Rapor Merah Penegakan HAM Indonesia: Aktivis Kritik Laporan Pemerintah dalam UPR Dewan HAM PBB 

Para aktivis HAM mengkritik laporan kondisi HAM yang dilaporkan Pemerintah Indonesia dalam sidang Dewan HAM PBB. Para aktivis menyatakan, laporan pemerintah bertolak belakang dari kenyataan.

Penegakan hukum dan HAM di Indonesia direview dalam Siklus ke-41 Universal Periodic Review (UPR) atau peninjauan berkala universal yang berlangsung pada 9 – 11 November 2022, di Dewan HAM PBB Genewa, Swiss.

Pengesahan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan revisi UU Perkawinan yang menaikkan batas usia nikah menjadi 19 tahun menjadi salah satu capaian yang mendapat apresiasi dari para negara reviewer. Namun, banyak persoalan Hak Asasi Manusia/ HAM yang tak tuntas dan tak bisa diselesaikan pemerintah Indonesia, seperti penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, penyelesaian masalah Papua, pelanggaran kebebasan bereskpresi, penerapan hukuman mati, serta sejumlah persoalan HAM lainnya menjadi sorotan tajam dari sejumlah negara.

Para aktivis menyatakan, laporan pemerintah Indonesia yang menyatakan ada banyak capaian baik dalam penegakan HAM di Indonesia, tidak sesuai dengan kenyataan

Sidang UPR merupakan mekanisme untuk meninjau soal kemajuan, tantangan maupun agenda dari negara-negara anggota PBB dalam bidang hukum dan hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan secara bergantian dalam siklus 4,5 tahun sekali. 

Sidang UPR yang diikuti Konde.co melalui online ini merupakan siklus yang keempat kalinya bagi Indonesia. Sebelumnya review terhadap penegakan HAM di Indonesia dilakukan pada tahun 2008, 2012, dan 2017. Pada kesempatan ini, delegasi Indonesia yang dipimpin MenkumHAM Yasonna Laoly memaparkan keberhasilan dan sejumlah tantangan dalam penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

Terdapat 108 negara peninjau dalam sidang ini yang menyampaikan 269 rekomendasi untuk pemajuan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi manusia termasuk hak-hak perempuan dan kelompok rentan (penyandang disabilitas, anak, lansia dan masyarakat adat). Selain hukuman mati dan isu Papua, Indonesia juga mendapat sorotan dalam revisi KUHP, ratifikasi konvensi anti penyiksaan, kebebasan beragama dan berekspresi, perlindungan terhadap hak perempuan, anak dan disabilitas, perlindungan data pribadi serta pendidikan HKSR.

Rekomendasi ini lebih banyak dibandingkan rekomendasi-rekomendasi UPR sebelumnya  yakni 225 rekomendasi dari 101 negara. Dalam 269 rekomendasi itu terdapat sejumlah rekomendasi yang sebelumnya telah disampaikan tetapi belum ditindaklanjuti dengan baik oleh pemerintah Indonesia. 

Respon Pemerintah Indonesia (PEMRI) atas rekomendasi tersebut telah disampaikan pada sesi pengadopsian negara-negara pada 11 November 2022  yang dihadiri oleh perwakilan negara-negara, lembaga internasional, institusi nasional dan masyarakat sipil.

Yasonna menyatakan PEMRI  telah mencatat dan akan mempertimbangkan rekomendasi yang diterima untuk ditindaklanjuti dan menjadi bagian penting dari kebijakan HAM nasional selama lima tahun berikutnya.

Yasonna mengatakan penyusunan laporan UPR sudah dilakukan dengan serius dan inklusif sejak 2021. Berbagai diskusi serta jaringan masukan dilakukan dengan melibatkan Kementerian dan Lembaga Pemerintah, Pemerintah Daerah, Lembaga HAM Nasional, akademisi, hingga organisasi non-pemerintah dan masyarakat sipil.

“Indonesia menghadapi situasi yang unik dan tidak mudah untuk memenuhi komitmen pembangunan HAM. Demokrasi yang terus diuji, datangnya Pandemi, disahkannya berbagai undang-undang dan peraturan, dinamika penegakan hukum, peran masyarakat sipil yang kian dinamis, kondisi geopolitik global dan regional adalah sebagian fenomena yang mewarnai pembangunan nasional di bidang HAM selama 5 tahun terakhir,” ungkapnya.

Terkait hukuman mati, Yasonna menyebut hukuman mati masih menjadi hukum positif hingga saat ini.  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ujarnya, masih menempatkan hukuman mati sebagai hukuman pokok terutama untuk kasus-kasus besar seperti gembong narkoba atau terorisme.

Namun, pemerintah sedang mencari jalan tengah terkait hal tersebut dengan merevisi KUHP yang akan menjadikan pidana mati sebagai hukuman alternatif atau pilihan terakhir untuk dipertimbangkan dan diimplementasikan. Lewat Revisi KUHP ini, Indonesia juga membuat aturan tentang komutasi bahwa hukuman mati tersebut dapat diubah dengan pidana jenis lain jika terpidana berkelakuan baik selama 10 tahun.

“Jadi hukuman mati dapat dievaluasi setelah 10 tahun, termasuk juga selama terpidana menjalankan hukuman mati, hukumannya dapat dikurangi menjadi hukuman seumur hidup atau 20 tahun,” terang Yasonna.

Sedangkan masalah HAM di Papua disorot sejumlah negara –khususnya Eropa– menyoroti kasus mutilasi yang terjadi di Paniai beberapa waktu lalu. Yasonna menegaskan bahwa pemerintah tidak hanya melakukan pendekatan yudisial, tetapi juga non-yudisial terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua.

Menurut Yasonna, sebagian besar kasus-kasus kekerasan di Papua telah diselidiki dan pelakunya telah diberi hukuman.

Catatan Komnas Perempuan dan Organisasi HAM

Komnas Perempuan mencatat sejumlah rekomendasi dari sidang UPR siklus sebelumnya yang belum sepenuhnya ditindaklanjuti Pemerintah, seperti penghapusan penyiksaan diiringi ratifikasi opsional protokol Konvensi Anti Penyiksaan; pemenuhan kebebasan beragama dan revisi KUHP terkait pasal penistaan agama serta penghapusan perda-perda diskriminatif; penghapusan kebijakan diskriminatif terhadap minoritas seksual dan pemenuhan hak-hak atas pendidikan, pekerjaan dan bebas dari kekerasan.

Perlindungan bagi pembela HAM termasuk perempuan pembela HAM, termasuk melalui akses jurnalis dan mekanisme HAM ke Papua; pengesahan protokol opsional konvensi internasional hak-hak sipil dan politik; penghapusan praktik-praktik berbahaya termasuk atas nama tradisi seperti pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan serta penyediaan fasilitas dan akses atas pemulihan bagi korban kekerasan seksual.  

Namun demikian, Komnas Perempuan menyambut baik komitmen Pemerintah Indonesia untuk melakukan dialog konstruktif dengan para pihak terkait dalam pengadopsian dan implementasi rekomendasi-rekomendasi dari negara peninjau. Menurut catatan Koalisi Masyarakat Sipil untuk UPR Siklus 4, sebanyak 25 organisasi masyarakat sipil telah menyampaikan laporannya.

“Untuk itu, Komnas Perempuan mengajak organisasi-organisasi masyarakat sipil dan media massa agar bersama-sama memantau dan memberi masukan-masukan dalam langkah adopsi dan implementasi rekomendasi-rekomendasi tersebut,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam pernyataan tertulis yang diterima Konde, Minggu (13/11/2022) . 

Amnesty International Indonesia, ASEAN SOGIE Caucus, KontraS, KIKA, Koalisi FreeToBeMe (FTBM) Indonesia, SAFEnet, dan Transmen Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pelaporan UPR juga menilai, apa yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi di lapangan.

Pemerintah Indonesia menyebut Omnibus Law UU Cipta Kerja sebagai capaian dalam menstabilkan bisnis dengan memperhatikan HAM dan lingkungan, padahal Omnibus Law sangat bermasalah dan menjadi titik kritik tajam dari organisasi buruh dan HAM.

Selain itu, pemerintah menyatakan sudah mengikuti United Nations Guiding Principles (UNGP) on Business and Human Rights dan menjadi pelopor dalam mengadakan pertemuan terkait isu BHR. Padahal kenyataannya, KontraS mencatat bahwa Indonesia masih sering tidak mengindahkan standar-standar dalam UNGP. Dalam melakukan pembangunan, Indonesia tidak mengindahkan kepentingan penduduk yang terdampak pembangunan, sering mengintimidasi penduduk lokal dan merusak lingkungan sekitar.

Terkait pembela HAM dan kebebasan berpendapat, PemRI menyebut selalu bekerja sama dengan pembela HAM, organisasi masyarakat sipil, jurnalis, dan elemen sipil lainnya dalam rangka perlindungan HAM. Padahal menurut koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, pembela HAM menghadapi berbagai serangan.

“Pembela HAM di Indonesia menghadapi berbagai serangan, di mana mereka atau keluarga mereka dibuntuti, diawasi, menjadi sasaran tuntutan pidana, dan pencemaran nama baik di depan umum,”ujar Fatia Maulidiyanti dalam jumpa pers Kamis (10/11/2022) yang dipantau Konde melalui akun Youtube.  

Terkait isu penyiksaan, Fatia menyebut meski ada kemajuan hingga saat ini, namun beberapa kelompok masyarakat masih menjadi sasaran tindakan penyiksaan. Ketiadaan ratifikasi OP-CAT juga merupakan efek domino dari tindakan penyiksaan yang terus berlangsung di Indonesia. Indonesia juga belum menyusun dan menerapkan undang-undang khusus tentang penyiksaan dan penganiayaan.

Nurina Savitri, manajer kampanye Amnesty International Indonesia, mengkritisi pemerintah Indonesia yang tidak memberikan informasi utuh mengenai situasi HAM di Indonesia. Ia mencontohkan, klaim pemerintah Indonesia yang katanya sedang melakukan perbaikan instrumen hukum melalui RKUHP, padadal Indonesia masih memiliki pasal-pasal bermasalah yang berpotensi melanggar HAM.

Klaim mengenai pelibatan masyarakat sipil juga tidak mencerminkan situasi sebenarnya mengenai serangan yang dialami pembela HAM dalam beberapa tahun terakhir. Amnesty Internasional mencatat, dalam kurun 2019-2022, ada 328 kasus serangan fisik maupun digital terhadap masyarakat sipil dengan 834 korban.

Amnesty Internasional juga menyoroti pelanggaran HAM di Papua. Dalam laporannya, pemerintah hanya menyampaikan situasi Papua dari perspektif pembangunan infrastruktur, kesejahteraan, padahal di saat yang bersamaan kekerasan berlanjut. Tentu tidak adil menjawab segala kekerasan ini hanya dengan jargon pembangunan infrastruktur.

“Namun kenyataannya tidak ada kasus-kasus yang melibatkan aparat keamanan di Papua, termasuk pembunuhan di luar hukum, yang sebelumnya berhasil diusut tuntas dan diadili di pengadilan yang independen,” imbuh Nurina. 

Selain itu, Koalisi juga menyoroti berulangnya pelanggaran terhadap hak masyarakat Papua atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai, serta kecenderungan pemerintah untuk menguatkan pendekatan keamanan di Papua.

Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto menyesalkan perlindungan dari tuntutan hukum dan serangan-serangan yang dialami pembela HAM dan warga, baik secara fisik maupun daring, tidak dipandang sebagai bagian perbaikan HAM di Indonesia.

Hukuman mati dan HKSR

Jaringan anti Hukuman Mati (JATI) mencatat penghapusan hukuman mati direkomendasikan oleh lebih dari 28 negara. JATI mengkritisi keengganan pemerintah melaksanakan rekomendasi untuk menghapus hukuman mati ini.

Pemerintah dinilai berkelit dari rekomendasi mayoritas negara pihak melalui pernyataan Yasonna yang menilai bahwa tantangan narkotika dan terorisme memberi ruang bagi Pemerintah Indonesia masih menerapkan hukuman mati.

Rivanlee Anandar dari KontraS menegaskan, dari pengalaman selama ini hukuman mati tidak terbukti efektif menekan kasus terorisme ataupun peredaran narkotika. Setelah eksekusi mati pada tahun 2015-2016 kasus narkotika tidak terbukti berkurang, justru makin marak.

JATI khawatir dalih tersebut akan mengabaikan problem penting yang selama ini terjadi berkaitan dengan praktik hukuman mati, seperti overcrowding di lapas (termasuk tempat-tempat terpidana mati menunggu eksekusi), praktik peradilan yang tidak adil, fenomena deret tunggu pada terpidana mati yang berdampak pada penurunan kondisi psikis, mental, dan psikologis.

“Upaya untuk mendorong pemberantasan tindakan kriminal yang dianggap sebagai ancaman bagi warga negara seperti kasus narkotika perlu diiringi juga dengan praktik penegakan hukum yang adil,” ujar Rivanlee dalam pernyataan tertulisnya.

Terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi, Save All Women and Girls (SAWG) mencatat pada 2017 PemRI menerima 9 rekomendasi dari negara-negara yang mereview. Salah satunya adalah amplifikasi upaya untuk memastikan akses ke pendidikan seks juga kesehatan seksual dan reproduksi di seluruh Indonesia guna mengurangi Angka Kematian Ibu (AKI) dan memberantas AIDS, kehamilan dini, aborsi yang dilakukan dalam situasi rentan risiko, kehamilan anak, kekerasan dan eksploitasi seksual.

“Ada kemajuan yang diupayakan oleh pemerintah dalam konteks HKSR, namun tidak ada layanan yang spesifik terkait dengan akses aborsi aman bagi kehamilan yang tidak direncanakan dan berisiko,” ujar Gizka Ayu dari SAWG dalam jumpa pers pada Kamis (10/11/2022) yang juga diikuti Konde.co.

Meski UU Kesehatan dan PP 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi telah mengizinkan aborsi bagi korban kekerasan seksual dan kedaruratan medis, masih banyak tenaga kesehatan yang menolak memberikan layanan kesehatan aborsi aman.

Lebih dari itu dalam pemantauan SAWG, kriminalisasi aborsi telah menyulut 108 vonis kriminal di seluruh Indonesia dalam kurun 2019- 2021. Kendatipun akses atas aborsi aman bagi penyintas perkosaan telah diakui UU, otorisasi akses ke informasi beserta layanannya menghadapi tantangan yang signifikan. Indonesia juga didorong untuk memperkuat perlindungan bagi kelompok minoritas gender, penguatan pendidikan seks dan aborsi aman.

Terkait kondisi ini, sejumlah organisasi sipil dan Komnas Perempuan berharap kedepan pemerintah menjalin komunikasi yang konstruktif dengan para peninjau, dan membuka diri untuk menerima berbagai masukan untuk perbaikan upaya pemajuan pemenuhan HAM termasuk dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!