berpoligami, R jadi menyadari alasan sikap suaminya yang selalu menolak mendampinginya di berbagai kesempatan, ternyata MH memilih menggunakan kesempatan tersebut bersama istri siri dan anak-anaknya.

Kasus KDRT Dilaporkan

Setelah R melapor pada 19 Februari 2022, R baru dipanggil untuk proses BAP di POM AU pada Maret 2022. Beberapa waktu setelahnya, R datang kembali untuk menanyakan perkembangan kasusnya. 

Ketika itu penyidik mengatakan pada R agar berhati-hati karena untuk perkara seperti ini kalau data tidak cukup, pelapor bisa jadi terlapor. Saat itu R merasa dirinya seperti ditakut-takuti oleh penyidik.

Pernyataan penyidik tersebut diulang kembali saat R datang untuk yang kedua kalinya menanyakan perkembangan perkaranya. Kali kedua R didampingi kuasa hukum dari Advokat Cinta Tanah Air (ACTA).

“Hati-hati bu, ini pelapor bisa jadi terlapor,” begitu kata penyidik seperti diungkapkan R.

Pendamping hukum R menanggapi dengan mengatakan, kalau demikian R bisa jadi korban untuk yang kedua kali. 

Setelah itu POM AU mengeluarkan surat panggilan pemeriksaan sebagai saksi yang ditujukan pada K, anak R. Surat datang sehari sebelum jadwal pemeriksaan. R berkonsultasi dengan pendamping hukumnya. Ia minta waktu ke penyidik untuk mempersiapkan K sebelum pemeriksaan mengingat K masih anak-anak.

R mendatangi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk mengupayakan pendampingan bagi K. Dari sana ia diarahkan ke pusat perlindungan perempuan dan anak Provinsi DKI yang menangani tugas teknis karena kewenangan KPAI hanya memonitor. Besoknya R mendatangi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta.

Di sana R membuat pengaduan kasus poligami dan KDRT. R dan K, anaknya, kemudian mendapat layanan konseling. Akhirnya setelah beberapa kali konseling, K menjalani proses BAP dengan didampingi advokat dan psikolog anak dari P2TP2A DKI.

Jadi baik R maupun K, anaknya sudah menjalani pemeriksaan. Tapi kemudian tidak ada tindak lanjut setelah pemeriksaan.

Baca juga: KDRT Bukan Masalah Privat: Teknologi Bisa Bantu Ciptakan Ruang Aman Bagi Korban

Sudah 8 bulan berlalu tapi laporan R tidak direspons dengan baik. R lalu mengadukan perkaranya ke Panglima TNI Andika Perkasa—saat ini purnawirawan—pada Juli 2022. Ia mengirim surat pengaduan ke panglima TNI dengan tembusan ke Kepala Staf Angkatan Udara dan Kepala POM AU. Pengaduan ini direspons dengan baik oleh panglima TNI. Dua hari kemudian R dipanggil untuk menghadap kepala bagian penyelidikan. Semua pihak yang terlibat dengan perkara ini pun diperiksa oleh polisi militer.

Pemeriksaan terhadap MH dilakukan pada 18 Agustus 2022. Hari itu juga MH ditahan di pemasyarakatan militer (Masmil) di Cimanggis, Depok. Ia ditahan selama 50 hari.

Berkas perkara KDRT kemudian naik ke persidangan. Sayangnya sanksi dikunci dengan pasal paling ringan oleh penyidik Satpom AU. Oditur Militer Tinggi II Jakarta atau penuntut umum juga menggunakan pasal yang sama. Ketika R menanyakan soal ini ke oditur militer tinggi, ia beralasan oditur tidak bisa menaikkan pasal yang sudah dikunci oleh penyidik. Bahkan oditur mengeluarkan pernyataan yang tak berempati pada R.

“Belum tentu ibu benar dan belum tentu juga Pak MH salah,” kata oditur militer tinggi seperti disampaikan R.

Mendengar pernyataan tersebut, R jadi merasa heran karena oditur justru tidak berpihak kepada korban.

Persidangan Kasus KDRT

Oditur Militer Tinggi mendakwa MH dengan pasal 44 ayat 4 Jo pasal 5 huruf a UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Adapun tuntutannya berupa pidana penjara selama 4 bulan atau denda sebesar 5 juta rupiah.

Dalam salinan Putusan Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta Nomor 64-K/PMT-II/AU/XI/2022 Majelis Hakim Tinggi berpendapat terdapat cukup bukti yang sah dan meyakinkan terdakwa melakukan tindak pidana seperti dakwaan oditur militer tinggi. Yakni melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit dan halangan untuk melakukan kegiatan sehari-hari.

Terhadap tuntutan oditur militer tinggi yang menggunakan kata “atau” majelis hakim tinggi berpendapat hal tersebut bersifat ambigu. Akibatnya menimbulkan kerancuan dan kesalahan dalam menafsirkan tuntutan oditur tersebut. Karena itu majelis hakim tinggi mempertimbangkan sendiri putusan perkara ini.

Majelis hakim tinggi berpendapat tujuan pemidanaan kasus ini lebih tepat jika dimaksudkan dalam rangka pembinaan. Hal ini dipandang sejalan dengan hakikat pemidanaan dalam UU PKDRT yang salah satu tujuannya untuk melindungi agar tidak terjadi kekerasan fisik dalam rumah tangga. Apalagi hasil visum et repertum menyebutkan akibat dari perbuatan terdakwa tergolong ringan dan tidak menghalangi saksi korban untuk beraktivitas.

Majelis hakim tinggi juga melihat kualitas dari perbuatan terdakwa sangatlah ringan. Karena itu tuntutan pidana penjara yang diajukan oditur militer tinggi dipandang masih terlalu berat. Untuk hakim militer tinggi berpendapat patut dan layak kalau terdakwa dijatuhkan pidana penjara yang lebih ringan dari tuntutan oditur militer. Menurut majelis hakim tinggi, pidana bersyarat adalah putusan yang adil dan seimbang dengan kesalahan terdakwa.

Dalam putusannya, majelis hakim tinggi memidana terdakwa dengan pidana penjara selama 2 bulan. Namun pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani jika dalam masa percobaan selama 4 bulan terpidana tidak melakukan tindak pidana atau pelanggaran terhadap UU No. 25 tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer.

Baca juga: Ada Desa Khusus Perempuan; Warganya Korban Kekerasan Seksual Dan KDRT

Dalam pandangan majelis hakim pidana bersyarat adalah juga pemidanaan atau hukuman yang bukan suatu pembebasan atau pengampunan. Sedangkan masa percobaan selama waktu tertentu dimaksudkan untuk mendidik agar terdakwa lebih berhati-hati dan memperbaiki diri sambil terus dapat melaksanakan tugas pokoknya di kesatuan.

Sidang dengan agenda putusan perkara tersebut berlangsung Kamis 9 Februari 2023. Bertindak sebagai hakim ketua Koerniawaty Syarif sedang hakim anggota Adeng dan Sariffudin Tarigan.

Menanggapi putusan majelis hakim oditur militer berjanji akan melakukan banding. Tapi sampai batas waktu yang ditentukan hakim untuk melakukan banding, R tidak mendapat kabar dan kejelasan. R lalu menanyakan perkembangan banding secara resmi melalui surat ke Orjen dan Oditur Militer Tinggi II Jakarta. Namun mengejutkan, R mendapat jawaban bahwa banding dibatalkan karena hukuman yang dijatuhkan telah seimbang dengan perbuatan terdakwa.

Adapun pertimbangan yang dipakai oditur adalah pertama, terdakwa masih menghadapi penuntutan dalam perkara poligami. Secara yuridis putusan terdahulu yang sudah berkekuatan hukum tetap akan menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara selanjutnya sebagai hal yang memberatkan.

Kedua, putusan pidana 2 bulan dengan masa percobaan 4 bulan, secara administrasi akan diikuti sanksi administrasi berupa penundaan kenaikan pangkat 2 periode dan mengikuti pendidikan 1 periode. Ketiga, perbuatan terdakwa dianggap tidak menimbulkan penyakit atau halangan bagi korban untuk menjalankan pekerjaan atau mata pencarian.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut menurut R mengabaikan dampak psikologis dan sosial karena KDRT yang terjadi berkepanjangan hingga hari ini terhadap R dan K, anaknya.

Baca juga: Suamiku Mau Poligami, Ini Kisahku Berlatih Jadi Janda

Dalam pertimbangannya seperti tercatat dalam salinan putusan, majelis hakim tinggi tidak menyinggung soal poligami yang melatari tindakan kekerasan yang dilakukan terdakwa. Di sisi lain dalam kesaksiannya R mengatakan sering terjadi keributan bahkan KDRT berupa tindakan fisik dan verbal dalam rumah tangganya. Tapi hal ini tidak digali dalam persidangan baik oleh oditur maupun hakim.

Kuasa hukum korban dari Lokataru, Sri Suparyati mengatakan, di situlah pihaknya melihat posisi majelis hakim tinggi yang tidak punya sensitivitas gender. Jadi majelis hakim tinggi memilah-milah antara fakta yang terjadi di perkara KDRT dengan fakta

yang terjadi di perkara poligami. Padahal dua perkara tersebut saling berkaitan.

“Karena posisinya yang tidak sensitif gender itu maka majelis hakim tinggi mencoba untuk memisahkan. Seperti tidak mau melihat bahwa KDRT adalah dampak dari poligami,” ujarnya saat dihubungi Konde.co pada Rabu (28/6).

Perkara Poligami Dianggap Kadaluarsa

Saat kasus KDRT bisa masuk ke persidangan, tidak demikian dengan perkara poligami. Perkara poligami tidak bisa dilanjutkan ke persidangan karena Oditur Militer Tinggi II Jakarta menganggap bahwa kasus poligami tersebut sudah kedaluwarsa.

Karena itu R kembali mengirim surat pengaduan ke Panglima TNI, Andika Perkasa pada Oktober 2022. Ia memohon agar perkara poligami yang dilakukan suaminya dilanjutkan prosesnya. Pengaduannya yang kedua juga direspons dengan baik.

Dalam proses tersebut sempat terjadi pergantian pimpinan Kepala Oditur Militer Tinggi II Jakarta. Setelah pergantian tersebut berkas perkara poligami dilimpahkan ke persidangan. Posisi Kepala Oditur Militer Tinggi II Jakarta digantikan oleh Brigjen Salidin.

Sebelumnya Salidin menjabat sebagai Wadanpuspom TNI. Pada Agustus 2022 ia mendapat perintah dari Panglima TNI Andika Perkasa untuk melakukan penyelidikan perkara KDRT yang dialami R. Dari proses pemeriksaan, Salidin kemudian memerintahkan penahanan MH.

Akhirnya pada bulan Januari 2023, perkara poligami masuk dalam persidangan bersamaan dengan persidangan KDRT. Bertindak sebagai Oditur Militer Tinggi Kolonel Chk Tarmizi.

Baca juga: Para Perempuan Korban Poligami

Dalam persidangan, oditur militer tinggi mendakwa MH dengan pasal 279 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal tersebut menyatakan “barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa pernikahan atau perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.” Karena itu oditur mengajukan tuntutan pidana penjara selama 10 bulan, potong tahanan sementara.

Berdasarkan salinan Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Nomor 68-K/PMT-II/AU/XI/2022 disebutkan terdakwa dan penasihat hukumnya mengajukan keberatan (eksepsi) atas dakwaan oditur. Atas eksepsi tersebut dan tanggapan oditur terhadap eksepsi penasihat hukum terdakwa, majelis hakim tinggi menjatuhkan putusan sela pada 30 Januari 2023.

Putusan sela dengan nomor 68-K/PMT-I/AU/XI/2022 menyebutkan majelis hakim tinggi, pertama, menolak eksepsi/keberatan yang diajukan penasihat hukum terdakwa. Kedua, menyatakan surat dakwaan Oditur Militer Tinggi II Jakarta nomor Sdak/56/XI/2022 tanggal 23 November 2022 sah dan dapat diterima. Ketiga, sidang perkara tersebut dilanjutkan.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim tinggi membenarkan argumentasi penasihat hukum terdakwa tentang kedaluwarsa penuntutan terhadap perbuatan terdakwa. Hal tersebut dinilai sesuai dengan pasal 78 KUHP dan pasal 79 KUHP. Karena itu penuntut umum dalam hal ini Oditur Militer Tinggi dalam menyusun surat dakwaan hendaknya memperhatikan ketentuan hukum tersebut.

Lebih lanjut majelis hakim tinggi mengungkapkan bahwa rentang waktu antara terjadinya perbuatan pidana (pernikahan ganda secara siri) pada 10 Desember 2006 dengan diketahuinya perbuatan pidana tersebut oleh istri sah terdakwa pada 5 Oktober 2021 menunjukkan perbuatan yang dilakukan terdakwa sudah mencapai lebih dari 14 tahun.

Karena itu menurut majelis hakim, secara yuridis berdasarkan aturan hukum yang berlaku kewenangan untuk melakukan penuntutan telah hapus dikarenakan kedaluwarsa. Dengan kata lain terhadap perkara terdakwa tidak bisa dilakukan penuntutan. Untuk itu tuntutan oditur militer tinggi tidak dapat diterima dan kehilangan legalitasnya.

Pasal 78 KUHP secara umum membahas hapusnya penuntutan atas suatu tindak pidana, baik kejahatannya maupun pelanggarannya karena lewat tenggang kedaluwarsa yang ditetapkan dalam pasal tersebut (setelah 12 tahun).

Fakta persidangan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana perkawinan ganda secara siri (poligami) diakui oleh majelis hakim tinggi. Perbuatan tersebut dipandang bertentangan dengan hukum yang berlaku, melanggar norma-norma dalam masyarakat militer dan bertentangan dengan tata kehidupan prajurit TNI.

Untuk itu dalam putusannya, majelis hakim tinggi menyatakan tuntutan oditur militer tinggi tidak dapat diterima karena tindak pidana sudah kedaluwarsa. Hakim mengembalikan perkara terdakwa MH kepada Perwira Penyerah Perkara (Papera) untuk diselesaikan secara hukum disiplin militer.

Putusan ini dibacakan dalam persidangan yang berlangsung pada Selasa, 30 Mei 2023. Persidangan ini dipimpin oleh hakim ketua Adeng serta hakim anggota Siti Mulyaningsih dan Sariffudin Tarigan.

Menanggapi putusan majelis hakim tinggi, oditur militer tinggi II Jakarta Tarmizi mengatakan pihaknya akan mengajukan banding. Ditemui usai sidang oleh Konde.co, Tarmizi menjelaskan banding adalah prosedur biasa.

“Banding adalah prosedur biasa yang artinya saya tidak sependapat dengan putusan hakim.”

Sementara saat ditanya soal kedaluwarsa yang dalam putusan sela tidak dilanjutkan tapi di putusan akhir justru dikabulkan, Tarmizi tidak mempersoalkannya. Menurutnya dalam hal seperti ini hakim bisa punya 2 pilihan. Pertama memutus pada saat putusan sela, artinya perbuatan materiilnya tidak dibuktikan. Atau kedua memutus pada putusan akhir yang berarti membuktikan dulu perbuatannya. Dalam perkara ini perbuatannya (poligami) terbukti, hanya menurut hakim sudah kedaluwarsa sehingga dijatuhkan hukuman disiplin.

Korban dan Kuasa Hukum Soroti Putusan Majelis Hakim

Menanggapi putusan majelis hakim, R mengungkapkan putusan tersebut mencederai korban karena tidak berpihak terhadap korban. Menurutnya sebagai seorang prajurit, MH harusnya mengayomi dan melindungi keluarganya tapi ia justru melakukan hal yang sebaliknya.

“Pernikahan poligami ini sebenarnya kekerasan dalam rumah tangga. Harusnya di tempat inilah (pengadilan militer tinggi) saya bisa mendapat keadilan,” ujar R.

R berharap agar persoalan kedaluwarsa ini ditelaah lebih jauh karena menurutnya ada penghitungan kedaluwarsa terkait pengaduan yang tidak tepat. Tindakan poligami yang dilakukan MH diketahui pada 5 Oktober 2021, R telah mengadukan kasus tersebut pada 19 Februari 2022. Rentang waktu tersebut kurang dari 6 bulan. Tapi saat ia mengadu ke Satpom Lanud Halim Perdanakusuma, pengaduan perkara poligaminya ditolak dan yang diterima hanya pengaduan perkara KDRT.

Seperti dipaparkan sebelumnya, pada 19 Februari 2022 R melapor ke Satpom Lanud Halim Perdanakusuma setelah terjadi KDRT. R mengadukan kasus poligami dan KDRT yang dialaminya. Tapi R dikondisikan kasus KDRT saja yang dilaporkan. R juga menulis surat ke Kabadiklat dengan ditembuskan ke Sekjen dan Irjen pada November 2021. R lalu dipanggil untuk menjalani BAP di Bagpam Kemhan. Tapi proses ini tidak dilanjutkan oleh Bagpam Kemhan. Seluruh pengaduan dan laporan ini sayangnya diabaikan begitu saja.

Sementara di persidangan, majelis hakim berpendapat pengaduan dilakukan pada Juli 2022 yakni ketika R mengirim surat pengaduan ke panglima TNI. R mengaku sudah berupaya menyampaikan soal ini kepada oditur. Tapi ternyata tidak muncul di persidangan, tidak ada pembelaan dari oditur bahwa pengaduan R tidak kedaluwarsa. 

Kuasa hukum korban, Haris Azhar menyoroti putusan majelis hakim soal kedaluwarsa yang mengabaikan fakta perbuatan terdakwa baru diketahui korban pada 2021. Haris Azhar mengatakan cara berpikir seperti yang dipakai majelis hakim sudah ditinggalkan oleh para ahli hukum. 

“Cara berpikir majelis hakim ini sudah ditinggalkan oleh para ahli hukum. Kejahatan harus dilihat bukan dari kapan pertama kali dilakukan tapi kapan mulai diketahui oleh korban atau pihak-pihak yang dianggap layak melakukan upaya hukum. Karena itu penting untuk mendasarkan pada R mengingat ia adalah korban.”

Selain itu, karena R adalah korban, ia berada dalam posisi sebagai pihak yang bisa melakukan pelaporan. Pasalnya tuntutan tindak pidananya masuk kategori aduan. Jadi yang bisa mengadu hanya R dan R baru tahu pada 2021. Karena itu belum masuk ranah kedaluwarsa.

Kasus ini juga belum kedaluwarsa karena sampai sekarang masih terjadi. Jadi kalau R baru tahu peristiwa tersebut tahun 2021, mestinya diambil tindakan hukum berdasarkan 12 tahun terakhir. Apalagi menurut Haris kasus ini bisa lanjut sampai ke tahap akhir seperti sekarang. 

“Kalau memang dianggap hitungan waktunya sudah kedaluwarsa, harusnya di putusan sela kasus ini sudah berakhir. Tapi kasus dilanjutkan oleh majelis hakim dan baru dikatakan kedaluwarsa di tahap akhir, karena ini mencurigakan.”

Melampaui aspek litigasi, Haris melihat kasus ini menjadi catatan merah untuk institusi TNI yang tak punya keberpihakan pada keadilan gender dan feminisme. Pada kasus ini, TNI lewat pengadilan militer tingginya gagal menyerap kemajuan konsep gender dan feminisme. R sebagai korban tidak mendapat tempat untuk dibela kondisi keperempuanannya.

“Ini bukan sekadar tindak pidana. Tapi ini tindak pidana yang memanfaatkan subjektivitas yang lemah dari R,” kata Haris saat ditemui di pengadilan usai sidang.

Ia menambahkan, institusi besar seperti TNI harusnya punya penghormatan yang cukup baik terhadap perempuan. Karena itu di TNI berlaku aturan beristri lebih dari satu tidak diperbolehkan. Hal itu juga dalam rangka menjaga penghormatan terhadap perempuan. Tapi dalam putusan ini, hal itu tidak tergambarkan.

Terkait sanksi hukuman disiplin, Haris melihatnya jadi seperti lempar-lemparan antara pengadilan militer tinggi dengan Papera. 

“Papera sudah menyerahkan perkara tersebut ke pengadilan militer. Ini artinya bukti awal sudah cukup tapi dia tidak punya kewenangan mengadili, karena itu diserahkan ke pengadilan militer.”

Oleh pengadilan militer malah dikembalikan lagi ke Papera. Artinya perkara ini dikembalikan ke atasannya. Sementara atasan dan terdakwa satu unit, ada hubungan keterhubungan dan saling membutuhkan. Karena itu Haris meragukan sanksi etik bisa objektif.

Fakta Pernikahan Siri MH

Dari salinan putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Nomor 68-K/PMK-II/AU/XI/2022 terungkap fakta-fakta persidangan terkait pernikahan siri yang dilakukan MH.

MH mengenal RA pada 2005 di sebuah rumah makan di Solo. Saat itu RA masih duduk di bangku SMA. Saat perkenalan MH bertanya soal pengobatan alternatif karena MH sakit lambung dan sering sakit kepala. RA lalu mengenalkan MH pada ayahnya, AM, yang membuka praktik pengobatan alternatif seperti bekam dan tusuk jarum di rumahnya. Setelah itu MH sering datang ke rumah orang tuanya untuk berobat.

Sejak itu RA sering diajak MH keluar untuk makan, hingga akhirnya mereka berpacaran. Pada 10 Desember 2006 RA menikah secara siri dengan MH di rumah orang tuanya. Ketika menikah RA berusia 18 tahun sedang MH hampir 39 tahun. Saat itu MH menjabat sebagai Kasi Bamin Lanud Adi Soemarmo dengan pangkat Kapten.

Ketika menikah dengan MH, RA mengetahui status MH yang sudah menikah. RA dinikahkan oleh ayahnya sendiri sebagai wali sekaligus penghulu. Saksi dari RA adalah ibunya, TK, dan dua orang kakak perempuannya IkM dan IiM. Sedang saksi dari H adalah adik laki-lakinya, AN. Mas kawinnya seperangkat alat salat, Al-Qur’an, dan cincin emas putih 2,5 gram.

Baca juga: Jadi Korban Poligami Karena Janji Manis Suami dan Janji Manis Radikalisme

Kepada RA, MH mengatakan ingin mempunyai keturunan karena selama hampir 8 tahun menikah dengan istri pertamanya belum dikaruniai anak. Alasan ini juga yang disampaikan MH kepada AM, dan minta untuk dinikahkan dengan RA. Akhirnya AM menikahkan MH dengan RA. Ketika menikah dengan RA, MH tidak membawa surat izin dari kesatuan dan surat izin dari istrinya. Dalam persidangan AM mengaku tahu bahwa anggota TNI aktif tidak boleh menikah secara siri dan punya istri lebih dari satu. 

Dari pernikahan dengan RA lahir dua orang anak AP (14 tahun) dan HN (12 tahun). RA tinggal bersama MH dan mengikuti MH dimanapun ia ditugaskan. Dalam kesaksiannya RA mengatakan sejak Oktober 2021 RA ditalak MH dan sejak itu RA dan anak-anaknya tinggal bersama kakaknya. Pengakuan berbeda disampaikan AM yang mengatakan berdasarkan cerita RA, MH menceraikan RA dengan menjatuhkan talak pada November 2021.

Soal perceraian antara RA dan MH, selain RA, 3 saksi yang lain, IkM, IiM dan TK juga mengatakan MH sudah tidak memberikan nafkah setelah menceraikan RA. Tapi MH masih menafkahi 2 orang anaknya dengan mentransfer uang sebesar 2 hingga 3 juta rupiah per bulan lewat rekening anaknya.

Sementara AN, saksi pernikahan siri antara MH dengan RA, dalam persidangan mengatakan dirinya tidak tahu apakah MH saat menikah secara siri punya surat izin dari kesatuan maupun dari istrinya. Ia juga mengaku tidak tahu jika anggota TNI aktif tidak diperbolehkan punya istri lebih dari satu.

Saksi AFM dalam persidangan mengatakan pada Oktober 2021 dirinya dan adiknya A, datang ke Jakarta untuk menjadi saksi perceraian kakaknya, MH, dengan RA. Perceraian tersebut dituangkan dalam surat pernyataan cerai yang ditandatangani AFM, A, IkM dan IiM sebagai saksi. AFM juga menyatakan perceraian antara MH dengan RA terjadi karena MH ketahuan oleh istrinya (R) kalau menikah siri dengan RA.

Lewat Institusi Maupun Pengadilan, Keadilan Sulit Didapat

Dari seluruh proses yang sudah ia tempuh untuk mencari keadilan, R merasa tidak bisa berharap banyak baik terhadap dinas maupun pengadilan. Lantaran yang ia hadapi adalah sebuah institusi besar.

R menuturkan agar kasusnya ditanggapi dan diproses sampai ke persidangan ia harus melalui pejabat pemegang wewenang tertinggi di TNI. Meski pada akhirnya dimentahkan kembali oleh hakim dengan alasan kasusnya kedaluwarsa.

“Memang berliku sekali, untuk dinaikkan (kasusnya) sampai ke persidangan itu nggak mudah ternyata. Harus sampai ke pucuk pimpinan baru bisa membuat ini disidangkan meskipun akhirnya keadilan dikalahkan dengan prosedur,” ujar R.

R merasa hasil persidangan seperti membuktikan kekhawatirannya sejak awal bahwa persidangan tidak akan berpihak pada korban.

“Dalam proses di persidangan itu saya masih menaruh harapan besar bahwa ini akan ada sisi keadilan yang muncul dari hakim. Tapi dari awal saya sebenarnya ragu karena sejak dari pelaporan dan penyelidikan saya sudah merasa curiga ini kayaknya ujungnya nggak berpihak kepada saya. Karena sejak awal itu udah jelas banget saya itu tidak dirangkul dan laporan saya tidak ditanggapi,” beber R.

Bahkan ketika melakukan pelaporan, R merasa selalu dipandang sebagai perempuan yang ingin mengandangkan suami atau ingin balas dendam. “Saya selalu dipandang dengan stigma itu. Kenapa setiap perempuan yang berjuang dianggap agresif, dianggap ingin balas dendam, dianggap ingin mengandangkan, ingin memenjarakan?” gugatnya.

Padahal peraturan yang mengatur soal KDRT dan poligami sudah ada, mulai dari undang-undang, peraturan menteri hingga peraturan panglima. Pasal-pasal yang mengatur soal sanksi juga sudah jelas. Karena itu menurut R aturan yang ada mestinya bukan hanya menjadi pajangan karena tidak pernah digunakan sebagaimana mestinya. Begitu juga dalam kasus yang ia hadapi, R berharap sanksi hukum diterapkan sesuai peraturan yang ada.

“Kalau terkait dengan tuntutan hukumnya sesuaikan saja dengan peraturan yang ada,” ujarnya.

Ia manambahkan tindakan MH yang melakukan KDRT dan poligami tidak menunjukkan dirinya mempunyai jiwa prajurit.

“Perbuatannya tidak mencerminkan seorang prajurit yang memegang Sumpah Prajurit, Sapta Marga, dan kewajibannya. Saya sangat menyayangkan kalau institusi TNI mempertahankan orang-orang yang tidak punya mental prajurit dan tidak kesatria mengakui kesalahannya.”

Dalam persidangan kedua perkara tersebut selain hakim tidak menunjukkan perspektif gender, menurut R proses persidangan berjalan seperti hanya untuk memenuhi prosedur. Jauh dari kesan untuk menjalankan mandat menegakkan hukum dan keadilan.

“Di persidangan saya tidak diberi ruang untuk menyampaikan fakta-fakta tambahan. Jadi hakim itu tidak berusaha menggali situasi KDRT-nya itu yang terjadi bagaimana. Karena kan pasti ada kendala saat di penyidikan, tidak terungkap semua,” paparnya.

Semula R merasa akan mendapat ruang yang cukup seperti yang disampaikan Kepala Oditur Militer Tinggi, Salidin dalam satu kesempatan, agar R menyampaikan semua fakta yang terjadi yang kurang saat penyidikan. Tapi di persidangan ternyata justru sulit dilakukan. Yang terjadi hakim seperti hanya menjalankan tugas dan dikejar-kejar waktu karena ada persidangan lain. Akibatnya korban tidak punya kesempatan untuk mengungkapkan fakta-fakta yang ada.

Ketika bukti berupa rekaman CCTV diperlihatkan, tidak digunakan perangkat yang mendukung, melainkan diputar melalui handphone dan dilihat beramai-ramai oleh hakim tersangka dan korban. Akibatnya rekaman video tidak terlihat dengan jelas, sulit untuk melihat detail kajadian dan memahami situasi yang terjadi.

Sementara proses banding saat ini sedang bergulir. Kuasa hukum korban Sri Suparyati menjelaskan hingga saat ini pihaknya tidak pernah menerima pemberitahuan resmi yang menyatakan oditur militer tinggi sudah mengajukan banding. Kuasa hukum korban juga sudah berkirim surat tapi tak ada tanggapan.

Karena itu Sri kemudian mendatangi Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta untuk menanyakan secara langsung. Tapi 2 kali kedatangan Sri ke sana ia tidak pernah bisa bertemu dengan Tarmizi, oditur militer tinggi yang menangani kasus poligami. Hal yang sama ia hadapi ketika meminta bertemu dengan panitera pengganti, Khairudin.

Sri hanya bisa menemui petugas pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) yang mengiyakan banding sudah diajukan.

“Iya bu, diajukan,” ujar petugas PTSP seperti disampaikan Sri Suparyati.

Karena itu Sri kembali menegaskan bahwa pihaknya belum menerima informasi tertulis perihal banding.

Konde.co pada 5 Juli 2023 mengirim surat permohonan wawancara untuk mengonfirmasi status banding perkara nomor 68-K/PMT.II/AU/XI/2022 kepada panitera pengganti Pengadilan Militer tinggi II Jakarta Mayor Chk Khairudin. Namun hingga laporan ini dipublikasikan belum ada tanggapan dari panitera pengganti.

R menuturkan kasus yang dialaminya ternyata didengar oleh para istri dari anggota TNI AU yang lain. Peristiwa yang ia hadapi ternyata dialami juga oleh sejumlah istri anggota TNI AU. Terutama praktik poligami yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan tanpa izin dinas. Beberapa perempuan menceritakan pengalaman mereka pada R.

Karena itu upayanya mencari keadilan bukan hanya untuk dirinya sendiri. Dengan kasusnya terungkap ke publik ia berharap makin banyak istri anggota TNI yang berani melaporkan KDRT dan poligami yang dialaminya. Dengan begitu kasus kekerasan terhadap perempuan bisa muncul ke permukaan. 

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!