Pentingnya mendesak RUU Masyarakat Adat dibahas pada Konferensi Tenurial 2023, di Gedung Serbaguna Senayan Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Senin (16/10/2023). (dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

15 Tahun RUU Masyarakat Adat Tak Juga Disahkan, Aktivis Gugat Pemerintah ke PTUN

Sudah lebih dari 15 tahun, RUU Masyarakat Adat jalan di tempat atau tak juga disahkan. Sementara, situasi masyarakat adat termasuk perempuan, terus mengalami diskriminasi dan kekerasan atas nama “pembangunan”.

Hermina Mawa kembali mengingat tindakan represif aparat yang terjadi beberapa tahun silam. 

Perempuan pejuang hak masyarakat adat dari Rendubutowe, Nagekeo, NTT, itu pernah diborgol saat dirinya berupaya mempertahankan hak ulayat wilayah adatnya. 

Saat itu, para aparat datang ke wilayah adat dimana Mama Mince (panggilan akrab Hermina Mawa) berada. Mereka memaksa mengambil alih wilayah itu. Alasannya, adanya proyek strategis nasional (PSN) berupa pembangunan waduk. 

Bersama puluhan perempuan adat lainnya, Mama Mince memimpin aksi. Meski akhirnya, mereka malah mendapatkan kekerasan. Perlawanannya bersama masyarakat adat setempat itu dilakukan akibat penetapan lokasi PSN itu yang tak pernah dibicarakan dengan mereka. Utamanya menyangkut dampak dan kepastian hidup mereka. 

Tanah adat mereka dirampas secara paksa tanpa pembicaraan. Mama Mince sebagai perempuan merasa dinodai martabat hidupnya. Ia bilang, pemerintah tidak pernah paham makna tanah bagi mereka.

“Hak hidup kami itu hanya dengan tanah. Kami tidak hidup dengan yang lain, kami tak bisa.” Ujar Mama Mince saat konferensi pers di Kantor AMAN, yang disiarkan secara daring yang diikuti Konde.co pada Jumat (15/3). 

Baca Juga: Film ‘Women from Rote Island’, Panjangnya Perjuangan Perempuan Adat Lepas Dari Kekerasan Seksual

Baginya, pembangunan waduk di Rendu itu, bukanlah mendatangkan kesejahteraan seperti yang dielu-elukan. Tapi, justru berpotensi berdampak buruk bagi lingkungan termasuk kaitannya dengan para perempuan. 

“Justru air (waduk) itu menenggelamkan bukan membahagiakan,” katanya. 

Saat ini, Mama Mince tergabung dalam Kelompok Pejuang Tanah Rendu (KOMPETER). Bersama puluhan perempuan adat di Rendu mereka berkumpul dan mengorganisir diri. Termasuk dalam hal perlawanan terhadap pembangunan waduk PSN itu. 

Perjuangan Mama Mince itu terus dilakukan, sebab katanya, perempuanlah yang paling terdampak dari alih fungsi tanah ulayat ke PSN ini. Perempuan yang selama ini dekat dengan alam termasuk menanggung dampak terbesar dari kerusakannya. 

“Kami (perempuan) lebih dekat dengan alam. Salah satu contoh, bapak-bapak tidak mungkin menyiapkan makanan untuk anak-anak kalau tidak ada beras dan jagung di dalam rumah. Bagaimana selama ini kami perempuan itu selama ini menyiapkan (menanam dan meramu) itu,” tegasnya. 

Baca Juga: Papua Bukan Tanah Kosong, Tanah bagi Kami adalah Mama

Mama Mince adalah salah satu perwakilan perempuan adat yang jadi saksi fakta di tahap pembuktian atas proses gugatan masyarakat adat kepada DPR RI dan Presiden RI untuk segera membentuk UU Masyarakat Adat. Tak sendiri, saksi fakta yang dihadirkan ada beberapa perwakilan masyarakat adat lain di berbagai wilayah lain. 

Serupa dengan Mama Mince, ada pula Effendi Buhing dari masyarakat adat Laman Kinipan Lamandau, Kalimantan Tengah. Dia bercerita tentang dirinya yang ditahan paksa dengan pengerahan aparat berlebihan. 

Aparat menahan Effendi dengan cara yang melawan prosedur. Dia menjadi target penangkapan atas dasar laporan perusahaan yang merasa terganggu oleh aksi penolakan warga. Kala itu, dia menjabat sebagai kepala desa. 

“Tanah merupakan Ibu bagi kami. Dia tidak boleh dirusak. Tapi ketiadaan perlindungan atas wilayah adat melalui undang-undang menyebabkan pihak luar seenaknya masuk, merambah dan mengusir kami yang sudah ratusan tahun telah hidup di situ. Apa salahnya kami menolak?,” ujar effendi Buhing. 

Situasi Kritis, Masyarakat Adat Layangkan Gugatan PTUN

Apa yang diresahkan Mama Mince dan Effendi bukan isapan jempol belaka. 

Masyarakat Adat di Indonesia berada dalam titik kritis. Selama 1 dekade belakangan, telah terjadi perampasan wilayah adat sebesar 8,5 juta hektar. Selain itu, 678 orang mengalami kriminalisasi dan kekerasan. 

Pengaturan terkait masyarakat adat yang tidak lengkap, tidak tepat, tumpang tindih serta tersebar dan bersifat parsial di beberapa peraturan sektoral seperti kehutanan, konservasi, agraria dan lainnya telah menjadi penyebab dari tidak terlindunginya masyarakat adat. 

Situasi ini telah menjadi ironi. Sebab, konstitusi dan berbagai instrumen hukum tentang hak hak asasi manusia menempatkan masyarakat adat sebagai kelompok yang identitas dan hak-hak tradisionalnya harus diakui dan dihormati. Negara juga memiliki kewajiban konstitusional untuk menghormati dan melindungi masyarakat adat. 

Negara telah menjadikan Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang mengatur khusus masyarakat adat dan tanggung jawab negara terhadap masyarakat adat sebagai sekadar rangkaian kata tak bermakna. 

Baca Juga: Minim Sosialisasi, Masyarakat Pulau Rempang Tolak Penggusuran

Setelah 15 tahun, sejak 2009 RUU Masyarakat Adat tidak kunjung ditetapkan menjadi UU. AMAN dan komunitas Masyarakat Adat memilih untuk menggugat Presiden dan DPR RI karena dianggap tidak melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan oleh UUD 1945 untuk membentuk UU, dalam hal ini UU Masyarakat Adat. 

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, gugatan RUU Masyarakat Adat ini bertujuan agar DPR RI dan Presiden RI melaksanakan kewajibannya memberikan pengakuan dan perlindungan nyata terhadap Masyarakat Adat.

“Apa artinya situasi yang terjadi saat ini? Kami (Masyarakat Adat) terusir dan tersingkir dari tanah leluhur yang diwariskan ratusan bahkan ribuan tahun lalu, jauh sebelum negara ini terbentuk. Fakta tersebut tidak dipandang serius oleh negara, malah diperumit dengan persyaratan yang pada faktanya berimbas minimnya perlindungan dan pengakuan terhadap kami,” ujar Rukka.  

Baca Juga: Jalan-jalan Perempuan #1: Mengunjungi Masyarakat Adat, Memahami Sudut Pandang Mereka

Sebagai pihak Penggugat, selain AMAN, permohonan gugatan berasal dari komunitas Masyarakat Adat Ngkiong di Kabupaten Manggarai, Masyarakat Adat Osing di Banyuwangi, dan Masyarakat Adat O Hongana Manyawa, Halmahera. 

Sedangkan saksi fakta berasal Masyarakat Adat Dayak Iban, Semunying Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat; perwakilan komunitas Dayak Tomun, Laman Kinipan Lamandau Kalimantan Tengah; Perwakilan Masyarakat Adat Rendubutowe, Nagekeo NTT; perwakilan Masyarakat Adat dari Manggarai, NTT; dan pendamping komunitas Masyarakat Adat O Hongana Manyawa Tobelo Dalam dari Maluku Utara.

“Yang kami tuntut dan yang seharusnya dilakukan negara adalah pengakuan dan perlindungan terhadap identitas budaya dan hak-hak kami sebagai Masyarakat Adat termasuk diantaranya hak atas wilayah adat, dan hak untuk mengatur diri kami sendiri,” imbuhnya. 

Proses Panjang RUU Masyarakat Adat

Persoalan mendasar Masyarakat Adat sebenarnya menjadi perhatian AMAN sejak lama. AMAN sendiri dideklarasikan oleh perwakilan Masyarakat Adat dari seluruh nusantara pada tahun 1999, salah satunya dilatari oleh kegelisahan terhadap perampasan wilayah-wilayah adat yang luas dan disertai dengan kekerasan negara. 

Sejak lama pula disadari bahwa salah satu penyebab utama dari hal tersebut adalah ketiadaan payung hukum yang mengakui dan melindungi Masyarakat Adat secara menyeluruh.

“Desakan agar negara membentuk UU Masyarakat Adat bukanlah terjadi secara tiba-tiba. Sejak 1999 AMAN telah bersuara dan mencoba melakukan edukasi melalui berbagai dialog kepada institusi-institusi negara adan kepada publik. Yang terjadi justru janji politik yang tak kunjung ditepati,” ungkap Abdon Nababan, mantan Sekretaris Pelaksana AMAN periode 1999-2003 dan Sekretaris Jenderal AMAN periode 2007-2017.

Dalam paparannya saat konferensi pers, Abdon menjelaskan bagaimana sejarah, latar belakang dan proses upaya legislasi agar undang-undang Masyarakat Adat nyata terbentuk. 

Proses dialog, lobi, penelitian dan bahkan uji publik, pengujian hukum dan masukan di dalam visi misi calon Presiden pada saat kontestasi Pilpres telah dilakukan untuk memperlihatkan bahwa ada kebutuhan mendesak agar undang-undang Masyarakat  Adat segera dibentuk. 

Baca Juga: “Kok Pakai Baju Modern, Bukannya Daun atau Kulit Kayu?”: Kisah Pegiat Hak-hak Masyarakat Adat

Namun upaya tersebut selalu mandek, atau dapat dikatakan gagal, karena sebagai rancangan undang-undang yang telah menjadi program legislasi nasional (Prolegnas) tidak pernah dibahas bersama antara DPR RI dan Presiden RI. 

“Kerugian yang dialami Masyarakat Adat tidak hanya terkait tanah dan ruang hidup, bahkan kadangkala berdampak terhadap hilangnya nyawa. Kami ada tapi seolah-olah tidak ada,” Abdon.

Fatiatulo Lazira dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) selaku kuasa hukum para Penggugat menambahkan pentingnya membangun kesadaran bersama dalam memandang kompleksitas persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat dan urgensi pembentukan RUU Masyarakat Adat. 

Menurutnya, perampasan wilayah, kriminalisasi, diskriminasi serta hal lain yang dilarang oleh prinsip-prinsip hak asasi manusia. Namun yang terjadi pada masyarakat adat merupakan bentuk pengingkaran negara atas filosofi dasar terbentuknya sebuah negara. Yaitu untuk mensejahterakan setiap warga negaranya. 

“Kesejahteraan tidak harus selalu dipandang dari aspek ekonomi saja. Lebih penting dari itu, yaitu terpenuhinya hak bagi pengakuan dan perlindungan bagi mereka. Barulah dapat dikatakan bahwa Negara hadir bagi mereka,” pungkas Fati.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!