Meski masih menyisakan banyak PR, keberagaman masyarakat Indonesia – termasuk gender, budaya, agama, dan latar belakang lainnya – dari tahun ke tahun semakin meningkat dalam dunia kerja.
Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan baru bagi berbagai pegawai dan perusahaan.
Indeks Perluasan Akses dan Kesempatan keluaran Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tentang inklusivitas dalam dunia kerja menunjukkan peningkatan nilai nasional dari 4,21 menjadi 7,06 (dari skala 10) selama periode 2011-2021. Berbagai skema industri yang menggagas inklusivitas, seperti Indonesia Business and Disability Network (IBDN), juga mulai bermunculan dan menggandeng banyak perusahaan.
Tuntutan ini pun terefleksi dalam karakter Gen Z (kelahiran sekitar 1996-2012). Dalam tiga tahun ke belakang, kelompok usia ini mulai memasuki dunia kerja yang semakin dinamis dan beragam.
Riset yang kami lakukan (belum dipublikasikan), misalnya, menyebutkan bahwa Gen Z melihat toleransi dan bekerja dengan orang yang berbeda budaya, kondisi, atau latar belakang, sebagai salah dua kompetensi terpenting yang harus dimiliki pekerja.
Temuan ini kami dapatkan dengan mewawancarai 100 responden mahasiswa tingkat akhir dan alumni Gen Z dari Universitas Brawijaya di Malang, Jawa Timur.
Di tengah era ekonomi yang disruptif dan semakin beragam ini, Gen Z lebih peka terhadap berbagai jenis perbedaan latar belakang di tengah masyarakat – dan industri harus lebih sigap menanggapi perubahan ini.
Harus lebih peka terhadap keberagaman
Studi yang kami lakukan menawarkan beberapa indikator kompetensi non-teknis (soft skill) kepada 100 responden Gen Z. Kami meminta mereka menentukan mana yang menjadi prioritas.
Hasilnya, ‘toleransi’ dan juga ‘bekerja dengan orang dari berbagai latar belakang’ muncul sebagai dua dari tiga kompetensi yang paling penting.
Responden Gen Z dalam studi kami mengindikasikan bahwa mereka semakin berupaya menerima keberagaman masyarakat demi mewujudkan koeksistensi (hidup berdampingan dengan kelompok yang berbeda-beda) dan lingkungan multikultural di lingkungan kerja.
Mereka menganggap pekerja dan perusahaan harus memiliki pemahaman atas konsep kerendahan hati, menerima keberagaman, terbuka terhadap perbedaan, serta bersikap fleksibel dalam bekerja secara kelompok dengan komposisi pegawai yang beragam.
Menurut mereka, perbedaan yang harus diterima pun bukan hanya dari segi ras maupun agama – namun juga pendidikan, keterbatasan fisik, latar belakang kultural, maupun aspek ideologi lainnya.
Kita melihat bahwa sikap-sikap ini semakin penting di kalangan pegawai maupun calon pegawai Gen Z.
Tapi, pertanyaan lainnya, apakah berbagai tempat kerja di Indonesia sudah siap menyambut semangat akan keberagaman dan inklusivitas tersebut?
Tantangan dan peluang untuk dunia industri: membangun inklusivitas
Meski ada tren positif, berbagai laporan dan kajian masih menemukan banyak diskriminasi dalam dunia kerja di Indonesia.
Berdasarkan survei Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada 2020 terhadap 400 perusahaan di Indonesia, 80% menyatakan dukungan terhadap kesetaraan gender di dunia profesional. Namun, masih ada banyak hambatan di lapangan: banyak perusahaan belum memberikan pengaturan kerja yang memihak perempuan, apalagi dengan budaya Indonesia yang masih membebankan pekerjaan domestik kepada mereka.
Ini berakibat pada lambatnya kemajuan karir perempuan, rendahnya proporsi perempuan pada jabatan tinggi perusahaan, hingga kesenjangan gaji (pay gap).
Di luar gender, beberapa tempat kerja juga masih memegang kebijakan penerimaan pegawai yang cenderung diskriminatif.
Beberapa peraturan rekrutmen di lembaga negara, misalnya, menuntut calon pegawai memiliki tinggi badan dan berat badan (Body Mass Index atau BMI) tertentu yang dianggap ‘normal’. Beberapa juga mempertahankan kriteria ‘sehat jasmani-rohani’ yang cenderung diskriminatif terhadap calon pekerja difabel, ketimbang memberi akomodasi terhadap kelompok tersebut.
Mengakomodasi Gen Z sekaligus mendukung perusahaan
Keberhasilan perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam menjawab berbagai tantangan ini bisa jadi akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam menarik dan mempertahankan pegawai Gen Z.
Menurut survei tahun 2018 dari Deloitte terhadap hampir 2.000 calon pekerja Gen Z dari berbagai negara – termasuk Amerika Serikat (AS), Australia, Cina, dan India – sebanyak 69% mengatakan keberagaman mempengaruhi loyalitas mereka terhadap perusahaan.
Di Inggris (UK), studi dari Intel juga menemukan 56% Gen Z yang mereka survei menghindari perusahaan yang komposisi pimpinannya tidak beragam.
Tak hanya demi pekerja Gen Z, berbagai riset pun membuktikan bahwa meningkatkan keberagaman dapat mendongkrak performa karyawan dan perusahaan.
Studi tahun 2021 di AS, misalnya, menemukan bahwa pengurangan kesenjangan keberagaman sebesar 1% saja antara level manajemen maupun staf, dapat meningkatkan produktivitas perusahaan hingga US$ 1.590 (hampir Rp 24 juta) per karyawan per tahun.
Menurut beberapa riset lain, perusahaan yang inklusif terhadap pekerja difabel juga mengalami peningkatan laba, loyalitas pegawai, dan penurunan angka pengunduran diri pegawai (turnover).
Dengan adanya inklusivitas, maka inovasi dan ide dari para pekerja akan semakin kaya. Perspektif yang dibawa akan semakin beragam dan akan mendorong perkembangan inovasi.
Membangun keberagaman dan inklusivitas memerlukan kontribusi semua pihak, baik dari sisi pekerja maupun perusahaan.
Pekerja muda, terutama Gen Z, telah menunjukkan indikasi menyambut keberagaman – perusahaan di Indonesia juga harus lebih sigap mengakomodasinya. Ini penting untuk menjamin bahwa setiap orang – apapun latar belakangnya – terpenuhi hak-hak dasarnya sebagai pekerja.
Adhi Cahya Fahadayna, Dosen dan Koordinator Pengembangan Karir, Career Development Center, Universitas Brawijaya; Adam Hendra Brata, Dosen dan Koordinator Pusat Data Alumni, Career Development Center, Universitas Brawijaya; Agung Sugeng Widodo, Dosen dan Direktur Career Development Center, Universitas Brawijaya; Isma Adila, Dosen dan Koordinator Kewirausahaan, Career Development Center, Universitas Brawijaya, dan Mikchaell Alfanov Pardamean Panjaitan, Dosen dan Koordinator Kerjasama, Career Development Center, Universitas Brawijaya
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.