22 Desember Disebut Hari Ibu Atau Hari Gerakan Perempuan? Kepentingan Politik Ubah Maknanya

Hari Ibu yang kita peringati setiap tanggal 22 Desember punya akar sejarah pada perjuangan perempuan melawan kolonialisme. Namun maknanya mengalami pergeseran dipengaruhi kekuatan politik yang berkuasa. Aktivis perempuan menyebut 22 Desember sebagai hari Pergerakan Perempuan

Biasanya jelang atau pada tanggal 22 Desember pembahasan soal Hari Ibu versus Hari Pergerakan Perempuan kerap kita dengar. Kenapa sih bisa muncul perbedaan untuk penamaan hari tersebut? Bagaimana awal mula peringatan Hari Ibu dan bagaimana lantas bisa muncul pemaknaan yang berbeda?

Sering kali Hari Ibu yang ditetapkan sejak tahun 1953 ini dimaknai seperti Mother’s Day yang biasa dirayakan di Amerika dan Eropa. Yakni hari yang ditujukan khusus untuk menghargai jasa para ibu yang sudah mengasuh anak, merawat suami dan mengurus keluarga.

Di hari tersebut para ibu mendapat perhatian khusus dari anak atau keluarganya dengan ucapan, hadiah, atau “libur” dari tugas dan tanggung jawabnya. Singkatnya para ibu mendapat perlakuan istimewa di hari ini. Bisa dibilang makna Hari Ibu di sini sebagai perayaan atas peran reproduksi para ibu.

Padahal kalau ditelusuri Hari Ibu di Indonesia punya konteks sejarah dan makna yang berbeda dengan tradisi yang ada di banyak negara lain. Tanggal 22 Desember yang ditetapkan sebagai Hari Ibu ini menandai tonggak penting dalam sejarah gerakan perempuan. Karena pada tanggal tersebut di tahun 1928 berlangsung Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta.

Ketika itu sebagian wilayah di Nusantara ada di bawah kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda. Penduduk bumi putra berada di lapisan kelas ketiga dalam kehidupan sosial politik. Apalagi kondisi perempuan, posisinya banyak dibatasi oleh aturan, norma sosial, adat, tradisi dan agama. Tapi mereka mampu menggelar kongres dan membahas isu-isu penting untuk kemajuan perempuan. Karena itu kongres ini disebut sebagai titik awal gerakan perempuan.

Kongres Perempuan dan Lahirnya Hari Ibu

Kongres Perempuan Pertama diadakan sekitar 2 bulan setelah Kongres Pemuda Kedua yang melahirkan Sumpah Pemuda. Saat itu kesadaran soal ide kebangsaan dan nasionalisme muncul di kalangan terpelajar, termasuk di kelompok perempuan.

Gagasan untuk mengadakan kongres muncul dari kelompok guru yang sebelumnya menjadi anggota organisasi Jong Java, yang telah mendirikan cabang organisasi Puteri Indonesia di Yogyakarta tahun 1926 dengan ketuanya Suyatin. Terinspirasi Sumpah Pemuda mereka pun membentuk Panitia Kongres Perempuan. Selanjutnya mereka mendekati RA Sukonto agar mau menjadi ketua dan Nyi Hajar Dewantoro menjadi wakil, sedangkan Suyatin sekretarisnya.  

Kongres Perempuan Pertama ini berlangsung di Yogyakarta, dan diikuti sekitar 30 organisasi perempuan dari Jawa dan Sumatra. Acara pembukaan yang dilaksanakan pada 22 Desember 1928 dihadiri sekitar seribu orang, diantaranya sejumlah organisasi pemuda dan tokoh-tokoh penting. Sedang tiga pertemuan terbuka yang digelar sepanjang kongres diikuti sekitar 750 hingga 1.000 orang.

Sebanyak 15 perempuan dari organisasi non religius dan organisasi berbasis agama menyampaikan pidato dalam Bahasa Indonesia. Mereka membahas isu-isu perempuan seperti pendidikan bagi perempuan, hak-hak perkawinan, praktik perkawinan anak, diskriminasi terhadap perempuan, perlindungan perempuan dan anak, dan pentingnya kedudukan ibu.

Perbedaan pandangan juga mewarnai kongres. Organisasi perempuan berbasis agama Islam menolak sekolah campur antara murid laki-laki dan murid perempuan dalam satu ruang kelas. Mereka juga menentang penghapusan poligami, tetapi hak perempuan harus ditingkatkan dan dilindungi. Hal ini menimbulkan ketegangan antara organisasi perempuan Islam dengan organisasi perempuan nasionalis dan Kristen.

Isu yang dibahas para perempuan dalam pidato mencerminkan berbagai wacana tentang perempuan khususnya di Jawa saat itu. Sejumlah isu bahkan hingga hari ini masih menjadi perjuangan gerakan perempuan. Meski muncul perdebatan dan perbedaan pandangan, tapi seperti dikatakan Susan Blackburn, mereka menampakkan suka cita dengan kebinekaan mereka.

Kongres Perempuan Pertama menyetujui pembentukan badan permufakatan yang diberi nama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Kongres juga menyetujui anggaran dasar dan rencana aksi untuk PPI. Dalam anggaran dasar disebutkan PPI, “bermaksud menjadi badan penghubung bagi semua perkumpulan perempuan Indonesia, dan bertujuan memperbaiki nasib dan status perempuan Indonesia tanpa referensi terhadap sesuatu agama atau keyakinan politik tertentu.”

Keputusan Kongres menyepakati pengurus PPI akan membentuk wadah dana beasiswa untuk pendidikan anak perempuan yang tidak mampu, memperkuat pendidikan kepanduan putri, melakukan kampanye melawan perkawinan anak, mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial Belanda agar (1) mengalokasikan dana untuk janda dan anak yatim, (2) tunjangan pensiun jangan dicabut, (3) sekolah-sekolah putri diperbanyak.

Selain itu pengurus PPI juga diminta mengirimkan mosi kepada dewan keagamaan agar talik (perceraian) dikuatkan secara tertulis sesuai dengan peraturan agama. Kongres juga menyepakati untuk menerbitkan surat kabar yang redaksinya dipercayakan pada pengurus PPI.

PPI kemudian mengadakan mengadakan pertemuan umum di Yogyakarta pada Mei 1929 dan isu perkawinan anak  menjadi topik utama bahkan dicarikan upaya memeranginya. Kongres kedua PPI diselenggarakan pada Desember 1929 dimana PPI sudah punya 22 organisasi anggota. PPI juga sudah membentuk dana beasiswa untuk pelajar putri. Selain itu majalah Isteri, yang diterbitkan sudah punya 700 pelanggan. Nama PPI berubah menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang berbentuk federasi.

Selanjutnya Kongres Perempuan Kedua diadakan pada 20-24 Juli 1935 di Jakarta. Pada kongres ini PPII diubah menjadi Kongres Perempuan Indonesia dan dibentuk badan pemberantasan buta huruf. Kongres juga menentang tindakan sewenang-wenang pada buruh perempuan di industri batik Lasem, Rembang, Jawa Tengah.

Kongres Perempuan ketiga yang diselenggarakan pada 23-27 Juli 1938 di Bandung menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu, sesuai tanggal pertama kali penyelenggaraan Kongres Perempuan.

Posisi Perempuan Setelah Kemerdekaan dan Gambaran “Ibu Militan”

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Belanda berupaya untuk menduduki kembali daerah jajahannya. Seperti perjuangan kemerdekaan nasional pada umumnya para laki-laki pemimpin nasional giat mencari dukungan dari kelompok perempuan.

Pada Desember 1945 kongres perempuan nasional diadakan di Klaten. Setahun kemudian kongres digelar di Solo. Kongres Wanita Indonesia dibentuk sebagai federasi dari semua organisasi perempuan yang mendukung kemerdekaan Indonesia.

Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan tersebut dapur umum dibentuk oleh berbagai organisasi perempuan. Kelompok perempuan juga punya peran penting dalam membangun jalur komunikasi antar berbagai satuan gerilya. Selain itu banyak perempuan ikut memanggul senjata.

Sementara tuntutan yang disuarakan kelompok perempuan mencakup upah yang sama dan hak yang sama atas kerja, perbaikan hukum perkawinan, pendidikan untuk perempuan, dll.  

Pada 22 Desember 1953, dalam acara peringatan ke-25 Kongres Perempuan, Presiden RI Sukarno menetapkan sebagai Hari Ibu Nasional melalui Dekrit Presiden RI No. 316 Tahun 1953. Sejak saat itulah, setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu di Indonesia.

Setelah kemerdekaan masalah poligami yang menjadi salah satu isu sentral gerakan perempuan masih belum terpecahkan. Hingga pada tahun 1954 Presiden Sukarno melakukan poligami. Tindakan ini menjadi pukulan bagi gerakan perempuan. Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) bersuara keras dan tetap meneruskan perjuangan anti poligami, sedang organisasi yang lain mengabaikan hal tersebut.

Pada tahun 1950-an itu organisasi perempuan yang sangat diperhitungkan adalah Gerwis, yang kemudian berganti nama menjadi Gerwani. Gerwani aktif mengadakan pemberantasan buta huruf di kalangan perempuan, memberikan kursus-kursus termasuk kursus politik, mendorong perubahan undang-undang perkawinan, menuntut hukuman berat bagi pelaku perkosaan. Gerwani juga aktif dalam kegiatan sosial ekonomi untuk kelompok tani dan buruh perempuan.

Pada era setelah kemerdekaan, keterlibatan perempuan yang sebelumnya aktif dalam perang kemerdekaan kemudian digeser. Mereka diharapkan untuk kembali pada peran mereka ke dalam lingkungan keluarga dan rumah tangga. Gerwani menjadi organisasi perempuan yang punya posisi berbeda. Mereka menuntut hak perempuan untuk menjadi aktor politik juga.

Aktivitas dan kegiatan yang dilakukan Gerwani di basis massa dan kiprahnya sebagai satu-satunya organisasi perempuan yang merambah ke pentas politik nasional membentuk perempuan menjadi “ibu militan”.  

“Ibuisme” Orde Baru dan Upaya Domestikasi Perempuan

Ketika Orde Baru berkuasa setelah kudeta militer pada September 1965, Gerwani dibubarkan. Gambaran tentang perempuan sebagai “Ibu militan” yang muncul lewat berbagai aktivitas yang dilakukan Gerwani untuk memajukan kehidupan perempuan dihancurkan oleh Angkatan Darat lewat kampanye hitam. Mereka menggunakan surat kabar untuk menyebarluaskan fitnah seksual tentang Gerwani yang menyiksa para Jenderal yang diculik dalam kudeta tersebut.

Kampanye hitam tersebut berhasil menumbuhkan kebencian kolektif di masyarakat. Ini berujung pada pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia—yang dituduh terlibat dalam kudeta—juga Gerwani yang dianggap afiliasinya oleh kelompok anti komunis. Dalam tragedi tersebut sekitar 500 ribu orang terbunuh. Sedang belasan ribu orang dipenjara, dibuang, disiksa, tanpa proses pengadilan, atau diberi kesempatan pembelaan diri.

Keberhasilan kampanye hitam tersebut menurut Saskia Wieringa karena fitnah tersebut memanipulasi perempuan militan dengan simbolisasi kebejatan seksual. Ini soal yang sangat sensitif di masyarakat dan tidak sesuai dengan bangunan normatif agama dan moral masyarakat.

Orde Baru kemudian mengembangkan ideologi gender yang menempatkan perempuan pada peran domestiknya lewat konsep ibuisme dan pengiburumahtanggaan. Dalam ibuisme perempuan harus melayani suami, anak-anak, keluarga, masyarakat dan negara. Sedang dalam pengiburumahtanggaan perempuan diharuskan memberikan tenaga kerjanya secara cuma-cuma, tanpa mengharapkan prestise atau kekuasaan apapun.

Ibuisme negara punya efek mendomestikasi perempuan, perempuan dijinakkan dalam proses akumulasi, disegregasi dalam proses pembangunan, dan didepolitisasi lewat konsep “massa mengambang”.

Setelah melakukan pembersihan terhadap organisasi-organisasi perempuan, pemerintah otoriter Orde Baru menciptakan organisasi-organisasi perempuan baru. Ini dilakukan dengan mengelompokkan berbagai organisasi perempuan istri pegawai negeri menjadi Dharma Wanita (untuk istri PNS) dan Dharma Pertiwi (untuk istri tantara). Selain itu pemerintah juga membentuk PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga).

Ideologi ibuisme negara menurut Julia Suryakusuma terwujud dalam ketiga organisasi tersebut. Negara mengontrol pegawai negeri sipil laki-laki yang kemudian mengontrol istri mereka, yang secara timbal balik mengontrol suami serta istri bawahan, pegawai yang lebih rendah dan anak-anak mereka.

Dengan cara tersebut negara melakukan kontrol dan “mengembangbiakkan” masyarakat jenis tertentu. Dalam masyarakat ini keluarga inti menjadi poros yang menopang dan mendukung kekuasaan negara.

Begitu juga dengan PKK yang menempatkan istri kepala desa atau lurah sebagai Ketua PKK dan Ketua II LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa). PKK bergantung pada negara dalam hal kebijakan, program, dana, serta administrasi. Selain itu PKK juga bergantung pada persetujuan laki-laki lewat sistem “pembina”.

Dalam kondisi masyarakat semacam inilah makna Hari Ibu yang punya akar sejarah pada perjuangan gerakan perempuan melawan kolonialisme mengalami pergeseran. Hari Ibu kemudian diperingati dalam kegiatan seremonial yang berbeda makna.

Konde pernah menulis, frasa “Ibu” dalam nama peringatan ini secara kuat diposisikan sebagai peran domestik perempuan di dalam rumah tangga. Sehingga perayaannya kerap dimeriahkan dengan aktivitas-aktivitas yang memperkuat citra ibu rumah tangga. Seperti lomba membuat tumpeng, peragaan busana kebaya, merangkai bunga, menggunakan sanggul dan pekerjaan-pekerjaan lain yang menguatkan bahwa seorang perempuan atau ibu yang baik adalah mereka yang terampil dalam urusan rumah tangga.

Reformasi dan Upaya Pemaknaan Ulang Hari Ibu

Gerakan dan organisasi perempuan independen dan otonom yang muncul di era Orde Baru pada dekade 80-an dan 90-an punya andil dalam jatuhnya rezim otoriter Suharto dan bergulirnya reformasi. Gerakan perempuan di masa ini menjadi makin kritis dan berani bersuara.

Ketika reformasi bergulir, situasi represif yang dibangun selama Orde Baru berkuasa berganti menjadi kebebasan. Upaya penyeragaman sikap politik PNS lewat Golkar selama Orde Baru pun berakhir. Meski begitu Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi cenderung tetap berfokus pada dukungan suami dan kegiatan sosial. Begitu juga dengan PKK, meski posisi ketua tidak lagi ditunjuk secara otomatis mengikuti jabatan suami.

Di sisi lain gerakan fundamentalisme agama yang pada masa Orde Baru diredam kini muncul. Dukungan pada poligami kembali menguat. Upaya untuk mendorong perempuan kembali ke ranah domestik dan mengekang seksualitas perempuan muncul lagi.

Ini dilakukan lewat kampanye untuk menikah muda, mengharamkan pacaran, menolak feminisme, dll. Upaya memasukkan gagasan tersebut lewat jalur legislatif dan eksekutif dilakukan dengan mendorong rancangan undang-undang yang membatasi perempuan dan kelompok minoritas dan pembuatan perda-perda diskriminatif.  

Sementara itu upaya untuk memaknai ulang Hari Ibu pun bergulir. Organisasi-organisasi perempuan mendorong negara mengembalikan spirit pencanangan Hari Ibu sebagai Hari Pergerakan Perempuan Indonesia. Wacana dan diskusi tentang Hari Pergerakan Perempuan terus bermunculan.

Referensi

Blackburn, Susan. Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & KITLV. 2007.

Wieringa, Saskia. Kuntilanak Wangi. Jakarta: Kalyanamitra. 1998.  

Wieringa, Saskia. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya dan Kalyanamitra. 1999. Suryakusuma, Julia. Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Jakarta: Komunitas Bambu. 2011.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!