Ironi Perempuan Muda Jadi Korban Kekerasan Seksual: Pelakunya Adalah Keluarga 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL) meluncurkan laporan database tentang kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Usia muda saat ini justru menjadi fase rentan korban kekerasan. Ironisnya, pelakunya kebanyakan merupakan orang terdekatnya seperti keluarga, lonjakan kasus kekerasan sejak tahun 2021 hingga 2022 meningkat signifikan, dari 9.057 kasus menjadi 12.701 kasus yang terlapor. 

Hal ini didapat dari Database kekerasan terhadap perempuan tiga lembaga yaitu Kementerian PPPA, Komnas Perempuan dan Forum Pengadaan Layanan (FPL).

Asdep Hak Sipil dan Partisipasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak/ Kemenpppa, Lies Rosdianti mengungkapkan, kekerasan terhadap perempuan muda paling banyak jika dibandingkan usia anak dan dewasa. 

“Ini menjadi perhatian bersama, kekerasan kebanyakan terjadi pada perempuan muda dengan status belum kawin, dengan pekerjaan sebagai pelajar dan mahasiswa, kekerasan kebanyakan diterima dari keluarga terdekat,” ungkap Lies dalam Laporan Sinergi Database Kekerasan Terhadap Perempuan Tiga Lembaga, Senin (5/9/2022).

Dalam hal ini, database kekerasan terhadap perempuan membaginya dalam beberapa bagian yaitu karakteristik dan ranah kekerasan.

“Perbedaan tiga karakteristik sinergi bisa berlanjut, motivasi untuk Lembaga lain agar bisa memecah gunung es data kekerasan, semoga bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak, agar bisa menjunjung harkat martabat dan hak asasi perempuan,” ungkapnya.

Sedangkan dari daerah, diungkapkan Lies, wilayah terbanyak kasus kekerasan terhadap perempuan ada di wilayah Sumatera Utara.

Lies melanjutkan, dari jenisnya, kekerasan terbanyak adalah kekerasan seksual sebanyak 5.548 korban, kekerasan psikis sebanyak 1.641 Korban, bahkan beberapa korban diantaranya menerima berbagai jenis kekerasan, jenis kekerasan lain adalah kekerasan penelantaran cukup tinggi, kasus penelantaran ekonomi dengan melarang perempuan mengakses perannya di sektor publik dan bidang produksi

Kekerasan yang terjadi pada perempuan dengan usia dewasa lebih ironis lagi, kekerasan yang dilakukan orang terdekat dialami ibu rumah tangga lebih banyak dibandingkan ibu pekerja.

“Kemandirian secara ekonomi membuat mereka terhindar dari kekerasan, meskipun itu belum bisa dibuktikan, perempuan yang perkawinannya tak tercatat akan lebih rentan karena tak dilindungi hukum ketika terjadi kekerasan,” ungkap Lies.

Sementara itu Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Pada Perempuan (Komnas Perempuan) Dewi Kanti membeberkan, dari data Simfoni PPA dan Kemen PPPA, Dari bentuk layanan pada 2021, paling banyak diterima perempuan dewasa merupakan layanan pengaduan, Kesehatan dan bantuan hukum, untuk anak perempuan berkaitan dengan layanan Kesehatan dan psikologis. 

Sedangkan dari data Sintaspuan KP, pengaduan terbanyak dari kebutuhan korban seperti konsultasi psikologis, hukum, konsultasi keamanan digital dan surat rujukan juga beberapa kasus lain.

Dewi mengungkap, jenis yang diterima tertinggi adalah  kekerasan seksual. Sebanyak 5.548 korban, dengan jenis kekerasan seksual sebanyak 1.641 korban, sedang dari data Titian Perempuan FPL jenis kekerasan psikis sebanyak 546 korban. “ Kebanyakan mereka yang menerima kekerasan bisa lebih dari satu jenis, dan mereka memilih diam agar tak membuat gempar dan menghindari penghakiman dari lingkungan sosial,” jelas dia.

Komnas Perempuan, mengungkap  sumatera utara merupakan wilayah terbanyak kekerasan perempuan dengan disabilitas sebanyak 113 kasus. Dari jenis disabilitas terdapat 3 kasus dari jenis disabilitas mental, disabilitas intelektual 5 kasus, disabilitas sensorik rungu 3 kasus dan disabilitas fisik 2 kasus.

Dalam hal ini Komnas Perempuan menyayangkan banyak kasus yang tidak tercatat akibat kurangnya pengetahuan masyarakat tentang adanya Lembaga yang menerima pengaduan untuk kasus kekerasan di samping banyak masyarakat yang justru memilih diam karena takut mendapatkan stigma dari lingkungan sosial.

“Hingga saat ini sistem pengaduan bagi perempuan dengan disabilitas tidak aksesibel, sehingga sebenarnya korban kekerasan perempuan dengan disabilitas sebenarnya lebih banyak,” jelas Dewi.

Dewi mengungkap, perempuan yang belum kawin lebih beresiko mengalami kekerasan dibanding yang sudah kawin. 

“Kebanyakan korban yang melapor berusia antara 18-25 tahun, Komnas Perempuan dan FPL  memilah status kawin yang tercatat dan tidak tercatat karena mempengaruhi status hukum korban, Sebanyak 5.138 pelajar menjadi korban kekerasan tertinggi, sedangkan ibu rumah tangga 2.482 kasus,” jelasnya. 

Pelaku kekerasan, dikatakan Dewi kebanyakan berusia dari 18 hingga 59 tahun, hal ini menunjukkan pelaku kekerasan kebanyakan pada rentang usia produktif dan reproduktif. Pendidikan terakhir pelaku kekerasan terbanyak lulusan SLTA.  Perihal pelaku kekerasan menurut status perkawinan ada perbedaan data, Simfoni PPA mencatat kebanyakan pelaku sudah menikah, sedangkan Sintaspuan KP mencatat pelaku kebanyakan belum kawin.

Pemerataan Infrastruktur dan Kekerasan Perempuan

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid mengungkapkan data kekerasan ini sangat berharga dalam sistem pemantauan kekerasan. 

“Saya setuju menjadikan kebijakan baik pemerintah pusat dan daerah, data ini akan menjadi pengingat bahwa kekerasan makin serius di Indonesia. Data kekerasan, menurut Usman juga bisa digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk menyelaraskan situasi HAM dalam berbagai bidang seperti Hukum Internasional dan PBB,” jelasnya.

Dari jenis pekerjaan, buruh migran belum masuk dalam kategorisasi pekerjaan korban kekerasan.

“Ini penting untuk mengidentifikasi seberapa besar tingkat kerawanan perdagangan manusia hingga kekerasan yang harus dihadapi para buruh migran, semoga kedepan bisa teridentifikasi,” ungkapnya.

Program pemerintah, menurut Usman sudah sepantasnya memberi layanan yang terintegrasi dan menyediakan mekanisme pelaporan yang baik.

”Kecenderungan terhadap kekerasan dan usaha pemerintah untuk melawan kekerasan dan bias gender di kalangan keluarga,” katanya.

Akademisi Kajian Gender Universitas Indonesia Lugina Setyawati berkomentar soal data tiga Lembaga ini, menurutnya, kebijakan satu data kasus kekerasan terhadap perempuan sangat diperlukan. 

“Memerlukan sinergitas antar Lembaga terkait baik dalam sisi infrastruktur, anggaran, serta sumber daya manusia,” jelasnya.

Menurut Lugina, pemerataan infrastruktur mempengaruhi tinggi dan rendahnya kasus kekerasan terhadap perempuan.

“Pemerintah sudah saatnya melakukan pemerataan pembangunan dan layanan yang inklusif dan pengembangan sistem pendokumentasian kasus kekerasan yang terpadu,” ujar dia.

Lugina melanjutkan, perempuan dari kelompok paling rentan seperti perempuan disabilitas, perempuan korban kekerasan harus menjadi prioritas kebijakan program pembangunan pemerintah pusat dan daerah.

Lugina berpendapat, Kemen PPPA, Komna Perempuan dan FPL penting menata ulang dan menguatkan proses pendokumentasian kasus terutama terkait istilah dan kategorisasi.

Kementerian Agama, menurut Lugina juga wajib menguatkan pentingnya materi kesetaraan gender, mengingat kekerasan kebanyakan dilakukan suami terhadap istri. “Dalam hal ini penting nya memasukkan Pendidikan kesetaraan gender dalam Pendidikan calon pengantin,” jelasnya.

Lugina berharap, aparat penegak hukum juga terus belajar dalam penanganan kasus kekerasan berbasis gender. 

“Hal ini sangat penting agar tak menambah beban bagi korban kekerasan,” ucapnya.

Komunitas, menurut Lugina juga sangat mempengaruhi pemulihan korban lebih cepat.

“Jika kekerasan masih dianggap aib, maka ini akan sulit membuat korban merasa terlindungi, sedangkan relasi kuasa membuat korban belum berani melaporkan kasus kekerasan yang menimpanya, Tidak mudah bagi korban melapor, karena risiko yang dihadapi,” tuturnya

Devi P. Wiharjo

Beberapa tahun jadi jurnalis, sempat menyerah jadi manusia kantoran, dan kembali menjadi jurnalis karena sadar menulis adalah separuh napas. Belajar isu perempuan karena selama ini jadi perempuan yang asing pada dunia perempuan, eksistensialis yang hobi melihat gerimis di sore hari.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!