Konde.co menyajikan Edisi Khusus Feminisme yang bisa kamu baca setiap Senin, selama bulan November 2022 sampai Januari 2023. Edisi khusus ini berisi teori sekaligus perjuangan feminisme. Edisi ini merupakan bagian dari Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2022
Buku The Second Sex karya Simone de Beauvoir yang terbit pertama kali pada 1949 kemudian memunculkan banyak perdebatan. Perdebatan ini terjadi tak hanya di Prancis, tetapi juga di negara-negara lain.
Pemerintah Uni Soviet kala itu (sekarang Rusia) dan Spanyol memasukkan buku ini dalam indeks buku terlarang. Bahkan Gereja Katolik mengutuk buku tersebut serta memasukkannya dalam daftar buku terlarang. Pelarangan atas buku ini terus berlanjut hingga kebijakan pelarangan buku dihapus oleh Vatikan pada 1966 atau sesudah Konsili Vatikan II yakni setelah terjadi sejumlah perombakan dalam tubuh gereja.
Meski begitu The Second Sex—yang menganalisis situasi perempuan di dunia Barat baik dalam konteks masyarakat saat itu maupun sepanjang sejarah—dianggap sebagai karya terobosan filsafat feminis. Buku ini juga mempengaruhi gerakan perempuan internasional tahun 1960-an dan 1970-an.
Simone de Beauvoir antara lain menyerukan dukungan atas penggunaan kontrasepsi dan aborsi, pemulihan homoseksualitas feminin, menyoroti kekerasan dalam hubungan seksual, dan menggugat mitos tentang naluri keibuan, feminitas dan maternitas.
Feminisme Eksistensialis pada dasarnya menjelaskan bahwa penindasan perempuan tertanam dalam ‘keliyanan’ perempuan.
Aliran feminisme ini sekaligus menekankan konsep tentang situasi perempuan, kebutuhan akan kebebasan perempuan, hubungan interpersonal dan pengalaman tubuh perempuan, yakni penindasan seksual masyarakat patriarki.
Beauvoir tidak sepakat dengan penjelasan dari sudut pandang biologi, psikoanalisis dan ekonomi atas inferioritas dan keliyanan perempuan. Biologi dapat menjelaskan peran reproduksi jantan dan betina yang berbeda. Namun menurut Beauvoir fakta biologis tersebut tidak dapat membuktikan mitos sosial bahwa kapasitas perempuan untuk menjadi Diri secara intrinsik memang lebih rendah daripada laki-laki.
Ia juga tidak sependapat dengan para pemikir Freudian yang menjelaskan keliyanan perempuan dengan berpijak pada fakta bahwa perempuan tidak memiliki penis. Beauvoir menolak gagasan yang mengatakan bahwa anatomi perempuan telah menempatkan perempuan sebagai manusia dan warga negara kelas dua.
Menurut Beauvoir, perempuan “mencemburui” mereka yang memiliki penis karena sejumlah keuntungan baik material maupun psikologis yang dipunyai pemilik penis. Dengan kata lain perempuan merupakan liyan bukan karena mereka tidak mempunyai penis, tetapi karena perempuan tidak memiliki kekuasaan.
Sementara itu penjelasan Marxis atas alasan perempuan menjadi liyan menurut Beauvoir juga tidak lengkap sama seperti penjelasan Freud.
Lebih jauh Beauvoir tidak setuju dengan Engels dan berpendapat bahwa perubahan dari kapitalisme ke sosialisme tidak serta-merta mengubah relasi perempuan dan laki-laki karena akar opresi terhadap perempuan lebih dari sekadar faktor ekonomi. Melainkan yang lebih utama adalah faktor ontologis.
Beauvoir berpendapat perempuan diposisikan sebagai yang lain atau liyan dalam masyarakat. Laki-laki adalah Diri (superior) sedang perempuan adalah yang lain (inferior). Dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, perempuan selalu didefinisikan dalam hubungannya dengan laki-laki sebagai sesuatu yang tidak penting, sedang laki-laki sebagai yang esensial.
Perempuan dipandang tidak penting karena selama ini ia dianggap bergantung pada laki-laki, bukan sebagai dirinya sendiri. Sebagaimana diungkapkan Beauvoir, perempuan adalah: “yang insidental, yang tidak penting sebagai lawan dari yang esensial. Laki-laki adalah subjek, dia adalah yang Mutlak – perempuan adalah yang lain.”
Sebagai yang lain, perempuan tidak hanya dianggap inferior tetapi juga didefinisikan sebagai yang aneh, yang tidak dapat dipahami, asing, kadang-kadang berbahaya dan misterius. Lebih jauh dalam pandangan laki-laki, perempuan pada dasarnya hanyalah makhluk seksual.
Beauvoir mengacu pada filsuf Jerman Hegel, bahwa diri hanya dapat mendefinisikan dirinya atas apa yang bukan dirinya, ia menempatkan dirinya bertentangan dengan sesuatu yang bukan dirinya, yaitu yang lain. Dialektika ini dikenal sebagai dialektika tuan-budak Hegel. Dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan, jelas bahwa laki-laki dipandang sebagai tuan, sedang perempuan sebagai budak (Bornedal n.d.).
Terkait situasi ini, Simone de Beauvoir mencari jawaban mengapa perempuan meskipun diposisikan sebagai inferior tetapi tidak menolak atau melawan? Mengapa perempuan tidak mempermasalahkan kekuasaan laki-laki? Sementara tidak ada subjek yang secara sukarela bersedia menjadi objek. Karena itu dari mana datangnya kepatuhan pada diri perempuan?
Kita bisa melihat pada kelompok tertindas lainnya seperti misalnya kelompok buruh/kaum proletariat dalam sejarah perjuangan kelas. Mereka menciptakan identitas kelas sehingga kemudian memandang diri mereka sebagai kelompok yang ditindas. Dengan kata lain mereka berbagi kondisi yang sama melawan penindas mereka.
Beauvoir berpendapat bahwa perempuan tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai kelompok yang menentang penindas laki-laki dikarenakan perempuan hidup bersama penindasnya. Perempuan tidak memandang dirinya sebagai seseorang yang berdiri melawan penindas seperti yang dilakukan oleh budak atau buruh/pekerja, misalnya. Perempuan tidak membentuk sebuah kelompok untuk bersama-sama melawan pasangan atau suami mereka. Sebaliknya, mereka hidup diantara laki-laki, terikat lewat tempat tinggal, pekerjaan rumah tangga, kondisi ekonomi dan status sosial pada laki-laki tertentu—ayah atau suami—lebih kuat dibandingkan dengan perempuan lain.
Penjelasan lain dari penerimaan perempuan atas posisinya sebagai yang lain atau perannya sebagai yang tertindas adalah apa yang disebut Beauvoir sebagai “kesetaraan abstrak”. Di dalam keluarga perempuan merasa sama dengan laki-laki. Sebagai istri perempuan menikmati hak istimewa yang sama seperti laki-laki di dalam keluarga.
Tetapi menurut Beauvoir, kesetaraan sebagai ibu, pasangan atau istri bukan merupakan kesetaraan yang nyata. Ia menyebutnya sebagai kesetaraan abstrak, yang bertentangan dengan ketidaksetaraan yang sebenarnya atau yang ada. Kesetaraan abstrak terkait dengan situasi yang ada dalam rumah atau keluarga, dimana perempuan menikmati penghormatan sebagai ibu dan istri. Sementara ‘ketidaksetaraan yang ada’ terkait dengan masyarakat secara keseluruhan, dimana diskriminasi seksual masih ada.
Bisa jadi ada yang berargumen bahwa represi semacam ini menguntungkan perempuan dan mereka mungkin menginginkannya. Mungkin ada perempuan yang lebih senang tinggal di rumah, mengurus keluarga dan rumah daripada bekerja di luar rumah. Namun Beauvoir membantahnya, jika perempuan dikutuk untuk hidup dalam stagnasi, sesungguhnya mereka juga dirampok kebebasannya sebagai manusia.
Menurut Beauvoir, manusia pada hakikatnya bebas, eksistensinya dicirikan dengan kemampuannya untuk memilih. Ini disebut Beauvoir sebagai transendensi. Jika tidak menerima atau memilih kebebasan ini, manusia jatuh kembali ke ‘imanensi’.
Jika seorang perempuan misalnya menerima penindasan, artinya dia hidup dalam imanensi atau stagnasi. Dalam situasi ini perempuan selalu dipaksa untuk menerima status sebagai yang lain.