Komnas Perempuan mencatat sejumlah perkembangan positif terkait penanganan kekerasan terhadap perempuan. Setelah disahkannya UU Penghapusan KDRT dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Komnas Perempuan mencatat kesadaran perempuan untuk mengadukan kekerasan yang dialaminya meningkat signifikan.
Komnas Perempuan mencatat, dari tahun ke tahun pelaporan kasus kekerasan terus meningkat. Pada tahun 2012, Komnas Perempuan mencatat hanya ada 135.170 pelaporan yang masuk. Sementara dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2022, sebanyak 338.496 kasus KBG terhadap perempuan, yaitu dari laporan Komnas Perempuan 3.838 kasus, laporan Lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus.
“Artinya, terjadi peningkatan signifikan 50% kasus KBG terhadap perempuan, yakni dari 226.062 kasus di tahun 2020. Lonjakan tajam terjadi pada data BADILAG sebesar 52% yakni dari 215.694 pada 2020 menjadi 327.629 di tahun 2021,” terang Alimatul Qibtiyah, di sela peluncuran CATAHU 2022 Jumat (17/10/2022).
Data CATAHU ini dihimpun dari Pengaduan ke Komnas Perempuan melalui UPR, Lembaga layanan baik pemerintah maupun masyarakat; dan BADILAG (Badan Peradilan Agama).
Untuk mempersiapkan CATAHU 2022, Komnas Perempuan mengirimkan kuesioner kepada lembaga-lembaga layanan di seluruh Indonesia dengan tingkat pengembalian kuesioner empat tertinggi berasal dari WCC (71%), disusul P2TP2A (19%), LSM (16%), PN (16%).
Pengembalian kuesioner sebanyak 129 lembaga layanan, naik 7.5 % dibanding tahun sebelumnya. Sebagian besar yang mengisi dan mengembalikan kuesioner adalah lembaga yang berlokasi di Pulau Jawa, yang memiliki infrastruktur yang relatif lebih memadai dalam berbagai aspek, baik lembaga layanan maupun infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi.
Dari 3 sumber data tersebut tercatat ada 459.094 kasus , sebanyak 338.496 adalah kasus kekerasan KBG terhadap perempuan, 3.838 kasus merupakan laporan Komnas Perempuan, laporan Lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus.
Komnas Perempuan mencatat pengaduan yang diterima naik sebesar 80%, yaitu dari 2.134 kasus pada 2020 menjadi 3.838 kasus di tahun 2021. Data ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat kepada Komnas Perempuan terus meningkat.
Sedangkan data dari lembaga layanan menurun 15%, yakni 1.205 kasus. Menurut Alimatul hal ini disebabkan selama dua tahun pandemi Covid-19 sejumlah lembaga layanan tidak beroperasi, sistem pendokumentasian kasus yang belum memadai dan terbatasnya sumber daya.
Lonjakan data tak lepas dari penggunaan teknologi informasi yang memudahkan pelaporan. Di mana korban bisa menyampaikan pengaduan secara daring (Komnas Perempuan) dan sistem peradilan e-court (Badilag). Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi BADILAG untuk memilah data perkara di peradilan agama dengan menemukenali KBG tidak sebatas pada alasan-alasan perceraian.
Diingatkan, data yang terhimpun CATAHU terbatas pada kasus yang dilaporkan, sehingga peningkatan jumlah kasus tak berarti jumlah kasus kekerasan pada tahun sebelumnya lebih sedikit, tapi karena makin banyak korban yang berani melapor dan lembaga pengaduan makin mudah diakses. Jika kapasitas lembaga layanan dan informasi tersedia secara merata di seluruh Indonesia, jumlah data yang dapat dihimpun akan jauh lebih besar.
Satu catatan penting, kenaikan pelaporan ini belum disertai dengan peningkatan pencegahan dan penanganan. Hambatan penanganan kasus dikeluhkan lembaga layanan maupun Komnas Perempuan akibat keterbatasan sumber daya, akses ke teknologi informasi, fasilitas rumah aman maupun anggaran. Padahal dibutuhkan respon cepat atas setiap pengaduan kasus yang masuk.
“Setiap hari, setidaknya ada 16 kasus yang harus ditangani Komnas Perempuan,” ujar Alimatul.
Kekerasan terhadap perempuan terjadi di mana-mana
Berdasarkan data yang terkumpul, Komnas Perempuan membagi KBG terhadap perempuan ke dalam ranah personal, ranah publik dan ranah negara. Kekerasan paling tinggi ditemukan di ranah personal yaitu 335.399 kasus (99.09%), disusul ranah publik dengan 3.045 kasus (0.9%) dan ranah negara 52 kasus (0.01%).
Dari total 338.496 laporan KBG terhadap perempuan yang dikompilasi dari sumber data utama, sebesar 66% di ranah personal dan 33% di ranah publik.
“Data lembaga layanan menunjukkan kasus kekerasan di ranah publik meningkat dari 21% menjadi 25% kasus, dan di ranah personal berkurang dari 79% pada 2020 menjadi 75% di tahun 2021,” papar Alimatul.
Berdasarkan data pengaduan ke Komnas Perempuan dan lembaga layanan pada 2021, bentuk kekerasan yang dialami korban berjumlah 16.162, terbagi 4.814 kasus (29.8%) kekerasan fisik, 4.754 kasus (29.4%) kekerasan psikis, 4.660 kasus (28.8%) kekerasan seksual, 1.887 kasus (11.7%) kekerasan ekonomi dan 47 kasus (0.3%) tidak teridentifikasi.
Data dari lembaga layanan mencatat yang terbanyak adalah kekerasan fisik 3.842 kasus (40%) baik ranah personal (2.549 kasus) maupun ranah publik (1.293 kasus).
Sedangkan data pengaduan ke Komnas Perempuan didominasi kasus kekerasan psikis 2.709 (41%). Jika dilihat dari ranahnya, kekerasan psikis dominan di ranah personal (1.986 kasus), sedangkan kekerasan seksual mendominasi di ranah publik (1.051 kasus). Kekerasan seksual pada 2021 meningkat 7%, salah satunya disebabkan lonjakan 83% kasus KSBG dari tahun 2020 (940 kasus) menjadi 1.721 kasus pada 2021.
Dalam hal usia, data lembaga layanan memperlihatkan bahwa korban berasal dari semua tingkatan usia. Tetapi, korban terbanyak di usia 25-40 tahun, disusul usia 14-17 tahun dan 18-24 tahun. Alimatul mengingatkan, banyaknya jumlah korban berusia di bawah 5 tahun (195 kasus) dan di atas 60 tahun (47 kasus), menunjukkan usia balita dan lansia juga bisa menjadi korban KBG.
Untuk usia pelaku, juga didominasi usia 25-40 tahun, disusul 18-24 tahun dan 41-60 tahun.
Sementara, jika dilihat dari jenis pekerjaan pelaku, masih ada dari kalangan yang diharapkan menjadi pelindung dan teladan seperti pegawai negeri sipil (PNS), guru, dosen, tokoh agama, TNI, POLRI, tenaga medis, pejabat publik, aparat penegak hukum (APH).
Meski jumlah tidak dominan namun jika digabungkan mencapai sekitar 9% dari total pelaku baik di lembaga layanan maupun di Komnas Perempuan.
Dari pengaduan kasus KDRT ke Komnas Perempuan menunjukkan adanya KDRT berlanjut dalam bentuk kriminalisasi korban, memanfaatkan kerentanan status imigrasi ibu dalam hal perkawinan campuran dan konflik pengasuhan anak.
Di ranah negara, pengaduan ke Komnas Perempuan berjumlah 38 kasus dan ke lembaga layanan berjumlah 14 kasus. Kasus kekerasan di ranah negara bersifat struktural dan komunal seperti pelanggaran hak perempuan berhadapan dengan hukum, konflik sumber daya alam dan tata ruang, penggusuran, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, kebijakan diskriminatif, pekerja migran, kekerasan terhadap PPHAM serta pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Komnas Perempuan memberikan perhatian khusus pada KBG terhadap perempuan penyandang disabilitas, HIV/AIDS, LBT, dan PPHAM. Terdapat perkembangan pola serangan terhadap PPHAM yang menyasar ke lembaga layanan berbasis pemerintah. Perhatian khusus juga diberikan pada kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan termasuk di pendidikan berasrama dan/atau berbasis keagamaan dan di wilayah Papua.
Dalam lima tahun terakhir Komnas Perempuan menerima 119 kasus pengaduan KBG terhadap perempuan dengan dugaan pelaku anggota TNI. Secara umum setiap tahunnya meningkat kecuali pada 2019 dan terjadi peningkatan pengaduan di tahun 2021 dibandingkan tahun 2020, yaitu dari 28 kasus menjadi 57 kasus.
Sedangkan pada tahun 2021 ini tercatat ada 117 pelaporan kasus dengan terduga pelaku anggota TNI dan 145 kasus dengan terduga pelaku angota Polri.
Perkawinan anak masih banyak terjadi di tahun 2021, dimana ada 59.709 dispensasi pernikahan dikabulkan Pengadilan Agama. Sosialisasi, bahwa perkawinan anak adalah pelanggaran hak anak terutama anak perempuan harus terus disebarluaskan.
Kemajuan dan kemunduran
Sepanjang tahun 2021, ada sejumlah kemajuan kebijakan berupa rintisan inisiatif perumus kebijakan di sektor tata kelola pemerintahan dan pendidikan terkait upaya pencegahan dan penanganan KBG baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Komnas Perempuan mencatat 5 kebijakan kondusif di tingkat nasional dan 8 di tingkat daerah untuk KBG terhadap perempuan di tahun 2021.
Dalam hal penanganan dan penyelesaian kasus, hanya sedikit informasi yang tersedia atau sekitar 15% dari total kasus yang dicatatkan oleh lembaga layanan dan Komnas Perempuan. Upaya penyelesaian lebih banyak secara hukum (12%) dibandingkan dengan cara non hukum (3%). Bahkan banyak kasus tidak terinformasi penyelesaiannya (85%). Ada berbagai kendala dalam penyelesaian kasus-kasus KBG terhadap perempuan, termasuk dalam hal substansi hukum yang terlihat dari penggunaan basis hukum dan pasalnya.
Namun juga ditemukan sejumlah kemunduran terkait pemenuhan hak-hak perempuan, di antaranya lambannya pengesahan sejumlah rancangan undang-undang, pembatalan SKB Seragam Sekolah oleh Mahkamah Agung. Juga masih ada pemerintah daerah yang menerbitkan kebijakan diskriminatif yang berpotensi mendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Komnas Perempuan juga menemukan sejumlah hal yang menghambat penerapan UU PKDRT, antara lain status perkawinan tidak tercatat (agama/adat), korban mencabut pengaduan/pelaporan, kurangnya alat bukti dan perspektif APH.
Hambatan lainnya adalah keterbatasan infrastruktur yang dibutuhkan untuk penyelesaian kasus, termasuk SDM, fasilitas dan anggaran yang berulang kali dikeluhkan lembaga layanan untuk dapat menjalankan layanan secara optimal. Misalnya saja, sebanyak 14 dari 120 lembaga layanan belum memiliki komputer sehingga menghambat pencatatan laporan yang diterima.
Selain itu baru sekitar 2/3 yang memiliki akses teknologi informasi, kurang dari setengah atau 59 yang memiliki fasilitas ruang khusus konseling, dan hanya 16% atau 32 lembaga saja yang memiliki fasilitas rumah aman.
“Di tengah-tengah peningkatan pelaporan kasus KBG terhadap perempuan yang juga semakin kompleks, daya penanganan kasus yang sangat terbatas ini dikuatirkan akan menyebabkan stagnasi dalam hal kapasitas penyikapan kasus,” pungkas Alimatul.