kota intoleran

Riset: Sejumlah Kota di Aceh dan Prabumulih Menjadi Kota Intoleran

Setara Institute meluncurkan Indeks Kota Toleran (IKT) . Peluncuran ini dilakukan April 2023 lalu. Kota Prabumulih di Lampung dan banyak kota di Aceh dinilai sebagai kota dengan nilai toleransi terendah.

Sebanyak 10 kota yang merupakan kota intoleran. Mereka adalah Prabumulih di Lampung, Lhokseumawe, Pariaman, Medan, Banda Aceh, Mataram, Sabang, Padang, Depok dan Cilegon.

Sedangkan 10 kota dengan indeks toleransi tertinggi. Antaralain Singkawang, Salatiga, Bekasi, Surakarta, Kediri, Sukabumi, Semarang, Manado, Kupang dan Magelang.

Nilai-nilai yang diukur dalam indeks kota ini antaralain dihitung dari rencana pembangunan (10%), kebijakan diskriminatif [20%], peristiwa intoleransi (20%) dan dinamika masyarakat sipil (10%). Ada pula ditentukan oleh pernyataan publik pemerintah Kota [10%], tindakan nyata pemerintah Kota [15%], heterogenitas agama [5%], dan inklusi sosial keagamaan (10%).

Setara Institute menyimpulkan beberapa atribut kota di peringkat terendah 2022. Seperti, kota dengan kepemimpinan yang mengedepankan identitas agama tertentu yang baik. Selain itu, pada visi dan misi cenderung akan menerbitkan kebijakan-kebijakan favoritism identitas agama yang mewakili dirinya.

Baca juga: Melarang Valentine, Depok Disebut Kota Intoleran dan Moral Panic

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan menyatakan, hal lain yaitu perspektif mayoritaniasme atau perspektif viktimisme minoritas-mayoritas menjadi dasar penyelenggaraan kebijakan. Sehingga, pemerintah kota memiliki kecenderungan untuk menyelenggarakan program-program yang eksklusif dan hanya berorientasi kepada kelompok tertentu.

Lalu, ada dinamika masyarakat sipil di bawah kepemimpinan pemerintah kota yang tidak memiliki kesadaran akan kemajemukan dan kebinekaan. Dampaknya, cenderung menciptakan ruang-ruang segregasi sosial. Hingga membuat masyarakat semakin terpolarisasi oleh identitas keagamaan, etnis dan kelompok lainnya.

“Hal lain, masyarakat sipil di kota-kota dengan perspektif favoritisme dan formalism yang cenderung kehilangan daya nalar demokrasinya. Daya interaksi kritis masyarakat melemah dan terjadi pengabaian terhadap kelompok-kelompok minoritas. Jika keadaan ini berlangsung secara terus menerus, langkah-langkah kekerasan terhadap kelompok rentan dapat dengan mudah terjadi. Karena masyarakat sudah kehilangan kuasa untuk menemukan perekat hubungan antar kelompok yang berbeda identitas.”

Lalu pemerintah kota yang tidak mengelola kehidupan kerukunan dan toleransi pada umumnya juga tidak banyak memberikan ruang perlindungan serta kurang memfasilitasi kebebasan merayakan hari-hari besar agama. Pemerintah kota lebih banyak mengorientasi kebijakan-kebijakannya dengan menggunakan pendekatan-pendekatan keagamaan yang dianutnya.

Baca juga: Survei Setara Institute: Jumlah Pelajar Intoleran Meningkat

Halili Hasan menyatakan bahwa Rata-rata dari skor hasil IKT dari publikasi 2015 sampai dengan 2022 menunjukkan, kondisi toleransi di Indonesia masih stagnan dan belum mencapai nilai yang signifikan. Beberapa kota berhasil mencapai nilai istimewa, namun beberapa kota lainnya masih terjebak dalam situasi-situasi intoleran.

Setara kemudian merekomendasikan perbaikan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat. Terutama dalam membangun jaminan kebebasan beragama berkeyakinan serta perlindungan terhadap kelompok minoritas dan rentan. Regulasi-regulasi yang ambigu dan dapat dimanfaatkan sebagai rujukan menciptakan intoleransi di daerah. Ini perlu ditinjau ulang dan diperbaiki sesuai dengan tantangan masyarakat Indonesia yang belakangan ini lebih banyak terpolarisasi oleh praksis politisasi identitas.

“Lalu penetapan skema kualifikasi kepemimpinan untuk pemimpin daerah. Pemimpin daerah harus memiliki kesadaran akan wawasan kebangsaan, kemajemukan dan kebhinekaan. Dengan kesadaran tersebut, para pemimpin daerah dapat menghasilkan visi, misi, RPJMD sampai dengan Indikator Kinerja kota yang sesuai dengan kapasitas kebhinekaan termasuk menjadikannya sebagai program prioritas kota.”

Selanjutnya perlunya kolaborasi kerja antar pemerintah kota, yang difasilitasi oleh pemerintah pusat. Skema tata kelola inklusif sebagaimana tantangan kelembagaan efektif pada SDGs 2030 perlu dioperasionalisasi ke dalam kerja bersama antar pemerintah kota. Kerja bersama ini akan memberikan ruang dialog yang lebih luas untuk secara bersama-sama saling memperkuat tata kelola pemerintahan inklusif dan berkelanjutan.

Juga kampanye kearifan lokal dan budaya yang menjunjung toleransi dan kerukunan. Daerah-daerah kota yang masih menjunjung tinggi warisan kearifan lokal dan melestarikannya ke dalam tradisi kehidupan sehari-hari cenderung tidak memiliki problematika intoleransi. Kearifan lokal dan budaya yang hidup di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat menjadi daya pengungkit resiliensi sekaligus deteksi dini masyarakat terhadap letupan-letupan intoleransi.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!