Fatwa Progesif KUPI II: Merebut Ruang Tafsir yang Dimonopoli Laki-laki

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI II) berhasil melahirkan fatwa progresif. KUPI II yang ditutup pada Sabtu (26/11/2022) memfatwakan hukum melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan yang wajib dilakukan berapa pun usia kehamilannya

Setelah puluhan tahun ruang tafsir dimonopoli laki-laki, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) coba membuat terobosan dengan menghasilkan metodologi yang progresif.

Pengalaman, pengetahuan dan pemahaman perempuan terkait berbagai persoalan kehidupan menjadi landasan dalam merumuskan fatwa sehingga dihasilkan tafsir yang lebih adil dan jauh lebih ramah bagi perempuan.

Sudah menjadi rahasia umum, selama ini tafsir agama dibuat oleh laki-laki dan didasarkan pada pengalaman mereka. Pengalaman perempuan yang jauh berbeda sering luput dari perhatian, sehingga menghasilkan tafsir-tafsir yang mengungkung kehidupan perempuan.

KUPI II yang baru usai pada akhir pekan lalu menegaskan, perlindungan terhadap perempuan dari berbagai bentuk kekerasan wajib hukumnya baik bagi Negara, aparat pemerintah, maupun seluruh warga negara. Bentuk kekerasan terhadap perempuan seperti pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual, bahaya kehamilan akibat perkosaan dan berbagai kekerasan lainnya.

Empat dari lima fatwa KUPI yang dihasilkan di KUPI II sangat melindungi perempuan. Fatwa itu dibacakan pada acara penutupan KUPI II Sabtu (26/11/2022) di Pondok Pesantren Hasyim Asyari, Bangsri, Jepara Jawa Tengah.

“Pemaksaan perkawinan terhadap perempuan tidak hanya berdampak secara fisik dan psikis, mental, tetapi juga sosial, ekonomi, politik dan hukum,” demikian fatwa KUPI yang dibacakan Nurul Mahmudah dari Jombang.

Untuk itu semua pihak wajib hukumnya melakukan penanganan dengan upaya yang cepat dan tepat untuk meminimalisir dan menghapuskan segala bahaya akibat pemaksaan perkawinan terhadap perempuan.

Guna mewujudkan hal ini maka pengambil kebijakan (pemerintah dan DPR) wajib membuat peraturan perundangan yang menjamin hak-hak korban, menyediakan layanan pemulihan yang berkelanjutan dan menerapkan sanksi pidana bagi pelaku pemaksaan perkawinan pada perempuan hukumnya adalah wajib.

Terkait kehamilan tak diinginkan yang dialami korban perkosaan, KUPI memfatwakan wajib hukumnya untuk melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah di usia berapa pun kehamilannya, baik dengan cara melanjutkan atau menghentikan kehamilan, sesuai dengan pertimbangan darurat medis dan/ atau psikiatris;

“Semua pihak mempunyai tanggungjawab untuk melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan, terutama diri sendiri, orang tua, keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat dan adat, tenaga medis, tenaga psikiatris, serta Negara,” demikian fatwa ketiga KUPI II yang dibacakan Nurul Mahmudah, ulama perempuan muda asal Jombang.

Fatwa KUPI ini jauh lebih progresif dibanding Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) maupun rekomendasi Badan Kesehatan Dunia, WHO yang masing-masing membatasi aborsi hanya bisa dilakukan untuk usia kehamilannya maksimal 12 minggu.

Dalam fatwa nya, KUPI juga menyebut pelaku kekerasan seksual juga mempunyai tanggungjawab untuk melindungi jiwa korban dengan cara yang tidak semakin menambah dampak buruk (mafsadat) bagi korban;

 “Haram hukumnya, bagi pihak-pihak yang mempunyai tanggungjawab dan kemampuan namun tidak melakukan perlindungan pada jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan,” imbuh Nurul.

KUPI II juga mengeluarkan fatwa haram terhadap pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan atau sunat perempuan tanpa alasan medis yang jelas. Fatwa kelima KUPI II ini didasarkan pada fakta banyaknya kasus sunat perempuan yang mengakibatkan pendarahan hebat yang berakibat pada kematian. Sunat perempuan juga dilakukan tanpa persetujuan dari perempuan.

“Semua pihak bertanggungjawab untuk mencegah pemotongan dan/ atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis, terutama individu, orang tua, keluarga, masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, paraji atau sebutan lainnya, pelaku usaha, tenaga kesehatan, pemerintah, dan Negara,” ujar Masyitah Umar dari Banjarmasin.

KUPI mendorong tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis, dan keluarga untuk menggunakan wewenangnya untuk melindungi perempuan dari bahaya tindakan pemotongan dan/ atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis adalah wajib.

Keutuhan Indonesia dan kelestarian lingkungan

Dalam KUPI II ini, juga difatwakan hukum menjaga NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah wajib bagi setiap warga negara;

“Hukum peminggiran perempuan yang berdampak pada tidak terjaganya NKRI dari bahaya kekerasan atas nama agama adalah haram bagi setiap lembaga Negara,” demikian fatwa KUPI  yang dibacakan Fatum Abu bakar, dari PP Al Khoirot Ternate Maluku Utara.

Terkait fatwa ini, masyarakat sipil, organisasi sosial dan keagamaan bertanggungjawab untuk melindungi perempuan dari segala bentuk bahaya kekerasan atas nama agama, sesuai dengan otoritas yang dimilikinya;

Kewajiban ini berlaku untuk semua pihak, terutama negara dalam berbagai tingkat otoritasnya, lembaga keagamaan, lembaga sosial, dunia usaha, masyarakat sipil, keluarga dan media sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Pasalnya dalam kondisi konflik, perempuan lah yang akan sangat merasakan dampaknya.

KUPI II juga merilis fatwa terkait pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan. KUPI melihat, pembiaran kerusakan lingkungan hidup akibat polusi sampah akan sangat berdampak pada kehidupan dan keselamatan perempuan.

“Jadi haram hukumnya bagi mubasyir (pelaku langsung) atau eksekutor mutasabbib (penyebab tidak langsung) kerusakan lingkungan,” demikian fatwa KUPI II yang dibacakan Moh. Khatibul Umam dari Ponpes An Nuqayah, Sumenep, Madura.

Sedangkan bagi orang yang tidak mempunyai wewenang hukumnya makruh tahrim (makruh yang mendekati haram) untuk merusak lingkungan.

Semua pihak wajib mengelola sampah sesuai kemampuan dan kapasitas masing-masing. Sementara pemerintah sebagai pengambil kebijakan wajib membangun kesadaran warga akan bahaya pengelolaan sampah yang serampangan. Pemerintah wajib mengedukasi pengelolaan sampah yang paling sederhana kepada warga.

Hukum membangun infrastruktur politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung pengelolaan sampah untuk keberlangsungan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan adalah wajib bagi ulul amri dan para pemegang kebijakan dengan semua fasilitas yang dimiliki ulul amri.

Jadi, ulul amri wajib membangun infrastruktur tersebut sesuai dengan kadar kapasitas kewenangan dan dampak sampah yang dihasilkan.

KUPI II berlangsung sejak 23 November 2022 dan diikuti sekitar 1500 peserta dari berbagai provinsi di Indonesia dan wakil dari 31 negara sahabat. KUPI II menjadi ruang pertemuan yang dihadiri lintas generasi, lintas kelompok  dan lintas iman.

Hasil Kongres berupa fatwa dan rekomendasi ini kemudian diserahkan kepada wakil pemerintah dan wakil rakyat yang hadir dalam acara penutupan, antara lain GKR Hemas dari DPD, Bupati Jepara dan Ketua DPRD Jepara untuk ditindaklanjuti. .

Ketua panitia penyelenggara KUPI II, Masruchah berharap, para peserta kembali ke daerahnya masing-masing dengan membawa dan menularkan semangat KUPI yang selalu berusaha mengupayakan keadilan yang haqiqi.

“Semoga semangat KUPI bisa memberi warna dalam berbagai bidang kehidupan, ruang keluarga, ruang bersama hingga tataran negara,” ujarnya. .

Di acara penutupan ini juga dibacakan Ikrar Jepara dan Deklarasi KUPI Muda yang intinya berisi tekad mereka untuk mewujudkan peradaban yang berkeadilan.

GKR Hemas, dalam kesempatan itu mengatakan bahwa KUPI berhasil membuktikan bahwa fatwa keagamaan yang ramah perempuan bisa dihasilkan jika memang ada kemauan. Ia berharap sukses KUPI 1 di 2017 dan KUPI II pada November 2022 akan berlanjut ke KUPI selanjutnya,

“Hasil dan rekomendasi ini akan diteruskan ke parlemen Indonesia untuk ditindaklanjuti,” pungkas GKR Hemas.

(Liputan ini mendapatkan dukungan dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia/ KUPI)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!