The Other #MeToo: Laki-Laki Juga Bisa Jadi Korban Kekerasan Seksual

Pelecehan seksual terhadap laki-laki tidak hanya kurang dilaporkan, tapi juga cenderung diacuhkan dan tidak ditangani dengan baik, sehingga kurang terbaca oleh masyarakat umum.

Pelecehan atau kekerasan seksual terhadap laki-laki jarang terdengar, tapi sesungguhnya itu eksis dan jumlah kasusnya lebih banyak daripada yang diperkirakan.

“Bukan hanya bullying. Celana aku sering dipelorotin. Orang-orang sering menyodok bagian selangkangan aku. Aku anggap itu kekerasan. Aku percaya diri untuk bilang bahwa hampir setiap individu queer di Indonesia pernah mengalami kekerasan. Bahkan kekerasan itu terjadi dalam jangka waktu yang panjang dan dari kecil.”

Itu pengakuan Nurdiyansah Dalidjo, seorang aktivis masalah-masalah sosial. Nurdiyansah, menurut Bestha Inastan Ashila Hubbansjah, hanyalah satu dari begitu banyak laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan lembaga tempatnya bekerja, Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Bestha meyakini, korban pelecehan seksual tidak hanya laki-laki yang masuk kelompok LGBTQ+, tapi juga laki-laki heteroseksual pada umumnya.

Bestha bahkan meyakini, jumlah lelaki yang menjadi korban pelecehan atau kekerasan seksual jauh lebih banyak daripada yang tercatat resmi atau diketahui umum. Laki-laki, kata Bestha, cenderung tidak mau melaporkan apa yang dialaminya.
“Sebenarnya beberapa ahli meyakini jumlah pelecehan seksual terhadap laki-laki lebih besar data yang tercatat. Ini karena tingkat pelaporan dari kalangan laki-laki lebih rendah dibandingkan dengan yang dari kalangan perempuan. Underreported, intinya, dan ini menyebabkan kurangnya keadilan bagi laki-laki yang menjadi korban,” jelasnya.

Meski kurang dilaporkan, sebetulnya tak sedikit kasus laki-laki korban pelecehan seksual yang menyeruak ke permukaan dan menjadi santapan empuk media.

Pada April tahun 2021, contohnya. seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun berinisial FA, yang tinggal di Probolinggo, Jawa Timur, mengaku telah menjadi korban perkosaan yang dilakukan oleh seorang perempuan berinisial DAP dan berusia 28 tahun. Laporan-laporan menyebutkan, pelaku menyuruh FA datang ke rumah kontrakannya untuk membicarakan pekerjaan. Setibanya di rumah pelaku, FA dicekoki minuman keras hingga tidak sadarkan diri. Dalam kondisi tidak berdaya, FA dipaksa untuk melayani pelaku.

Pada September di tahun yang sama, seorang pegawai laki-laki KPI menjadi topik berita yang menyorot banyak perhatian karena ia mengaku menjadi korban perundungan dan pelecehan seksual. Pada bulan itu pula, seorang penyanyi dangdut lelaki ternama dibebaskan setelah menjalani tiga tahun hukuman penjara karena divonis melakukan tindakan asusila terhadap dua remaja lelaki.

Menurut Bestha, yang juga pernah menjadi peneliti di MaPPI (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia), sebuah lembaga riset di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, bentuk pelecehan itu beragam. Mulai dari chat calling; diraba; dikirimi pesan, foto atau video cabul; hingga diperkosa.

Bestha mengatakan, pelecehan seksual terhadap laki-laki tidak hanya kurang dilaporkan, tapi juga cenderung diacuhkan dan tidak ditangani dengan baik, sehingga kurang terbaca oleh masyarakat umum. Apalagi ada anggapan bahwa laki-laki memiliki peluang yang jauh lebih kecil untuk mengalami kekerasan seksual.

“Beberapa penelitian mengenai kekerasan seksual masih berfokus pada korban perempuan, sehingga data mengenai korban laki-laki hingga saat ini masih terbatas,” jelasnya.
Berdasarkan data yang masih terbatas, pelecehan seksual terhadap laki-laki sebetulnya cukup memprihatinkan.

Studi Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) baru-baru ini mengenai kekerasan seksual selama pandemi, menunjukkan tiga dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Jumlah responden studi itu sekitar 620 laki-laki.

Laporan terpisah dari IJRS dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa sekitar 33 persen laki-laki Indonesia pernah mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual.

Apa yang dihadapi anak laki-laki bahkan lebih memprihatinkan. Menurut sebuah studi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2017, anak laki-laki berusia 13-17 tahun dua kali lebih banyak mengalami kekerasan seksual daripada anak perempuan pada kelompok usia yang sama.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga mencatat fakta memprihatinkan ini. Wakil ketuanya, Livia Iskandar, mengatakan, “I would say 75 persen korban berjenis kelamin perempuan, 25 persen lainnya laki-laki. Dan 80 persen dari semua itu masih tergolong anak-anak.” Berapa jumlah kasusnya?.”
LPSK sendiri hanya memproses kasus yang berlanjut ke proses peradilan pidana. Ini artinya, jumlah korban sesungguhnya bukan tidak mungkin jauh lebih besar daripada yang tercatat. Livia sendiri mengakui, banyak korban laki-laki yang menolak meminta perlindungan dari lembaganya karena tidak ingin memperkarakan apa yang dialaminya di pengadilan.

Sebagai salah satu pendiri Yayasan Pulih, sebuah yayasan yang mengkhususkan diri dalam layanan konseling trauma, Livia sebetulnya cukup akrab dengan kasus laki-laki sebagai korban kekerasan seksual.

Ia mengatakan, budaya patriarki, di negara yang beragam seperti Indonesia, berkontribusi pada terabaikannya laki-laki yang menjadi korban. Dalam masyarakat patriarki, kata Livia, laki-laki lebih sering diposisikan sebagai pelaku dan agresor sehingga sering dianggap mustahil sebagai korban kekerasan seksual.

Livia juga menyorot toxic masculinity, sebuah mitos keliru yang pada intinya meyakini bahwa kasus laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan adalah hal yang tidak masuk akal, dan bahwa laki-laki dianggap selalu menginginkan hubungan seks sehingga mereka tidak bisa diperkosa.
Mitos itu juga meyakini laki-laki cukup kuat dan dapat melawan sehingga kejahatan perkosaan hampir tidak mungkin terjadi pada dirinya. Mitos tersebut berkontribusi pada budaya di mana pemerkosaan terhadap laki-laki seringkali diabaikan dan tidak dilaporkan.

Livia menegaskan, pelaku pelecehan seksual terhadap laki-laki tidak hanya sesama jenis tapi juga lawan jenis. Sayangnya, katanya, ada persepsi keliru yang membuat kasus ini banyak tersembunyi atau dengan sengaja ditutup-tutupi.
Masyarakat pada umumnya, kata Livia, cenderung beranggapan bahwa “seorang perempuan tidak dapat memaksa seorang laki-laki untuk melakukan hubungan seks”. Perempuan dipandang sebagai makhluk yang lemah dan pasif secara seksual, sedangkan laki-laki adalah makhluk yang lebih agresif, dan menjadi inisiator dalam hubungan seksual. Sehingga, katanya, banyak yang sulit untuk membayangkan bahwa perempuan yang lebih sering dianggap submisif memaksakan keinginannya pada laki-laki yang cenderung mencari kesempatan untuk berhubungan seks.

Anggapan itu paling tidak dibantah Prayoga, bukan nama sebenarnya, seorang karyawan bisnis periklanan. Pria berusia 29 tahun itu mengaku kepada VOA, mantan pacarnya, yang kebetulan atasan di tempatnya bekerja, telah sering memperkosanya. Pria bertubuh atletis dan sering disebut ganteng oleh teman-temannya ini, mengaku bos perempuannya itu sering memaksanya berhubungan intim dengan ancaman ia akan dipecat bila menolak. “Ini kan perkosaan,” katanya.

Prayoga akhirnya bisa mengakhiri hubungan yang toksik yang telah berlangsung selama dua tahun ini setelah berganti profesi dan pindah kota. Ia sendiri mengaku malu menceritakan masalah yang dihadapinya kepada keluarga dan teman-temannya.

Livia mengatakan, risiko yang dihadapi korban laki-laki pada intinya sama dengan yang dihadapi korban perempuan. Korban seringkali merasa lemah, tidak berharga, dan pada laki-laki, kehilangan “kejantanannya” karena tidak mampu melindungi diri. Tak sedikit yang korban mengalami depresi dan bahkan bukan tidak mungkin, melakukan bunuh diri.
Livia menegaskan pentingnya proses pemulihan bagi laki-laki yang menjadi korban. Ini, katanya, karena ada risiko besar yang sangat tidak diinginkan. “Proses pemulihan korban laki-laki harus intensif, karena ada beberapa korban yang tidak pulih sepenuhnya menjadi pelaku (tindakan serupa) di kemudian hari,” imbuhnya.

Livia mencontohkan kasus Reynhard Sinaga, seorang laki-laki asal Indonesia yang memicu kegemparan di Inggris. Reynhard dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Manchester pada September 2020 karena terbukti bersalah dalam 159 kasus pemerkosaan dan serangan seksual terhadap 48 korban laki-laki. Menurut Livia, Reynhard adalah korban pelecehan seksual pamannya ketika masih anak-anak.

Bestha dari IJRS mengatakan, tidak dapat dipungkiri bahwa kurangnya atensi publik terhadap kasus-kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki telah membatasi pengadvokasian reformasi politik hukum bagi para korban, tidak hanya di Indonesia tapi juga di berbagai belahan dunia lainnya.
Menurutnya, meski sebagian besar negara seperti Amerika Serikat telah mengadopsi peraturan perundang-undangan yang responsif gender, masih saja ada celah hukum yang mendiskriminasi korban laki-laki.
Survei yang dilakukan Plan Internasional, sebuah organisasi pembangunan dan kemanusiaan, pada tahun 2014, mendapati 21 dari 189 negara yang diamati, ternyata belum memberikan perlindungan hukum yang komprehensif bagi korban laki-laki. Pada sejumlah negara, perkosaan terhadap laki-laki tidak didefinisikan pada terminologi yang sama dengan perkosaan terhadap perempuan sehingga memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Pada beberapa negara, perkosaan terhadap laki-laki bahkan tidak dianggap sebagai delik yang dapat dipidana.

Di Indonesia, kata Bestha, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang belum mengenal istilah “kekerasan seksual,” memberikan penafsiran yang sempit terhadap laki-laki korban perkosaan. Berdasarkan Pasal 285 KUHP, contohnya, korban perkosaan haruslah seorang perempuan yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Hal serupa ditemukan pada Pasal 286 hingga Pasal 288 KUHP.

Menurut sejumlah pakar hukum, pasal-pasal itu itu dibuat dengan pemikiran bahwa pemaksaan persetubuhan terhadap laki-laki, tidak akan mengakibatkan sesuatu yang buruk atau merugikan, seperti kehamilan pada perempuan.
Selama ini, menurut Bestha, para penegak hukum kerap menggunakan Pasal 289 KUHP hingga Pasal 296 KUHP ketika menangani kasus perkosaan terhadap laki-laki dewasa. Pasal-pasal tersebut dinilai “lebih” responsif gender sebab tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, maupun sebaliknya. Kata ‘seseorang’ yang dicantumkan dalam pasal ini berlaku untuk siapa saja.

Livia lebih menyoroti istilah yang digunakan dalam KUHP terkait korban laki-laki. “Dalam KUHP yang berlaku sekarang, kalau antar laki-laki disebutnya pencabulan, bukan perkosaan. Pencabulan tentunya hukumannya lebih ringan daripada perkosaan.”

Terlepas dari diskriminasi hukum yang masih ada, Bestha mengingatkan bahwa studi-studi menunjukkan, 70 hingga 80% pelaku pelecehan atau kekerasan seksual pada umumnya adalah orang-orang yang dikenal korban.

“Mulai dari orang tua, ayah kandung, paman, kerabat, teman, pacar, guru, dan orang-orang terdekat lainnya.” [ab/uh]

(Sumber: Voice of America)

Arif Budiman

Jurnalis Voice of America/ VOA
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!