3 Perempuan Jadi Komisioner Komnas HAM, Angin Segar Untuk Perlindungan Perempuan

Tiga perempuan terpilih menjadi Ketua dan Komisioner Komnas HAM periode 2022-2027. Para aktivis perempuan berharap penyelesaian pelanggaran HAM lebih berperspektif perempuan dan kelompok marginal.

Ada 3 perempuan yang lolos menjadi komisioner Komnas HAM dari sembilan nama yang terpilih menjadi komisioner Komnas HAM. Mereka adalah Atnike Nova Sigiro, Anis Hidayah dan Putu Elvina.

Nama ini muncul setelah DPR  pada 3 Oktober 2022 berhasil menuntaskan uji kelayakan dan kepatutan terhadap 12 calon Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2022-2027.

Uji kelayakan ini dilakukan selama 2 hari, yakni pada Jumat, (30/9/2022) dengan menguji 12 calon dan Senin, (3/10/2022) yang menguji 2 calon. Hasilnya, Komisi III DPR berhasil memilih sembilan orang komisioner Komnas HAM periode 2022-2027.  

Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) sekaligus dosen Universitas Paramadina, Atnike Nova Sigiro terpilih sebagai Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2022-2027. Atnike terpilih melalui musyawarah mufakat, tanpa melalui pemungutan suara atau voting.

Sedangkan lima orang lain yang terpilih menjadi anggota Komnas HAM adalah Abdul Haris Semendawai, Hari Kurniawan, Prabianto Mukti Wibowo, Pramono Ubaid Tanthowi, Uli Parulian Sihombing, Saurlin P. Siagian. Mekanisme berikutnya 9 nama tersebut diajukan ke Presiden Joko Widodo untuk disahkan.

Masuknya tiga perempuan menjadi komisioner Komnas HAM memberi angin segar bagi aktivisme perempuan di Indonesia. Ini menjadi kali pertama ada tiga perempuan menjadi komisioner Komnas HAM sekaligus Ketua Komnas HAM. Sebelumnya, rata-rata hanya satu perempuan yang masuk dalam jajaran komisioner Komnas HAM.

Harapan makin besar mengingat tiga perempuan ini memiliki rekam jejak yang panjang dalam gerakan HAM. Siapa sajakah mereka?

1.Atnike Nova Sigiro

Atnike Nova Sigiro yang terpilih menjadi Ketua Komnas HAM dikenal sebagai akademisi dan aktivis HAM. Dia pernah menjabat sebagai Direktur Yayasan Jurnal Perempuan sejak Oktober 2017 hingga September 2021.

Saat ini Atnike tercatat sebagai menjadi dosen diplomasi, hak asasi manusia, serta Political Economy in Governing the Market di Universitas Paramadina. Atnike pernah bergabung di Asian Forum for Human Rights and Development atau Forum-Asia pada 2010 sampai 2016. Bersama aktivis HAM sekaligus advokat Haris Azhar, Atnike kemudian mendirikan Yayasan Lokataru pada 2017.

Atnike menempuh pendidikan S1 di Universitas Indonesia pada 2000, lantas melanjutkan studi Pascasarjana Social Development di London School of Economic and Political Science (LSE), Inggris. Atnike kemudian menempuh program Doktor S3 di Universitas Indonesia pada 2018.

2. Anis Hidayah

Sedangkan Anis Hidayah lama dikenal sebagai aktivis yang berdedikasi terhadap perempuan dan buruh migran Indonesia di luar negeri. Perempuan 46 tahun ini merupakan salah satu pendiri Migrant Care dan masih aktif di sana hingga saat ini.

3.Putu Elvina

Sedangkan Putu Elvina, lahir di Tarempa, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) pada 13 April 1972. Ia adalah Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Provinsi Kepulauan Riau. Sebelumnya, perempuan berdarah Bali ini menjabat sebagai Anggota KPAI Provinsi Kepri periode 2014-2017 dari unsur Lembaga Swadaya Masyarakat.

Harapan Aktivis Perempuan

Terpilihnya tiga perempuan menjadi komisioner Komnas HAM ini, menurut Wakil Ketua Internal Komnas Perempuan Olivia Salampessy menilai ini sebagai pencapain yang baik sekali dan menunjukkan langkah maju dan kepedulian Negara terhadap kepemimpinan perempuan di lembaga pengambilan kebijakan.

“Ini sekaligus afirmasi terhadap kepemimpinan perempuan memiliki kontribusi penting dalam pengambilan keputusan, seklaigus menjalankan amanat konstitusi khususnya pasal 28 h ayat 2 tentang penghapusan diskriminasi,” ujar Olivia kepada Konde.co, Kamis (13/10/2022) melalui sambungan telepon.

Kepemimpinan perempuan ini juga menjadi amanat UU nomor 7 tahun 1984 tentang hukum CEDAW atau konvensi anti diskriminasi terhadap perempuan. Kehadiran tiga perempuan ini diharapkan akan mendorong pemajuan dan penegakan hak perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Masing-masing dengan keahlian yang dimiliki. 

Diharapkan, ketiga perempuan ini mampu menjawab persoalan pelanggaran HAM dengan lebih baik dan berperspektif gender dan interseksionalitas. Perspektif ini penting, mengingat tidak semua orang yang ada di lembaga negara dan kementerian memiliki perspektif baik.

Pengalaman berbeda ketiga perempuan akan menjadi modal dalam menangani masalah pelanggaran hak asasi manusia, sehingga akan membuat Komnas HAM lebih komprehensif dalam menangani kasus pelanggaran HAM.

“Kepemimpinan perempuan memang harus ada, kapasitas dan integritas perempuan dibutuhkan untuk penanganan kasus pelanggaran HAM yang lebih komprehensif,” imbuh Olivia.

Namun, tidak lolosnya petahana komisioner Komnas HAM dinilai akan menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi komisioner yang baru. Pasalnya, keberadaan petahana akan menjaga keberlanjutan dari yang sebelumnya. Namun, kondisi ini bisa diatasi dengan koordinasi dan komunikasi dengan komisioner sebelumnya.

Aktivis perempuan dari Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati juga menanggapi positif terpilihnya tiga perempuan menjadi komisioner Komnas HAM. Ia berharap mereka membawa perubahan di Komnas HAM.

“Ini sebuah sinyal yang bagus dalam melakukan pekerjaannya ke depan, Komnas HAM memprioritaskan dan menjamin bahwa setiap orang dilindungi dan terpenuhi hak asasinya. Mengingat di Indonesia, banyak orang dilanggar hak asasinya hanya karena dia perempuan, karena dia LGBT, karena dia buruh, atau karena dia miskin,” ujar Vivi kepada Konde.co padaRabu (12/10/2022) melalui sambungan telepon.

Dia berharap, dengan masuknya lebih banyak perempuan terutama Ketuanya, maka dalam penanganan pelanggaran HAM perspektif perempuan, orang miskin dan kelompok marginal lebih dikedepankan sehingga penanganannya lebih holistik. Ia menilai hal ini menjadi salah satu kekurangan Komnas HAM selama ini.

Ke depan, lanjut Vivi, Komnas HAM lebih banyak melakukan penelitian ataupun pemantauan sekaligus memperkuat penegakan dan perlindungan hak asasi perempuan dan kelompok marjinal lainnya. 

Terakhir, kehadiran tiga perempuan ini juga diharapkan bisa mendorong penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, di mana perempuan juga turut menjadi korban dan merasakan dampaknya.

“Banyak perempuan baik itu ibu, istri ataupun keluarga korban yang menunggu kepastian penyelesaian hukum bagi anak, suami atau saudaranya. Ada Ibu Sumarsih, mbak Suciwati dan banyak perempuan lain yang suami/anaknya dihilangkan dalam Tragedi ‘65,” pungkas Vivi Widyawati 

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!