Selingkuh di Kalangan Pegawai ASN, Ini Kekerasan yang Sudah Lama Dibiarkan

Ada 172 kasus perselingkuhan yang terjadi di pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) selama 3 tahun ini. Karena sudah lama dibiarkan, ini seperti perilaku yang dianggap wajar.
Konde.co dalam edisi khusus kali ini menyajikan liputan serial “kekerasan seksual di pemerintahan”

Suatu siang, seorang perempuan datang ke kantor Badan Kepegawaian Daerah di salah satu kabupaten di Sumatera Utara. 

Yang datang ini adalah istri dari salah satu pegawai Aparatur Sipil Negara/ ASN disana. Ia datang sambil menangis. Ia mengadukan perbuatan suaminya kepada kepala dinas atasan suaminya.

Perempuan ini bercerita bahwa telah lama suaminya menjalin hubungan cinta dengan seorang mahasiswa di Medan. Selain itu sang suami selama ini telah menelantarkan dirinya dan anak-anak.

Mendengar itu, Kepala dinas (Kadis) tersebut lalu mengambil langkah dengan menyetorkan langsung gaji sang suami kepada istri sahnya ini. Langkah ini merupakan kebijakan pribadi dari Kadis tersebut, dan tidak berlandaskan aturan tentang perselingkuhan di kalangan ASN.

Kisah di atas hanyalah salah satu yang mendapatkan tindakan dari pimpinan. Di luar itu, banyak kasus perselingkuhan di ASN yang akhirnya terbengkalai dan tidak menemukan solusi.

Konde.co kemudian menelusuri hal ini dan mewawancarai salah satu mantan pegawai ASN bernama I. 

Sepengalaman I, ketika menjadi ASN, model perselingkuhan baik yang dilakukan oleh sesama ASN maupun dengan pegawai sipil di luar ASN, seperti bukan hal yang tabu. Bahkan ada yang tidak sungkan menunjukkan kemesraan di depan umum, seperti makan siang berdua di kantin kantor.

“Seperti sudah jadi rahasia umum, semua orang pokoknya tahu sama tahu,” ujar I yang ditemui Konde.co

Tidak hanya dilakukan di kantor, bahkan itu juga terjadi saat sedang Diklat (pendidikan dan pelatihan ASN) di luar kota. Diklat yang biasanya dilakukan di hotel dan menginap, menjadi celah bagi ASN untuk berselingkuh, bahkan perselingkuhan itu dilakukan dengan orang yang baru dikenal di diklat.

Pernah suatu ketika, I sebagai panitia diklat pra jabatan, mendapatkan laporan bahwa salah seorang peserta melakukan upaya yang mengganggu privasi peserta perempuan dengan menanyakan nomor kamar hotel. Hal ini membuat peserta perempuan itu ketakutan dan peserta laki-laki tersebut mengatakan, jika ini cuma bercandaan. Pemahaman gender yang buruk di lingkup ASN membuat mereka tidak menyadari bahwa hal ini sudah masuk dalam kategori pelecehan seksual. 

Baca Juga: Kekerasan Seksual Pegawai Kementerian: Korban Diperkosa dan Dipaksa Menikahi Pelaku

Kisah perselingkuhan di lingkungan ASN lainnya pernah sampai menghebohkan media sosial dan media cetak lokal. Hal ini terjadi ketika pasangan dari pelaku menggerebek pelaku di hotel bersama pasangan selingkuhannya. Pasangan dari pelaku sudah mengetahui hal ini sejak lama dan melaporkannya ke polisi. Atas kejadian ini, ASN tersebut kemudian dikenai hukuman tidak boleh menerima tunjangan jabatan selama satu tahun. 

Kasus seperti ini ternyata banyak terjadi. Karena sering dibiarkan, perselingkuhan seperti ini menjadi hal yang ‘biasa’ atau diwajarkan. 

I bercerita, ketika ia sedang berkumpul dengan istri-istri pejabat ASN, mereka memiliki slogan untuk pasangan mereka yang selingkuh yaitu: “Lokma suda kecapni asalma mulak botolnya” (Ibarat botol kecap, biarlah isinya kemana-mana asalkan botolnya pulang ke rumah).

Alasan mereka beranggapan seperti itu, karena kebanyakan dari para istri pejabat ini masih menggantungkan kehidupan kepada suaminya.

Normalisasi perselingkuhan bahkan terlihat  jika sesama teman mengetahui hubungan tersebut di antara ASN, mereka memilih untuk tidak memberitahukan kepada pasangan resmi temannya, dengan alasan tidak mau ribut.

Kisah perselingkuhan di kalangan ASN ini ternyata bukan cerita baru. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menemukan dari tahun 2020-2023 terdapat sebanyak 172 pelanggaran terkait persoalan rumah tangga termasuk perselingkuhan dari total 676 pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh ASN baik di instansi pemerintah pusat maupun daerah. Jumlah tersebut belum termasuk pelanggaran sejenis yang ditangani oleh unit pengawas tiap instansi. Hal itu disampaikan Ketua KASN Agus Pramusinto pada webinar bertajuk “Perselingkuhan ASN: Cinta Terlarang, Masalah Menghadang” yang diselenggarakan oleh KASN pada Rabu (30/8/2023).

Baca Juga: Kekerasan Seksual Pejabat Negara: Bupati Maluku Tenggara Perkosa Pegawai Kafenya

Perselingkuhan yang dimaksud dilakukan sesama ASN dan ASN, juga dengan orang di luar ASN. Hasil KASN mencatat, bahwa penanganan kasus selingkuh itu cenderung lambat karena banyak benturan kepentingan, dan ada yang menganggap bahwa perselingkuhan adalah masalah pribadi, tidak boleh diurusi orang lain.

“Kami melihat ada korban yang tiga kali mengalami penyiksaan, tidak diperlakukan baik oleh pasangannya, sulit mengadu dan tak punya bukti, korban kuatir akan kena sanksi entah dipindah kerjanya atau dikucilkan oleh rekan kerjanya.”

Kendati perselingkuhan di kalangan ASN tinggi, Agus Pramusinto menyoroti lambannya penanganan kasus perselingkuhan ASN pada kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.

“Beberapa faktor penyebabnya antara lain adanya benturan kepentingan di antara para pihak yang berkepentingan dan adanya pandangan bahwa perselingkuhan merupakan persoalan pribadi,” terang Agus Pramusinto

Sejumlah pegawai ASN dalam webinar tersebut juga melakukan testimoni. Mereka mengatakan bahwa perselingkuhan di ASN terjadi karena kadang-kadang ASN dan pasangannya tidak hidup dalam satu kota, maka ASN kesepian dan selingkuh. 

Baca Juga: Melukai Kepercayaan dan Traumatis: Selingkuh Itu Menyakitkan!

Alasan lain karena ketidakharmonisan rumah tangga, atau kurangnya perhatian pasangan, lalu bertemu teman satu kantor sesama ASN, merasa cocok, dan selingkuh.

Ada ASN yang tertangkap di hotel atau berduaan di mobil. Di kabupaten kota, perceraian menjadi sangat tinggi akibat perselingkuhan ASN seperti ini.

Di Badan Kepegawaian & Pengembangan Sumber Daya Manusia atau BKPSDM Kabupaten Jember misalnya, ada sejumlah kasus perselingkuhan yang dilaporkan. Data mereka menunjukkan, 99% perselingkuhan berakhir pada proses perceraian.

Salah satu pegawai di Biro SDM Kemendikbud Ristek juga menyatakan bahwa biasanya perselingkuhan di ASN berakhir dengan perceraian.

“Rujuk itu sepertinya masih jarang terjadi.”

BKD Jawa Barat mempunyai data, tidak semuanya akan cerai karena ada yang kemudian dipertemukan atau dimediasi dan rujuk kembali.

Pangihutan Marpaung Asisten KASN dalam webinar ini mengusulkan, dengan banyaknya yang selingkuh, maka aturan harus ditegakkan.

Baca Juga: Bagaimana Memperjuangkan Pegawai Perempuan dalam Lembaga Birokrasi?

Tentang PNS, Pangihutan menyatakan bahwa ada aturan soal ini yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983, Jo PP nomer 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS, dan Surat Edaran Kepala BAKN nomer 08/SE/1983 dan nomor 08/SE/1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Di aturan ini ada syarat untuk PNS atau ASN, jika mereka mau bercerai ada persyaratannya,  misalnya salah satu zinah, penjudi, pemabuk, pergi 2 tahun dan tidak memberikan nafkah. Ada beberapa PNS yang melakukan perceraian tanpa izin, dan langsung ke pengadilan

“Ini yang perlu kita sampaikan, bahwa perceraian ada syaratnya, dan tidak semua harus dikabulkan.”

Jika perceraian dilakukan atas kehendak suami, maka gaji harus dibagi pada istri dan anak. Gaji ini juga bukan gaji pokok, tapi seluruh penghasilan. Namun jika perceraian terjadi atas kehendak istri, istri tak berhak mendapatkan penghasilan dari bekas suami.

Data Pelanggaran Nilai Dasar, Kode Etik, Kode Perilaku ASN berupa Perselingkuhan
Sumber: KASN

Pelecehan Seksual di Lingkungan ASN

Sebenarnya tak hanya perselingkuhan, namun pelecehan seksual juga kerap terjadi di tempat ASN kerja. 

Seorang saksi yang lain juga menghubungi Konde.co dan menuliskan soal pelecehan seksual yang kerap terjadi di lingkungan ASN.

“Hari senin adalah jadwal rutin kantor melaksanakan rapat mingguan. Hari itu menjadi satu-satunya hari di mana seluruh pegawai lengkap bertemu di kantor karena di hari lain, sebagian besar pegawai melaksanakan dinas di luar kota. Biasanya di rapat itu dibahas kegiatan yang akan dilaksanakan di minggu tersebut, evaluasi kegiatan minggu sebelumnya, dan rencana kegiatan untuk minggu depan.

Suatu hari si kepala bagian bertanya kepada pegawai perempuan yang sudah menikah, kenapa ia masih belum punya anak, padahal sudah beberapa lama menikah. Pegawai yang ditanya menjawab seadanya, pegawai lain yang ada di ruangan (laki-laki, tentu saja), tertawa terbahak-bahak. Ada lontaran “bercandaan” kepada pegawai perempuan tersebut apakah ia butuh “bantuan”. Mereka tertawa lagi.

Baca Juga: LBH APIK: Dari 200 Korban KDRT, Hanya 4 Yang Berani Lapor Polisi

Di hari lain, si kepala bagian bertanya kepada pegawai lain, pertanyaan yang sama, bedanya ia bertanya kepada pegawai laki-laki. Pegawai yang ditanya menjawab seadanya, si kepala bagian bilang, “kenapa ia tidak perkasa.” Di hari lain, si kepala bagian bertanya kepada pegawai yang memakai jaket di ruangan rapat, pegawai tersebut menjawab bahwa ia tidak terlalu kuat dengan ruangan dingin yang ber-AC.

Anda tahu si kepala bagian bilang apa? Dia bilang pegawai tersebut harus segera menikah agar mendapatkan “kehangatan”. Lagi-lagi, semua pegawai laki-laki tertawa. Di kantor saya, bercandaan cabul seperti itu, menjadi sangat normal. Saking normalnya, ketika para pegawai lelaki berkumpul, maka arah pembicaraannya selalu mengarah ke sana. Saya pernah membahas ini dengan pegawai perempuan lain, katanya, ini menjadi normal karena para pegawai lelaki problematis itu tidak pernah ditegur.”

Aktivis perempuan, Siti Mazuma dari Forum Pengada Layanan (FPL) menyatakan bahwa jika membaca laporan 3 tahun dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), ia menyatakan sangat prihatin sekali. Ada 172 kasus yang melapor. Bisa dibayangkan berapa banyak lagi yang tidak melapor.

“Saya juga yakin kasus yang tidak dilaporkan lebih banyak lagi. Harus ada tindakan tegas. Selain KASN, bisa melaporkan ke atasan. Dalam perselingkuhan ada penelantaran terhadap istri dan anak atau bahkan KDRT.”

Baca Juga: Perjanjian Pra-nikah Bukan Cuma Soal Cinta Pasangan, Tapi Juga Menghindari KDRT

Menurut Siti Mazuma, upaya yang bisa dilakukan antara lain yaitu korban harus berani laporkan suami yang berselingkuh ke instansi kerjanya, laporan ke kepolisian jika terdapat tindak pidana KDRT dan bisa menggunakan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ PKDRT dan UU perlindungan anak, dan juga mencari lembaga yang bisa mendampingi

“Institusi kerja dari suami bisa saja melindungi. Berangkat dari ketidakpercayaan kepada instansi publik inilah maka harus mencari lembaga lain seperti Komnas Perempuan, LBH dll,” kata Siti Mazuma.

Siti Mazuma menyatakan bahwa perselingkuhan jarang dilaporkan karena stigma bahwa jika perselingkuhan terjadi, yang akan disalahkan adalah pasangannya. Selingkuh juga bisa dianggap sebagai aib jika diceritakan. Maka suami bisa menggunakan stigma itu untuk bebas berselingkuh.

Catatan Komnas Perempuan soal Kekerasan Terhadap Istri

Terkait kasus perselingkuhan, laporan pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan tertulis dalam konteks kekerasan terhadap istri (KTI). 

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi ketika diwawancara Konde.co menjelaskan, umumnya pengadu adalah istri yang mengalami KTI, salah satu bentuknya adalah perselingkuhan.

“Perselingkuhan itu biasanya jadi background dari terjadinya kekerasan fisik,” ujar Aminah.

Para istri yang mengadu biasanya minta dukungan ke Komnas Perempuan terkait penyelesaian kasus kekerasan yang dialami.

“(Mereka) minta ke Komnas Perempuan biasanya support pada konteks hak-hak dia sebagai istri yang misalnya mengajukan perceraian atau diceraikan. Termasuk kalau (kasus) itu diadukan ke kepolisian atau ditangani dalam konteks kode etik, itu meminta dukungan Komnas Perempuan,” jelasnya.

Catatan Tahunan yang dihimpun Komnas Perempuan selama 21 tahun menunjukkan, lebih dari 5% dari pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah pejabat publik dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Profesi yang seharusnya jadi panutan dan pelindung.

Profesi Pelaku/Terlapor
Sumber: Komnas Perempuan

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi juga menjelaskan bahwa perselingkuhan merupakan kekerasan psikologis yang dapat memicu terjadinya bentuk-bentuk kekerasan lain. Seperti kekerasan fisik, seksual dan ekonomi.

Ada kecenderungan publik secara umum melihat isu perselingkuhan sebagai perseteruan antara sang istri dengan perempuan lain yang menjadi selingkuhan. Sikap publik biasanya lebih “membela” istri dan menyalahkan perempuan selingkuhannya. Ini lazimnya dilakukan dengan memberi label seperti pelakor (perebut laki orang) pada perempuan yang menjadi selingkuhan.

Menurut Siti Aminah, dengan menggunakan analisis bahwa perempuan akan membantu kita untuk tidak terjebak, kemudian menimpakan kesalahan hanya pada perempuan, padahal seharusnya melihat posisi laki-laki sebagai pihak yang bersalah.

Ia menegaskan pada kasus perselingkuhan, Komnas Perempuan menghindari kerangka berpikir perempuan versus perempuan. Dalam arti istri pertama “dipertentangkan” dengan perempuan yang jadi selingkuhan. Pasalnya perselingkuhan terjadi karena si laki-laki tidak mampu menahan diri, sehingga tidak bisa kemudian kesalahan ditimpakan pada istri pertama ataupun perempuan lainnya.

Baca Juga: Perselingkuhan: Menghadapkan Perempuan Vs Perempuan, Peran Laki-Laki Terlupakan

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya kemungkinan perempuan yang menjadi istri simpanan, istri siri, istri kedua, ketiga, atau keempat mengalami manipulasi, tipu daya, atau kekerasan seksual. Situasi ini kemudian membuat perempuan tersebut dieksploitasi. Jadi perselingkuhan tidak selalu dilakukan dengan persetujuan penuh dari kedua belah pihak.

“Bisa jadi perempuan selingkuhan itu juga ditipu, dieksploitasi, dimanipulasi atau disesatkan,” terangnya.

Sementara terkait aturan yang menyatakan melarang ASN perempuan untuk menjadi istri kedua, ketiga dan keempat, ini berkebalikan dengan ASN laki-laki.  Aminah mengatakan call tertinggi Komnas Perempuan terkait perkawinan adalah monogami baik laki-laki maupun perempuan.

Asas perkawinan di Indonesia adalah monogami terbuka mengingat undang-undang membolehkan poligami dengan pembatasan.

“Menurut kami sama halnya seperti kami bilang, poligami itu adalah kekerasan terhadap istri. Ya, prinsipnya adalah perkawinan itu monogami,” tegasnya.

Selain itu menurut Aminah dapat dibilang ASN ibaratnya punya privilese dalam struktur sosial masyarakat. Pertimbangan lain adalah pada dasarnya ASN harus memberikan contoh atau teladan. 

Sulitnya Pembuktian Perselingkuhan

Tantangan penanganan kasus perselingkuhan, baik secara administratif melalui KASN maupun secara prosedur hukum lewat kepolisian, salah satunya adalah soal pembuktian.

Siti Aminah menjelaskan, perselingkuhan merupakan kekerasan psikologis. Pembuktian kekerasan psikologis dinilai masih sulit karena aparat penegak hukum masih kesulitan melihat indikatornya. Beda dengan kekerasan fisik yang pembuktiannya menggunakan visum et repertum.

“Mungkin istrinya tidak dipukul, ya kan? Tapi didiemin atau tidak melakukan aktivitas seksual, atau misalnya ditelantarkan. Nah, ini yang pembuktiannya masih sulit karena para penegak hukum masih menilai kekerasan psikologis itu seperti apa indikatornya,” terang Aminah.

Ia menambahkan, “Misalnya membuat tidak berdaya itu yang seperti apa? Itu kesulitan di dalam pembuktian kekerasan psikologis, termasuk dampaknya terhadap korban,” paparnya.

Hal serupa juga ditemui oleh Asisten Komisioner KASN Bidang Nilai Dasar, Kode Etik, Kode Perilaku dan Netralitas ASN, Iip Ilham Firman dalam penanganan laporan perselingkuhan yang masuk ke KASN. Dalam penanganan kasus, KASN punya kewenangan melakukan penyelidikan atau investigasi hingga mengeluarkan putusan ada tidaknya pelanggaran. Namun kesulitan untuk mendapatkan bukti dirasakan Iip terutama pada kasus perselingkuhan seperti nikah siri.

“Tantangannya adalah menemukan bukti bahwa si ASN bersalah. Itu juga nggak gampang, macam misalnya nikah siri kan susah membuktikannya. Apalagi kalau misalnya si perempuan dan laki-laki ini nggak ngaku,” kata Iip.

Baca Juga: Jika Pasangan Selingkuh, Kita Harus Bertahan atau Pergi

Karena itu untuk menghadapi hal seperti ini, Iip mengungkapkan pihaknya sering melakukan koordinasi dengan kepolisian. Mereka mencari solusi bagaimana menyikapi persoalan-persoalan tersebut.

“Karena kan kepolisian sudah berpengalaman ya menangani hal-hal seperti ini. Jadi kita sering mengadakan pertemuan dengan mereka untuk mencari solusi-solusi seperti ini,” ujarnya.

Tantangan lain adalah anggapan bahwa perselingkuhan termasuk di dalamnya KDRT dan kekerasan terhadap istri (KTI) bukanlah hal yang penting. Pandangan semacam ini menurut Iip keliru. Imbasnya kemudian kasus perselingkuhan dianggap tidak perlu ditangani.

“Ada pandangan yang menurut kami kurang tepat, yang menganggap bahwa perselingkuhan adalah kasus pribadi. Jadi nggak usah ditangani, itu kan salah ya,” papar Iip.

Situasi ini menurut Iip berujung pada komitmen terhadap penanganan kasus menjadi rendah.

Adanya anggapan bahwa perselingkuhan adalah urusan pribadi juga disampaikan Deputi IV Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK).

Baca Juga: Cangkir Kopi yang Tak Sama: Trauma Relasi Toksik yang Sulit Hilang

Deputi IV Kemenko PMK Woro Srihastuti Sulistyaningrum yang biasa disapa Lisa mengatakan ada anggapan dan pertanyaan-pertanyaan yang biasa muncul terkait kasus perselingkuhan.

“(Ada yang) mengatakan bahwa perselingkuhan itu kan hal pribadi ya, kenapa harus repot-repot ngurusin hal-hal yang sifatnya pribadi? Memang seberapa jauh kita harus mengurus hal-hal yang sifatnya pribadi? Ada pertanyaan-pertanyaan seperti itu,” ujar Lisa kepada Konde.co yang ditemui di kantornya pada Jumat (27/10/23).

Lisa mengungkapkan, ketika seorang ASN melakukan perselingkuhan mau tidak mau kinerja pegawai itu akan terpengaruh. Apalagi kalau digunjingkan oleh rekan-rekan kerjanya sehingga muncul perasaan tidak nyaman di lingkungan kerjanya yang akhirnya berpengaruh pada kinerjanya.

Selain itu tindakan tersebut juga akan berpengaruh pada nama baik institusi atau lembaga tempatnya bekerja. Jadi ada dampak yang muncul baik pada individu maupun institusi dari tindakan perselingkuhan, paparnya.

Dalam konteks penyelesaian secara hukum, situasi serupa juga disampaikan Aminah. 

“Kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap itu wilayah personal yang bisa diselesaikan oleh pasangan suami istri itu sendiri,” ujar Siti Aminah.

Akibatnya kasus-kasus KDRT yang diadukan banyak yang tidak naik ke pengadilan. Bahkan istri kemudian mencabut laporannya di kepolisian, berdamai atau memilih bercerai.

Lemahnya Penegakan Hukum dan Perlunya Perubahan Aturan

Larangan perselingkuhan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 dan PP Nomor 45 tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS. Tapi aturan tersebut tidak menggunakan istilah perselingkuhan, melainkan larangan untuk hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah.

Sementara soal sanksi atas larangan perselingkuhan diatur dalam PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS. Sanksinya masuk kategori hukuman disiplin berat. Jenis hukuman ini terdiri dari: (a) penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan. (b) Pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan. Atau (c) pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.

Aturan tentang Larangan Perselingkuhan Bagi ASN

Iip Ilham Firman berpendapat perlu ada perubahan regulasi terkait perselingkuhan. Pasalnya aturan yang ada belum memasukkan istilah perselingkuhan dan nikah siri. Jadi perlu ada penyesuaian dengan perkembangan zaman.

“Tahun 1990 itu belum ada istilah selingkuh. Seingat saya zaman itu istilahnya menyeleweng ya. Dan di PP 45 yang dikenal itu istilahnya hidup Bersama. Jadi menurut kami perlu ada perubahan regulasi yang bisa lebih adaptif dengan perkembangan zaman. Nikah siri kan juga tidak ada bahasanya di situ,” papar Iip kepada Konde.co di kantornya Jumat (20/10/23).

Baca Juga: Istri TNI Bersuara: Suami Saya Poligami dan KDRT, Tapi Pengadilan Militer Melepaskannya

Perubahan regulasi ini menurut Iip merupakan tugas Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB). Pasalnya kewenangan KASN hanya melakukan pengawasan. Webinar yang digelar KASN yang mengungkapkan data soal 172 pelanggaran terkait permasalahan rumah tangga termasuk perselingkuhan adalah upaya memberikan masukan untuk Kementerian PANRB.

Sedangkan untuk sanksi, Iip menilai aturan yang ada juga belum sepenuhnya memberikan efek jera.

“Kalau cuma setahun saya dibebastugaskan dari jabatan, itu nggak lama, mbak. Sementara mungkin persoalan itu belum selesai (dalam) setahun. Jadinya tidak memberikan dampak yang besar bagi si ASN-nya,” terang Iip.

Ia juga mengungkapkan adanya kecenderungan pimpinan instansi yang umumnya masih lunak dalam penerapan sanksi terhadap ASN yang menjadi terlapor. Biasanya mereka akan memilih hukuman yang paling ringan dari hukuman disiplin berat yang direkomendasikan KASN.

“Misalnya terlapor nikah siri, menelantarkan, dan banyak sekali kesalahannya, tetapi sanksi yang dipilih yang pertama tadi, hanya diturunkan jabatan selama setahun. Mereka (pimpinan instansi) bukan misalnya membebaskan dari jabatan selama setahun. Jadi di situ bisa menjadi preseden buruk bagi ASN secara keseluruhan dan kurang mendapatkan efek jera. Itu yang kami lihat,” papar Iip.

Baca Juga: Aku, Anak Dari Keluarga Poligami

Sanksi terhadap instansi yang tidak tegas dalam upaya penanganan kasus dan penerapan sanksi juga menjadi kewenangan Kementerian PANRB. Sayangnya upaya tersebut belum terlihat.

“Sampai saat ini upaya-upaya itu menurut kami belum terlihat,” ujarnya.

Penerapan sanksi yang tidak tegas oleh instansi pemerintah ini juga dibenarkan oleh Deputi IV Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Dari pengalamannya tanpa spesifik menyebut nama kementerian, Srihastuti Sulistyaningrum atau Lisa membeberkan hal tersebut.

“Ada sanksi tetapi tidak keras gitu ya sanksinya. Karena ada berbagai kepentingan-kepentingan, mungkin karena mereka punya jabatan tertentu dan sebagainya. Ini yang terjadi di kementerian itu,” ujarnya kepada Konde.co di kantornya pada Jumat (27/10/23).

Menurutnya, seharusnya penanganan kasus perselingkuhan dikembalikan kepada regulasi yang ada. Penerapan sanksi mestinya merujuk pada aturan.

“Sebenarnya regulasinya sudah ada ya. … Kalau misalnya ada bukti yang kuat bahwa memang terjadi perselingkuhan, sebenarnya sudah ada regulasi untuk memberikan sanksinya. Seperti menurunkan jabatan selama 12 bulan dan beberapa sanksi lain,” papar Lisa.

Baca Juga: Aku, Anak Dari Keluarga Poligami

Karena itu penegakan aturan menjadi penting. Menurutnya ini akan memberikan kenyamanan bagi pihak yang dirugikan dalam kasus perselingkuhan, siapapun itu. Sayangnya penegakan hukum ini masih jadi pekerjaan rumah.

“Cuma memang yang menjadi tantangan kita adalah bagaimana kita bicara tentang penegakan hukum terkait perselingkuhan di kementerian/lembaga,” ujarnya.

Selain aturan yang bersifat administratif seperti dipaparkan di atas, perselingkuhan juga bisa kena pasal pidana kalau ada persetubuhan. KUHP sendiri tidak mengatur secara tegas tentang istilah perselingkuhan. Tapi di KUHP yang masih berlaku maupun di UU Nomor 1/2023 tentang KUHP baru yang akan berlaku pada 2026, perselingkuhan yang dilakukan dengan persetubuhan dapat dikenakan pasal perzinaan (overspel).

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menjelaskan, dalam konteks pidana, perselingkuhan bisa dikenakan pasal 279 KUHP tentang kejahatan terhadap perkawinan dan pasal 284 KUHP tentang perzinaan.

Ia menambahkan pasal perzinaan berlaku kalau salah satu pihak terikat pada perkawinan. Selain itu delik perzinaan merupakan delik aduan absolut, artinya yang boleh mengadu hanya suami atau istri yang dirugikan. Jadi tidak bisa dituntut kalau tidak ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.

Baca Juga: Sikap Orang Muda terhadap KUHP: Banyak Pasal Bermasalah dan Tidak Berkeadilan

Pada KUHP yang baru ada sejumlah perluasan terkait pasal perzinaan. Pasal ini juga berlaku bagi setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan siapapun sepanjang bukan suami atau istrinya. Pihak yang dapat mengadu juga diperluas. Meliputi bukan hanya suami atau istri bagi yang terikat perkawinan tapi juga orang tua dan anaknya bagi yang tidak terikat perkawinan.

Pada KUHP lama pasal perzinaan diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. Sedang pada KUHP baru ancamannya pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak 10 juta rupiah.

Pasal 279 KUHP disebut juga dengan tindak pidana bigami. Ancaman pidana berlaku kalau seseorang melangsungkan perkawinan padahal dia sudah terikat dengan perkawinan sebelumnya. Begitu juga dengan seseorang yang mengadakan perkawinan padahal dia tahu pasangannya sudah terikat perkawinan dengan pihak lain. Ancaman hukumannya pidana penjara paling lama lima tahun.

Pada kasus perselingkuhan yang diikuti dengan tindakan kekerasan yang lain misalnya KDRT, Komnas Perempuan mendorong penyelesaian secara hukum. Pasal-pasal dalam UU PKDRT dapat dipakai. Menurut Siti Aminah, ketentuan dalam pasal-pasal tersebut sudah mencukupi untuk mengatur soal perselingkuhan kalau aturan itu benar-benar dilaksanakan.

“Jadi sebenarnya secara hukum kalau itu saja diterapkan dan diketahui oleh publik, itu cukup kok,” ujar Aminah kepada Konde.co Jumat (20/10/23).

Baca Juga: 19 Tahun UU Penghapusan KDRT, Perempuan Masih Marak Jadi Korban

Ia menambahkan aturan tentang sanksi terhadap perselingkuhan punya cukup kekuatan. “Punya (kekuatan), dan (sanksi) itu sebenarnya ditakuti karena ditakuti makanya (dilakukan) sembunyi-sembunyi,” katanya.

Meski begitu menurutnya ada aturan yang perlu diubah yakni terkait dengan pemberhentian atau pemecatan ASN. Pasal 87 ayat (2) UU ASN Nomor 5/2014 menyebutkan PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana.

Karena itu ASN yang melakukan perselingkuhan, KDRT atau kekerasan seksual dan dipidana kurang dari 2 tahun, tidak bisa diberhentikan dengan tidak hormat.

‘Ketentuan ini juga yang menyebabkan pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi susah dipecat karena nggak bisa diberhentikan dengan tidak hormat,” terang Aminah.

Ini lantaran pelaku hanya mendapat hukuman pidana penjara kurang dari 2 tahun, seperti kasus kekerasan seksual di Palangkaraya. Hal yang sama juga banyak terjadi pada kasus-kasus KDRT.

Masih banyak pekerjaan rumah untuk perubahan regulasi ASN ini.

Anita Dhewy dan Luviana

Redaktur Khusus dan Pemimpin Redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!