Edisi Khusus Feminisme: Apa itu Feminisme dan Kenapa Kita Membutuhkannya?

Feminisme membawa perubahan yang penting dan signifikan, namun selalu ada label negatif terhadap feminisme. Apa pentingnya feminisme dan kenapa kita membutuhkannya?

Konde.co menyajikan Edisi Khusus Feminisme yang bisa kamu baca setiap Senin, selama bulan November 2022 sampai Januari 2023. Edisi khusus ini berisi teori sekaligus perjuangan feminisme. Edisi ini merupakan bagian dari Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2022

Sejak kemunculannya hingga hari ini, feminisme merupakan topik yang tak henti dibicarakan. Ia menjadi istilah yang banyak dicari sekaligus banyak disalahpahami. 

Meskipun feminisme sudah membawa perubahan penting baik di tataran pemikiran maupun gerakan, tetapi label negatif terhadap feminisme terus direproduksi.

Istilah feminisme pertama kali muncul pada tahun 1870-an di Prancis sebagai féminisme—meskipun ada sejumlah pendapat bahwa istilah itu mungkin telah digunakan sebelumnya. Saat itu, kata tersebut merujuk pada kebebasan atau emansipasi perempuan.

Pada 1882, Hubertine Auclert, seorang feminis Perancis terkemuka dan juru kampanye untuk hak pilih perempuan, menggunakan istilah féministe untuk menggambarkan dirinya dan orang lain yang bekerja untuk kebebasan perempuan. 

Pada 1892, sebuah kongres di Paris digambarkan sebagai “feminis”. Hal ini mendorong penggunaan istilah tersebut secara lebih luas pada tahun 1890-an, dengan kemunculannya di Inggris dan kemudian di Amerika sekitar 1894.

Jika kita mencari tahu arti feminisme dengan membuka kamus, kita akan menemukan sejumlah pengertian. Seperti feminisme diartikan sebagai advokasi hak-hak perempuan atas dasar kesetaraan jenis kelamin; teori kesetaraan politik, ekonomi, dan sosial dari jenis kelamin; keyakinan bahwa laki-laki dan perempuan harus memiliki hak dan kesempatan yang sama; doktrin yang menganjurkan hak-hak sosial, politik, dan hak perempuan lainnya yang setara dengan laki-laki; gerakan sosial dan ideologi yang memperjuangkan hak-hak politik, ekonomi dan sosial bagi perempuan.

Pada dasarnya feminisme adalah pendekatan interdisipliner terhadap isu kesetaraan dan keadilan berdasarkan gender, ekspresi gender, identitas gender, jenis kelamin dan seksualitas sebagaimana dipahami melalui teori sosial dan aktivisme politik. Secara historis, feminisme telah berkembang dari pemeriksaan kritis atas ketidaksetaraan antar jenis kelamin ke fokus yang lebih bernuansa pada konstruksi sosial dan performatif atas gender dan seksualitas.

Perkembangan feminisme menunjukkan bahwa keberadaannya sebagai respons atas ketimpangan dan ketidakadilan gender yang bersifat kontekstual, artinya mengikuti konteks ruang dan waktu. Itu sebabnya terdapat sejumlah aliran pemikiran dalam feminisme. 

Seperti feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme Marxis-sosialis, feminisme psikoanalisis, feminisme eksistensialis, feminisme postmodern, feminisme multikultural dan global, feminisme ekologis, dan yang terbaru adalah feminisme digital. Setiap aliran pemikiran feminisme mempunyai penjelasan atas akar dari opresi terhadap perempuan, sekaligus pemecahan yang ditawarkan untuk menghapuskannya. 

Terlepas dari keragaman dalam pemikiran feminis, terdapat tiga hal mendasar yang menjadi titik berangkat teori feminis yang disepakati secara luas oleh para teoretikus feminis di dunia. Ketiga hal tersebut adalah oposisi terhadap pemikiran dualistik, merangkul pemikiran proses, dan komitmen untuk mengubah, serta mempelajari dunia.

3 hal mendasar itu adalah:

1.Teori feminis menaruh kecurigaan terhadap pemikiran dualistik

Teori feminis menaruh kecurigaan terhadap pemikiran dualistik. Setiap upaya untuk membagi dunia yang kompleks menjadi dua variabel dikotomis yang berlawanan (seperti akal dan emosi, pikiran dan tubuh, atau laki-laki dan perempuan) secara tak terhindarkan akan menyederhanakan bidang yang kompleks dan menetapkan batasan-batasan yang ketat dibandingkan memposisikannya sebagai hubungan yang tumpang tindih dan saling pengaruh.

Pemikiran dualistik juga menghasilkan hierarki, dengan salah satu unsur dipandang memiliki nilai lebih tinggi dari yang lain. Akal dinilai lebih tinggi daripada emosi, laki-laki dipandang lebih berharga daripada perempuan, dll. Hierarki merupakan sistem peringkat yang didasarkan pada nilai arbitrer. Ia menempatkan satu unsur pada posisi atas sedang unsur lainnya di bawah. Hierarki memungkinkan orang untuk melihat manusia lain seolah-olah mereka ada pada skala, sehingga mudah untuk mengidentifikasi nilai (atau harga) seseorang berdasarkan posisinya.

2.Pemikiran feminisme berorientasi pada proses kemunculan yang cair dibandingkan pada entitas statis dalam hubungan sebab-akibat yang searah. 

Teori feminis mengkritik pemikiran patriarki yang memandang perempuan sebagai esensi yang tetap dan universal. Secara umum, teori feminis berpijak pada pandangan Simone de Beauvoir yang menyatakan bahwa seseorang itu tidak dilahirkan, melainkan menjadi, seorang perempuan.

Seperti hierarki, esensialisme cenderung memandang pengaturan kekuasaan sebagai hal yang alami dengan melekatkannya sebagai esensi yang abadi daripada sebagai proses historis. Sebaliknya, pemikiran proses mempertanyakan bagaimana sesuatu terjadi, mengharuskan kita menggunakan kerangka sejarah dalam berpikir dan mengenali hubungan yang dinamis dan berubah daripada entitas yang statis.

3.Teori feminis merupakan proyek politik sekaligus intelektual. 

Ia bekerja untuk mengubah sembari memahami dunia. Teori feminis berakar dan bertanggung jawab pada gerakan untuk kesetaraan, kebebasan, dan keadilan.

Sementara itu untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi dan mewujudkan tujuannya, feminisme menggunakan tiga perangkat analisis, yaitu interseksionalitas, interdisipliner dan jalinan pengetahuan dan aktivisme.

Interseksionalitas adalah salah satu pencapaian terbesar teori feminis. Sebagai pendekatan yang terus-menerus terbuka dan kritis terhadap kekuasaan, pemikiran interseksional memupuk bentuk-bentuk “pengetahuan yang resisten.” Ia dikembangkan untuk menggoyahkan pola pikir konvensional, menantang kekuasan yang menindas, memikirkan ketidaksetaraan struktural dan peluang hidup yang asimetris, dan mewujudkan dunia yang lebih adil.

Meskipun Kimberlé Crenshaw, Patricia Hill Collins, dan lainnya dianggap sebagai penggagas teori interseksionalitas pada 1980-an, teori ini memiliki sejarah radikal yang kuat yang membentang dari abad ke-19 dalam tulisan-tulisan perempuan kulit hitam dan anarkis.

Penyelidikan interdisipliner dapat dianggap sebagai interseksionalitas di tingkat akademi. Pemikiran interdisipliner kritis adalah ekspresi metodologis yang diperlukan dari interseksionalitas, karena melintasi batas antar bidang pengetahuan konvensional menjadi semacam prasyarat untuk berhasil mempelajari interseksionalitas. Feminisme interdisipliner bukan hanya sekadar menambahkan bidang ilmu, tetapi juga merupakan jalinan pertanyaan. Kita perlu mendobrak batas-batas disiplin ilmu, menghubungkan pengetahuan dan metode, dan membawa paradigma yang kontras untuk saling menopang.

Teori feminis adalah praktik ilmiah yang berorientasi pada perubahan. Menantang penindasan dan bekerja untuk keadilan bukanlah penerapan terpisah dari teori yang dibuat di tempat lain melainkan elemen pokok dari penyusunan teori. Energi politik dalam teori interseksional secara historis ditemukan dalam hubungan intim antara cendekiawan dan aktivis.

Di Indonesia, perjuangan feminisme berhasil mendorong sejumlah perubahan. Seperti akses pendidikan yang lebih merata bagi anak perempuan dan anak laki-laki, lahirnya beberapa undang-undang yang mengakomodasi hak-hak perempuan, angka partisipasi angkatan kerja perempuan yang meningkat secara kuantitas, jumlah representasi perempuan di bidang politik yang naik, dll. Meski demikian, penolakan terhadap feminisme tetap ada.  

Faktanya opresi terhadap perempuan adalah nyata dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari perempuan. Ia mewujud dalam bentuk perda diskriminatif, kesenjangan upah antar gender, pembagian peran gender yang tidak setara, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan kekerasan berbasis gender yang bentuk dan intensitasnya makin beragam. Opresi ini tidak dapat hilang hanya dengan menghindari atau mengabaikannya sambil berargumen bahwa feminisme adalah konsep dari Barat dan tidak dibutuhkan di Indonesia.

Sebaliknya, membuka pemahaman kita terhadap feminisme dengan mempelajarinya akan membantu kita memahami ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita terutama yang dialami oleh perempuan dan kelompok minoritas seksual.

Lebih jauh feminisme dapat membantu kita membedah akar persoalan dan menggunakan pisau analisisnya untuk mencari pemecahan dan mengupayakan perubahan. Karena dunia yang didasarkan pada kesetaraan, keadilan, kebebasan, kooperasi, dan penghormatan pada bumi mungkin untuk diwujudkan.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!