Setelah Lesti Kejora Cabut Laporan, Apakah Rizky Billar Akan Bebas Begitu Saja?

Lesti Kejora mencabut laporan KDRT yang menimpanya. Alasannya, Rizky Billar telah mengakui semua perbuatan dan kesalahannya. Apakah ini akan membuat Rizky bebas dari jerat pidana?

Artis Lesti Kejora akhirnya mencabut pengaduannya ke polisi terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya, Rizky Billar.

Alasan Lesti mencabut laporannya dan memutuskan berdamai dengan suaminya karena mempertimbangkan anak hasil pernikahannya dengan Rizky Billar.

“Saya memutuskan untuk mencabut laporan terhadap suami saya. Alasannya anak saya, karena mau bagaimanapun suami saya, bapak dari anak saya,” ujar Lesti kepada para wartawan di Mapolres Metro Jakarta Selatan, Jumat (14/10/2022).

Menurut Lesti, Rizky Billar telah mengakui semua perbuatan dan kesalahannya. Selain itu, Rizky Billar juga sudah meminta maaf kepada keluarganya. Rizki disebut juga sudah mengakui perbuatannya, meminta maaf kepada Lesti dan keluarga Lesti. Dan, keluarga Lesti memaafkan perbuatan Rizky.

Sebelumnya, pada Rabu (12/10/2022) penyidik Polres Metro Jakarta Selatan telah menetapkan Rizky Billar menjadi tersangka kasus KDRT terhadap Lesti Kejora. Ia dijerat dengan pasal 44 ayat 1 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Berdasarkan Pasal 44 Ayat 1 UU No. 23 Tahun 2004 tersebut, Rizky Billar terancam hukuman maksimal 5 tahun penjara.

Apakah dengan pencabutan laporan ini, Rizyi akan bebas melenggang? Polisi sudah menyatakan, meski Lesti sudah mencabut laporannya Rizky masih akan ditahan.

Pencabutan penahanan, menurut polisi, harus melalui mekanisme keadilan restoratif yang diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Dihubungi Konde.co secara terpisah, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi mengatakan, tindak pidana yang disangkakan kepada Rizki termasuk delik biasa, sehingga pencabutan laporan tidak serta merta menghentikan penanganan kasus ini.

Penyidik atau polisi tetap bisa melanjutkan pemeriksaan perkara KDRT yang dialami Lesti Kejora. Siti Aminah memaparkan perjanjian damai yang telah disepakati Lesti Kejora dan Rizky Billar belum menjamin perlindungan bagi Lesti dari kemungkinan terulangnya kembali kekerasan dalam rumah tangganya.

Untuk itu, Komnas Perempuan juga merekomendasikan penerapan keadilan restoratif dalam penanganan kasus ini.  

Namun Siti Aminah melihat, Perkap Nomor 8 Tahun 2021 tidak mengatur secara rinci tentang kewajiban pelaku KDRT untuk mengikuti konseling. Sehingga, ia khawatir perdamaian yang dicapai Lesti dan Rizky tidak akan membantu keduanya untuk pulih.

Ia menekankan pentingnya hakim memutuskan kewajiban konseling bagi pelaku untuk memutus rantai kekerasan dalam rumah tangga.

“Di mana korban dijamin pemulihannya, dan pelaku dihukum dengan kewajiban mengikuti konseling atau kerja sosial lainnya,” ujarnya kepada Konde.co melalui sambungan telepon, Jumat (14/10/2022).

Pendamping, menurut Siti Aminah, tetap harus melakukan pendampingan guna membantu pemulihan korban. Pendampingan ini penting untuk membantu membangun kesadaran kritis korban dalam menjalin relasi dalam perkawinannya, sehingga ia bisa melindungi dirinya sekaligus mencegah kekerasan terulang kembali dalam rumah tangganya.   

Cegah Siklus KDRT

Menurut Siti Aminah, apa yang dilakukan Lesti Kejora yakni mencabut laporan jamak terjadi pada penyintas KDRT. Sehingga Komnas Perempuan memahami dan menghormati sepenuhnya keputusan Lesti.

Menurut catatan akhir tahun atau Catahu Komnas Perempuan, penarikan pengaduan menjadi faktor utama yang meghambat penanganan kasus KDRT. Dan, alasan korban mencabut laporannya sangat beragam.  

“Alasan pencabutan beragam, sering disebabkan posisi subordinat perempuan, permintaan keluarga, ketergantungan emosi dan finansial, kekhawatiran akan status dan relasi perkawinannya sampai disalahkan karena dinilai membuka aib keluarga,” ujarnya.

Menurut Siti, permintaan maaf dari pelaku yang diikuti dengan pencabutan laporan oleh korban adalah bagian dari cycle of abuse atau siklus kekerasan yang sering dialami korban KDRT.  JIka dipaparkan lebih detil, siklus KDRT akan mengalami pola sebagai berikut: tension (ketegangan) – insiden (kekerasan) – reconciliation (memaafkan) dan calm (damai).

Siklus ini bisa dijelaskan sebagai berikut: setelah melewati ketegangan yang ditandai dengan perbedaan pendapat, maka akan terjadi kekerasan. Ketika korban hendak ‘melawan’ ini pelaku (abuser) akan meminta maaf, memohon-mohon untuk dimaafkan dan membanjiri korban dengan berbagai macam hadiah.

“Sering permintaan maaf bukan karena pelaku menyesali perbuatannya, tetapi bisa juga manipulasi karena dia khawatir akan menanggung konsekuensi hukum akibat perbuatannya, seperti dicerai atau dipidana,” ujar Aminah.

Tahap inilah yang sering membuat korban KDRT luluh hatinya sehingga mau berbaikan, memaafkan dan kembali ke pelaku sehingga tercapai tahap rekonsiliasi.  Usai tahap rekonsiliasi ini maka akan ditandai dengan masa tenang (calm).

Tahapan calm atau masa damai ini biasa disebut honeymoon atau bulan madu. Dalam kasus Lesti, ini ditandai dengan pemberian maaf dari Lesti. Namun, Siti Aminah mengingatkan, dalam banyak kasus begitu masa ini sudah lewat, pelaku berpotensi untuk kembali mengulangi perbuatannya. Mirisnya, siklus ini akan terus berputar dengan frekuensi yang semakin cepat dan bentuk kekerasan yang bisa semakin memburuk sejalan dengan makin lamanya korban bertahan dalam kondisi itu. 

“Siklus ini hanya dapat dihentikan jika pasangan mengakui dan mengenali siklus ini dan mencari bantuan psikolog untuk membantu memahami akar persoalan dan memutus siklusnya,” ujarnya

Namun mewujudkan hal ini tak semudah mengucapkannya. Perlu kemauan dari kedua belah pihak untuk mengurainya. Selain itu masing-masing korban memiliki pengalaman dan kondisi yang berbeda. Sehingga penanganan dan penyelesaian perkara KDRT tidak bisa digeneralisir dan harus disesuaikan dengan kasus per kasus.

Untuk itu Siti Aminah mengingatkan, sebelum memutuskan menikah pasangan harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Tak hanya persiapan fisik dan materi, tetapi juga persiapan mental.

“Karena menikah itu kalau bisa hanya satu kali, dan ini komitmen jangka panjang yang banyak kerikil di dalamnya. Sementara dua orang yang menjalaninya bisa berasal dari latar belakang yang jauh berbeda,” pungkasnya.

(Foto: Suara.com)

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!