Apakah Orang Dengan Disabilitas Mental Harus Berada Di Bawah Pengampuan Atas Hak Warisnya?

Penyandang disabilitas mental bisa menolak permohonan pengampuan yang diajukan keluarga, termasuk dalam hal pengelolaan hak waris seperti diatur dalam KUH Perdata. Penolakan ini bisa dinyatakan secara langsung di muka pengadilan negeri.

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik baru ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Kalyanamitra. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya: Halo Klinik Hukum Perempuan, saya Yanti 38 tahun tinggal di Jakarta. Saya pernah berobat jalan terkait dengan masalah kesehatan mental saya sekitar 5 tahun lalu. Saya berobat sekitar 3 bulan, setelah itu saya kembali menjalani kehidupan saya seperti biasa, namun keluarga saya tetap menganggap saya dalam kondisi tidak sehat secara mental.

Pada tahun 2021 ayah dan ibu saya meninggal karena Covid, anak-anak yang ditinggalkan 5 orang, saya anak ketiga. Ketika akan dilakukan pembagian waris peninggalan orang tua saya, 2 kakak dan 2 adik saya sepakat bahwa warisan bagian saya akan dipegang oleh kakak kedua pengaturannya dan mereka sepakat akan memohonkan hak tersebut ke pengadilan, Alasan kedua kakak dan adik saya tidak membolehkan saya memegang langsung warisan bagian saya karena saya tidak terlalu sehat secara mental dan boros, padahal saya merasa sehat dan dapat mengatur keuangan sendiri.

Mohon penjelasan, bagaimana proses pengesahannya di pengadilan dan apakah saya bisa menolak? Oh iya, saya dari keluarga non muslim, mohon penjelasan juga terkait aturan pembagian warisnya bagaimana. Mohon bantuan penjelasannya, terimakasih. (Yanti, Jakarta)

Jawab: Terimakasih Yanti sudah menghubungi Klinik Hukum bagi Perempuan. Terkait dengan permasalahan waris yang dihadapi, yakni kedua kakak dan adik kamu bersepakat bahwa warisan yang menjadi hak atau bagian kamu akan dipegang dan dikelola pengaturannya oleh kakak kedua, dan akan dimohonkan penetapannya ke Pengadilan Negeri, istilahnya di dalam hukum perdata disebut sebagai permohonan penetapan “pengampuan”.

Pengampuan adalah kondisi dimana seseorang yang sudah dewasa, namun karena kondisi disabilitas mental atau fisiknya ditaruh di bawah pengawasan orang lain yang cakap hukum sehingga berkedudukan sama dengan orang yang belum dewasa. Atas dasar hal tersebut, orang yang diampu dengan keputusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap dalam bertindak. Oleh karenanya orang tersebut diberi wakil menurut undang-undang yang disebut sebagai Pengampu (curator).

Ketentuan mengenai pengampuan ini tertuang dalam Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan:

“Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila ataupun mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.”

Uraian dalam pasal tersebut dapat diartikan bahwa pengampuan adalah orang dewasa yang:

  1. pemboros;
  2. mengalami masalah disabilitas mental;
  3. Lemah jasmani atau lemah daya; dan
  4. Tidak sanggup mengurus diri sendiri.

Lalu siapa sajakah yang berhak mengajukan permintaan pengampuan? Menurut Pasal 434 KUHPer adalah: “Setiap keluarga sedarah berhak meminta pengampuan seorang keluarga sedarahnya, berdasar atas keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap”.

Mengenai prosedur normatif permohonan pengampuan di Pengadilan Negeri ketentuannya diatur dalam Pasal 436 KUHPer yang berbunyi: “Semua permintaan untuk pengampuan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya tempat berdiam orang yang dimintakan pengampuan”

Dengan demikian, permohonan penetapan pengampuan harus diajukan ke pengadilan negeri setempat dimana orang yang akan diampukan tinggal.

Berkaitan dengan pertanyaan apakah kamu dapat menolak penetapan pengampuan tersebut, maka dapat saya jelaskan bahwa tentu saja kamu bisa menolak pengampuan tersebut dan dinyatakan secara langsung di muka pengadilan negeri karena:

  1. Pengadilan selain mendengar atau memanggil dengan sah pemohon, pengadilan negeri juga akan mendengar dari orang yang dimintakan pengampuan, sekalipun orang yang dimintakan pengampuan tidak hadir di pengadilan, maka pemeriksaan akan dilangsungkan di rumah pihak yang akan diampu oleh seseorang atau beberapa orang hakim yang ditunjuk beserta panitera dan wakil kejaksaan.
  2. Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan itu terletak dalam jarak sepuluh pal dari pengadilan negeri, maka pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada kepala pemerintahan setempat. Dan pemeriksaan ini, yang tidak perlu dihadiri kejaksaan, yang tidak perlu dihadiri jawatan kejaksaan, harus dibuat berita acara yang salinan otentiknya dikirimkan kepada pengadilan negeri;
  3. Pemeriksaan tidak akan berlangsung sebelum kepada yang dimintakan pengampuan itu diberitahukan surat permintaan dan laporan yang memuat pendapat anggota keluarga.

Dengan demikian sangat jelas, bahwa permohonan keluarga (kakak dan adik) untuk menetapkan sebagai pengampu harus seizin dan sepengetahuan kamu, jika kamu tidak menginginkan untuk diampu atau menolak diampu serta ketentuan pengampuan tidak terpenuhi sebagaimana kamu jelaskan bahwa kamu sehat dan dapat mengatur keuangan sendiri, maka hakim akan menolak permohonan tersebut.

Terkait dengan pertanyaan mengenai pembagian waris perlu saya jelaskan bahwa ada tiga jenis hukum waris yang digunakan dalam pembagian warisan, yakni hukum waris Islam, hukum waris adat, dan hukum perdata atau KUHPer. Pembagian harta waris menurut hukum KUHPer merupakan cara pembagian waris yang umumnya dilakukan oleh mereka yang bukan beragama Islam. Mengenai pembagian waris antara laki-laki dan perempuan dalam KUHPer dijelaskan bahwa hak laki-laki dan perempuan dalam hal waris setara, yang artinya baik anak laki-laki maupun perempuan mendapatkan bagian waris yang jumlahnya sama atau setara.

Dengan begitu, Yanti akan mendapatkan bagian hak waris yang setara dengan saudara kandung laki-laki. Sekian dulu, semoga uraian ini dapat membantu kamu dalam menyelesaikan permasalahan keberatan atas pengampuan dan pembagian hak waris yang adil atau setara.

(Ilustrasi/foto: Freepik)

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!