Sebagai seorang pakar dalam monarki Inggris kontemporer, saya menonton tiga episode pertama serial dokumenter Netflix baru tentang Duke dan Duchess of Sussex, Harry & Meghan, dengan seksama.
Yang paling terlihat dalam serial tersebut adalah bagaimana gender, ras, dan kelas sosial Meghan dibenturkan dengan tindakannya, baik oleh media maupun oleh “The Firm” (“Perusahaan” – sebutan tidak resmi untuk monarki Inggris dan para stafnya yang menggambarkan kerajaan sebagai bisnis) itu sendiri.
Seperti halnya wawancara mereka dengan Oprah pada 2021, film dokumenter ini menjadi wadah bagi pasangan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban pada monarki atas perlakuannya terhadap mereka. Pengungkapan terkait kerajaan semacam ini berisiko merusak martabat monarki, karena menyoroti apa yang terjadi “di balik layar” di sebuah institusi yang bergantung pada pesona dan keagungan untuk mempertahankan citranya.
Patriarki dan tubuh perempuan
Trauma yang dialami Putri Diana selama menjalani kehidupannya sebagai anggota keluarga kerajaan telah dipublikasikan dengan baik selama beberapa dekade, termasuk melalui film dokumenter Panorama . Diana menceritakan kisahnya sendiri lewat dokumenter ini pada 1995.
Seperti Meghan, Diana berbicara tentang kesehatan mentalnya dan kurangnya dukungan dari kerajaan. Serial Harry & Meghan juga membandingkan antara Diana dan Meghan, dan menyebutkan bahwa keduanya sama-sama diburu oleh paparazzi sepanjang kehidupan kerajaan mereka. https://www.youtube.com/embed/2rlVhiXlcHU?wmode=transparent&start=0 The trailer for Harry & Meghan.
Meghan bercerita tentang “beberapa laki-laki yang duduk di mobil sepanjang waktu” di luar rumahnya, menunggunya keluar. Di situasi lainnya, menurut Meghan, ini sudah termasuk menguntit. Namun, seperti yang kerap Meghan tekankan, gender memainkan peranan di sini. Selebriti seperti Britney Spears juga telah banyak angkat bicara tentang tekanan yang dialami perempuan akibat gangguan media.
Para perempuan selebriti ini dilingkupi nilai ekonomi yang melibatkan banyak industri, mulai dari bedah kecantikan hingga merek fesyen, yang diuntungkan dari eksploitasi paparazzi. Tubuh Britney Spears, misalnya, memiliki nilai ekonomi tersendiri karena foto-foto tentang dirinya yang diambil oleh paparazzi bisa memiliki nilai jual yang tinggi.
Bagi perempuan yang menjadi anggota kerajaan, ada pakem penting yang harus mereka ikuti. Monarki bergantung pada tubuh perempuan untuk kepentingan reproduksi – yaitu melahirkan penerus takhta.
Tubuh perempuan kerajaan dipuja sebagai alat reproduksi bangsa, karena mereka melahirkan “simbol” berikutnya dari identitas British. Ini juga menjadi penjelasan makna tersembunyi di balik pertanyaan dari keluarga kerajaan tentang warna kulit Archie – mereka menanyakan terlihat seberapa “British” (atau lebih tepatnya, seberapa putih) bayi Harry dan Meghan tersebut.
Ini bukan hanya tentang pakaian dan branding, tetapi tentang bagaimana tubuh perempuan kerajaan memiliki makna yang menghubungkan femininitas dengan bangsa. Ini jelas merupakan institusi patriarki – memanfaatkan tubuh perempuan demi kepentingan institusi belaka.
Politik kehormatan
Seperti yang ditampilkan dalam serial dokumenter tersebut, bagi Meghan ini bukan hanya tentang gender. Ras dan kelas sosial juga ikut menjadi tekanan baginya. Judul-judul berita tentang dirinya, seperti “(Almost) Straight Outta Compton” yang ditulis oleh Daily Mail juga disebut dalam serial tersebut sebagai bukti adanya rasisme dalam peliputan mengenai pasangan itu di masa-masa awal hubungannya dengan Harry.
Meghan juga memaparkan bahwa pihak kerajaan terlihat tidak nyaman dengan karir aktingnya. Menurutnya, kerajaan membuat asumsi-asumsi tertentu tentang Hollywood dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya. Akting dipandang sebagai profesi yang terlalu déclassé (status sosial yang rendah) untuk menikah dengan keluarga kerajaan, meskipun monarki sendiri menampilkan dirinya layaknya industri selebritas.
Di sekitar waktu pernikahan mereka, tabloid-tabloid juga memberitakan keluarga ayah Meghan (Thomas Markle) dengan mengungkit tentang narasi “white trash” atau sampah putih, di Inggris dikenal dengan istilah “chav” – julukan rasis terhadap ras kulit putih yang miskin atau dari kelas pekerja yang hina.
The Daily Mail memberitakan bahwa bibi dan sepupu Meghan, yang tidak diundang ke pesta pernikahannya, ikut merayakannya dengan mengenakan kardus warna coklat di salah satu kedai Burger King, restoran cepat saji yang lekat dengan stereotip kelas pekerja. Apa yang tengah mereka makan saat itu sangat dikontraskan dengan hidangan yang di saat yang sama sedang dinikmati oleh para bangsawan yang menghadiri pernikahan Harry dan Meghan di Windsor.
Pakar yang fokus pada studi mengenai orang-orang kulit hitam, seperti Brittney Cooper, menyebut kecaman atas tindakan orang-orang kulit hitam sebagai “politik kehormatan”. Inklusi ke dalam ruang kulit putih biasanya dilakukan dengan mengamati norma kelas menengah kulit putih, termasuk menjadi “arus utama, pandai berbicara, rapi, hitam tapi tidak terlalu hitam, ramah, ceria, dan akomodatif”.
Monarki tentunya menjadi puncak “kehormatan” ini, karena merupakan institusi yang paling dihormati oleh masyarakat Inggris. Rasisme yang dialami Meghan, dan fakta bahwa dia tidak pernah diberikan ruang untuk menyuarakan kesetaraan bagi rasnya, menunjukkan bagaimana konsep kulit putih, gender, dan kelas sosial atas digunakan untuk mengamankan kehormatan kerajaan.
Feminisme dan bangsa Inggris
Perempuan di keluarga kerajaan hampir selalu mendapat perhatian yang lebih besar daripada laki-laki. Putri Diana dan Kate Middleton mendapat sorotan tajam di segala aspek kehidupan mereka, mulai dari apa yang mereka katakan, kenakan, hingga spekulasi tentang apa yang terjadi di dalam rahim mereka.
Namun, seperti yang diungkapkan oleh Harry dalam serial dokumenternya, situasi Meghan terbilang unik. Kisah Meghan memberi tahu kita sesuatu yang mendasar tentang keterkaitan antara monarki Inggris dengan patriarki dan kulit putih, serta bagaimana keduanya tidak dapat dipisahkan.
Pakar media, Raka Shome, menulis dalam bukunya “Diana and Beyond” bahwa femininitas kulit putih “selalu tentang perbuatan, bukan tentang eksistensi. Femininitas adalah sesuatu yang dapat didorong dan ditarik, dialihkan dan diubah untuk menyesuaikan dengan keinginan negara.”
Serangan terhadap Meghan adalah salah satu area dari tarik ulur ini. Narasi femininitas kulit putih, dan kebangsaan, diperdebatkan dan akan terus diperdebatkan, atas representasi dirinya.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
(Foto: Netflix)