Miss Universe Organization (MUO) resmi diakuisisi oleh JKN Global Group akhir Oktober 2022 lalu. Tak tanggung-tanggung, perusahaan media asal Thailand itu memborong 100 persen kepemilikan saham di MUO. Untuk itu JKN merogoh kocek hingga 20 juta dolar AS atau sekitar Rp 311 miliar.
Dengan pembelian ini maka lisensi Miss Universe yang sebelumnya dipegang oleh IMG Worldwide, akan berpindah sepenuhnya ke JKN Global Group. CEO JKN Global Group, Anne Jakapong Jakrajutatip adalah sosok di balik kepemilikan MUO saat ini. Ia adalah perempuan transgender asal Thailand yang tersebut selama ini aktif mengadvokasi transgender.
Berganti kepemilikan dari IMG Worldwide, akan ada beberapa perubahan dalam konsep penyelenggaraan Miss Universe yang tahun ini memasuki umur ke-71 tahun. Di bawah naungan JKN, kontes kecantikan sejagat ini disebut akan mengutamakan inklusivitas dan makin menguatkan pemberdayaan perempuan.
Gelaran Miss Universe selama ini mengusung slogan brain-beauty-behaviour dalam menyeleksi para pemenangnya. Dengan peralihan kepemilikan saham, kriteria yang jadi persyaratan untuk menjadi kontestan Miss Universe pun akan diperluas.
“Kontes kecantikan ini seperti halnya kompetisi olahraga. Semuanya setara tidak peduli dari negara mana. Semua perempuan dari seluruh dunia, setiap orang termasuk transgender, harus dipandang setara,” ujar CEO JKN Global Group Anne Jakapong Jakrajutatip dalam konferensi pers via Zoom Meeting, Kamis (27/10/2022) seperti dikutip People.com.
Sementara, Presiden Direktur Miss Universe Organization Paula Shugart dalam keterangan resminya menjelaskan akan ada banyak perubahan dalam konsep penyelenggaraan Miss Universe yang mulai efektif berlaku pada 2024. Salah satunya kriteria kontestan yang lebih inklusif atau lebih luas cakupannya.
“Adanya akuisisi ini tentu kita akan mengantisipasi perubahan. Kita berkembang menjadi One Universe, menjadi setara. Oleh karena itu setiap perempuan termasuk yang sudah menikah atau bercerai, apapun (statusnya), bisa ikut kompetisi ini,” tutur Paula.
Perubahan kepemilikan ini dinilai akan membuka babak baru penyelenggaraan Miss Universe yang lebih inklusif dan menjunjung kesetaraan, Miss Universe akan terbuka bagi perempuan transgender untuk ikut berkompetisi. Paula mengajak para perempuan untuk ikut dan menunjukkan kecantikannya pada dunia.
Gelaran Miss Universe menjadi salah satu acara yang paling banyak mendapat perhatian publik. Saat ini Miss Universe disiarkan di 165 negara di dunia dan menjadi salah satu program perempuan yang paling banyak ditonton. Di jagat maya Miss Universe juga sangat terkenal, akun media sosial Miss Universe memiliki tak kurang dari 23 juta follower.
Di situs resminya, Miss Universe Organization menyebut setiap tahun, setidaknya ada 10.000 perempuan yang berpartisipasi dalam platform mereka untuk memberikan pengaruh positif baik melalui kegiatan kemanusiaan maupun kerja-kerja profesional.
“Anggota delegasi dan pemegang gelar adalah pemimpin dan panutan di komunitas mereka masing-masing; mereka mengembangkan tujuan pribadi dan profesionalnya guna menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama,” demikian pernyataan MUO di laman resminya.
Pandangan miring terhadap Miss Universe
Peralihan kepemilikan Miss Universe ini terjadi, saat sebagian dunia memperdebatkan kontes kecantikan ini. Meski belakangan lebih ramah terhadap perempuan, Miss Universe dinilai tetap melanggengkan misoginis.
Sade Andria Sabala dalam tulisannya “Kontes Kecantikan, Misoginis atau Feminis?” yang dimuat di Thought Catalog menyebut dunia menyikapi berbeda soal kontes kecantikan. Di negara asalnya, Filipina, kontes kecantikan diposisikan seperti olahragawan yang menang di olimpiade. Pemenangnya dihargai setinggi langit dan dielu-elukan, selama ada darah Filipina yang mengalir di tubuhnya. Tapi semua ini berakar pada budaya misoginis atau budaya yang sangat menyukai kontrol berlebihan terhadap tubuh perempuan.
Di banyak negara lain, gelaran semacam Miss Universe dicemooh karena menilai kecantikan menurut standar fisik seperti tinggi semampai, berambut panjang, body gitar dan sederet kriteria fisik lainnya.
“Saya akan mengatakan, saya tidak terlalu peduli dengan Miss Universe dan juga tidak secara aktif memprotesnya. Lakukan apa yang membuatmu bahagia. Tapi penting bagi kita untuk memeriksa bagaimana Miss Universe, sebagai sebuah platform, berdampak dan mempengaruhi masyarakat karena pada tingkat individu ditemukan lebih banyak hal buruk ketimbang kebaikan,” tulis Sade.
Mengamati linimasa di medsosnya, Sade tak memungkiri Miss Universe turut mengkampanyekan gerakan feminis. Format baru dengan penjurian yang dilakukan beberapa juri melahirkan standar kecantikan yang lebih fleksibel yang selanjutnya menghasilkan kontestan yang luar biasa.
Miss Universe 2016 Pia Wurtzbach misalnya, menunjukkan kekuatan perempuan muda menyikapi bagaimana dia dipermalukan meskipun tidak setuju dengan jawabannya selama Q&A terakhir. Ada juga contoh ketika Miss Universe 1996 yang berdiri melawan seksisme di industri fashion.
“Para kontestan telah berkali-kali dengan anggun menangani kritik dan mendorong dialog tentang isu-isu penting seperti feminisme, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, kepositifan tubuh, AIDS, hak-hak sipil kulit hitam, dan rasisme,” tegas Sade.
Apa yang dikerjakan peserta kontes kecantikan macam Miss Universe sangat mengagumkan. Mereka tak hanya berdandan, berjalan di atas panggung, dan mendapatkan mahkota. Para perempuan ini harus melakukan upaya serius dan disiplin yang ketat untuk berada di tempat mereka sekarang. Latihan yang ketat, diet sehat, pelatihan penampilan, pelatihan ketenangan, kamp kecantikan, yang mungkin tidak bisa ditangani oleh semua perempuan.
Seorang peserta kontes kecantikan, kadang harus pulang dengan nyeri otot dan lecet setelah berlatih dengan high heels setinggi 10 cm saat harus beraktivitas di ruang publik. Belum lagi tekanan emosional dan mental yang harus mereka tanggung!
Menjadi Miss Universe adalah pekerjaan penuh waktu. Mereka harus berkeliling dunia untuk kegiatan amal yang tidak semuanya mewah dan glamor, membekali diri dengan budaya dan kebiasaan negara lain, dan membangun kesadaran akan banyak isu. Mereka layak dihormati untuk itu.
Seda menegaskan, perempuan tidak berkurang feminisnya hanya karena dia menyukai kontes. Mempermalukan Miss Universe sebenarnya sikap misoginis dalam bentuk lain.
“Jika Anda menghakimi pilihan perempuan untuk mengekspresikan otonomi tubuhnya di atas panggung karena berpikir itu tidak sesuai dengan definisi feminisme Anda, maka itu bukan feminis,” tegasnya.
Inti feminisme adalah memperjuangkan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan. Feminisme juga berarti mendukung pilihan perempuan meski itu tidak sama dengan pilihan kita, meskipun itu kita anggap yang seharusnya.
Jika seorang perempuan bahagia dan merasa berdaya dengan ikut Miss Universe, kita tak berhak memusuhinya, Banyak orang beralasan, karena perempuan berkompetisi yang berdasar pada standar kecantikan, tapi perempuan berhak melakukan apa yang dimaui tanpa rasa takut atau dihakimi.
Miss Universe menurut Sade, memberi kesempatan bagi perempuan untuk meraih karier, pendidikan dan sederet kesempatan lainnya. Jadi ini adalah bentuk lain perayaan bagi perempuan. Apapun profesinya, apakah dia seorang Miss Universe, penari striptease, pebisnis, guru, ia berhak dihargai untuk profesinya dan sebagai manusia.
“Jika anda berpikir lain, maka Anda perlu mengevaluasi prinsip Anda,” tegas Sade.
Sade menambahkan, nilai Miss Universe sangat bergantung pada kontestannya sendiri. Sebagai sebuah industri, Miss Universe akan tetap eksis selama orang tetap menontonnya meskipun mereka yang terlibat di dalamnya memutuskan untuk tidak bertindak/menjadi feminis.
Berikut juga ada beberapa pandangan miring tentang gelaran Miss Universe, yakni
1. Mempromosikan bodyshaming
Miss Universe hanya merayakan tipe tertentu yakni perempuan dengan fitur euro-sentris, rambut panjang, tinggi tertentu, dan sikap sopan dan pantas standar Barat. Di Filipina, para manajer kontes kecantikan mengaku hanya melatih calon yang tingginya minimal 170 centimeter dengan wajah menakjubkan. Ketidaksempurnaan seperti jerawat, gigi tidak rapi akan mempengaruhi hasil sehingga dibutuhkan peran dokter gigi dan dokter kulit.
Miss Universe Kanada 2017 dikritik karena “lebih besar” dari kebanyakan kontestan yang omong kosong, kasar, dan terbelakang. Miss Universe 1996 juga pernah dipermalukan sampai depresi. Ada juga kamp kecantikan ekstrem di Venezuela yang menekan remaja berusia 12 tahun untuk melakukan operasi plastik dengan harapan memenangkan mahkota.
Seorang mantan kontestan Miss Venezuela mengaku menjahit lidahnya agar tidak makan makanan padat, sesuai saran yang diberikan kepadanya. ”Feminis adalah Betties jelek tanpa harapan perbaikan. Mereka semua mengerikan,” ujarnya.
Para peserta Miss Universe menyadari apa yang mereka hadapi itu adalah pilihan mereka. Tetapi kita harus bertanya bagaimana pandangan yang terbatas tentang kecantikan mempengaruhi perempuan muda biasa (dan apakah efek itu berbahaya), terutama pada mereka yang tinggal di negara-negara miskin yang tidak terpapar nilai-nilai feminisme dan pemberdayaan perempuan.
2. Mempromosikan misoginis
Masalah utama Miss Universe terletak pada audiensnya. Setiap kali Miss Universe digelar, muncul komentar di medsos seperti mengkritik secara tidak adil, mengolok-olok, menghina atau secara seksual menjadikan seorang kandidat sebagai objek.
Kandidat kontes kecantikan tidak disukai, maka dia akan dibicarakan seolah-olah dia membakar rumah mereka. Miss Universe Filipina 2017 Maxine Medina dirundung secara online oleh orang Filipina karena tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Miss Universe Haiti 2017 dikritik karena “kontur dan highlight yang diterapkan dalam riasannya sangat buruk.” Miss Universe China 2017 menjadi sasaran komentar mesum karena pakaian renangnya yang tipis.
Miss Universe Spanyol 2017 dipuji sebagai makanan lezat. Miss Universe Guam 2017 diejek karena menyerupai waria lokal. Yang terburuk adalah saat pemegang gelar Miss Universe menganjurkan perilaku buruk, seperti komentar Miss Universe 1969 tentang tubuh Miss Universe Kanada 2017.
3. Mempromosikan rasisme
Contoh nyata dari hal ini adalah ketika Miss Universe Jepang 2015 disorot karena menjadi blasteran yang sebenarnya berhubungan dengan warna kulitnya ketimbang setengah Jepang. Meskipun dia menerima, harusnya ini adalah hal positif bagi perempuan yang tidak cocok dengan stereotip Miss Universe. Kehadiran mereka akan mengangkat keragaman dan penerimaan bi-rasial.
Rasisme bukan hanya monopoli penontonnya, bahkan juri Miss Universe tampaknya condong ke standar kecantikan Barat yang akhirnya menempatkan kandidat kulit berwarna dalam posisi yang lebih rendah.
Dalam sejarah Miss Universe, hanya lima gadis kulit hitam yang memenangkan gelar Miss Universe. Sedangkan pemenang Miss Universe dari Asia hanya sepuluh orang.
Perempuan kulit hitam pertama kali tampil di gelaran Miss Universe pada 1923, meski bukan sebagai peserta tetapi sebagai penari budak kulit hitam. Baru pada 1977, perempuan berkulit hitam pertama kali dinobatkan menjadi Miss Universe.
Berbicara soal inklusivitas, sebelum larangan perempuan transgender dicabut, finalis Miss Universe Kanada didiskualifikasi karena ketahuan sebagai transgender. Tak sedikit kontestan Miss Universe didiskualifikasi atau dikritik keras karena hal-hal konyol seperti berat badan dan usia.
4. Eksploitasi
Saat Miss Universe ke-65 digelar di Filipina, Sade mempertanyakan etika dan kemunafikan penyelenggara yang ‘menyingkirkan’ para tunawisma dari jalanan untuk menghadirkan ambaran palsu tentang betapa bersih dan terorganisirnya Filipina.
“Ini adalah sebuah kontradiksi, di mana perempuan cantik berbadan sehat mengenakan gaun mahal dan menginvestasikan banyak uang dalam kontes kecantikan, sementara banyak perempuan di negara itu menjadi korban kemiskinan, kekerasan, dan wisata seks,” ujarnya.
Seorang teman Sade mengatakan dia tidak mengharapkan akan memenangkan kontes karena menduga juri sudah memutuskan pemenang sebelum malam penobatan.
Dari obrolan ini, Sade berpikir kecurangan di kontes yang lebih rendah yang menjadi batu loncatan menuju kontes yang lebih tinggi ini akan melemahkan kredibilitas Miss Universe sebagai kompetisi yang sah.
Miss Universe belakangan ini memang lebih feminis karena beberapa pesertanya yang luar biasa. Namun, tidak dapat disangkal bahwa industri ini juga melanggengkan seksisme dan misoginis namun sedikit berbuat untuk melawannya. Karena sifatnya yang bermasalah ini juga memunculkan hal buruk pada orang, meskipun Miss Universe tak bisa disalahkan sepenuhnya atas tindakan penontonnya.
Jadi, bagaimana menurutmu, apakah Miss Universe dengan segala keadaannya tetap perlu diadakan?