Ingin Belajar Toleransi di Desa? Belajarlah dari Dusun Ngepeh di Jombang

Di Jombang, ada satu dusun, yaitu Dusun Ngepeh yang masyarakatnya menerapkan toleransi yang tinggi. Disana, ada seorang nenek yang beragama Hindu mengantarkan cucunya untuk pergi mengaji. Ada juga masyarakat beragam agama yang kemudian membantu komunitas Hindu untuk membuat Ogoh-Ogoh.

Sebelum kita ke Dusun Ngepeh, sebuah dusun yang menerapkan praktik toleransi yang tinggi, kita juga akan melihat sejumlah persoalan lain mengapa praktik toleransi masih sulit diterapkan di beberapa daerah lain di Indonesia.

Padahal kemajemukan sebenarnya adalah sesuatu yang lumrah terjadi di Indonesia. Ini bisa dibuktikan dengan adanya keberagaman agama. 

Namun sejak reformasi 1998, situasi kerukunan masyarakat Indonesia sedikit banyak terusik dengan kasus bom Bali yang terjadi sampai dua kali, kasus Ambon, kasus pembakaran gereja di Singkil dan masih banyak lagi. Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana rentannya toleransi yang kita tanam di Indonesia sejak negara ini berdiri. 

Padahal sejatinya Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak keragaman, baik ras, suku maupun agama. Hal inilah yang membuat Indonesia memiliki kekhasan tersendiri, dimana memiliki tidak kurang dari 250 etnis serta 500 jenis ragam bahasa yang berbeda. 

Kemajemukan yang ada di masyarakat Indonesia selama ini dapat dibagi menjadi 2 yaitu: Pertama, majemuk horizontal yaitu dilihat dari keberagaman suku, agama, adat serta kedaerahan. Kedua, majemuk vertikal, yakni dapat dilihat dari adanya perbedaan-perbedaan lapisan struktur masyarakat. Kemajemukan yang ada di Indonesia merupakan keniscayaan yang menjadikan negara Indonesia sebagai Negara Bangsa (Nation State). Sejarah telah menunjukkan bahwa kemerdekaan yang diraih Indonesia merupakan hasil bahu-membahu dari kekuatan kemajemukan yang ada di bangsa ini.

Dalam catatan Setara Institute, sepanjang tahun 2021 tercatat 180 kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 424 bentuk tindakan. Selain itu tercatat juga bahwa daerah yang paling tinggi menyumbang kasus kekerasan atas nama agama adalah daerah Jawa Barat sebanyak 39 kasus, sedangkan pelaku kekerasan yang paling banyak adalah aktor non negara yang mencatat 239 kasus dibandingkan pelaku negara sebanyak 185 kasus. 

Andreas Harsono dalam salah satu diskusi yang diadakan di salah satu komunitas di Jember menyatakan bahwa sejak reformasi digulirkan terdapat 700 perda diskriminatif di Indonesia. Perda-Perda ini bisa di bagi menjadi 3 golongan yaitu, kelompok A diskriminasi agama yang terdiri dari diskriminasi terhadap minoritas non Islam, diskriminasi non Sunni, diskriminasi terhadap non Syafi’I dan diskriminasi terhadap agama lokal dimana di Indonesia kita memiliki lebih dari 400 agama lokal. 

Kelompok B yaitu diskriminasi terhadap perempuan. Di kelompok ini terdapat perihal jilbab, misalnya soal pelarangan keluar malam dan pelarangan penggunaan celana panjang. 

Sedangkan di kelompok C adalah diskriminasi terhadap LGBTQ seperti pelarangan penyewaan rumah bagi LGBT maupun membuka usaha. Kasus terkait LGBTQ banyak terjadi di Aceh, mulai dari mereka yang dibuka baju mereka, pelarangan merayakan ulang tahun di hotel dan pelarangan mereka membuka usaha salon kecantikan. Kasus-kasus seperti ini sering sekali terjadi menjelang pelaksanaan Pemilu atau Pilkada.

Toleransi Di Dusun Ngepeh

Tulisan ini ingin melihat tentang toleransi yang terjadi di salah satu dusun di daerah Jombang, Jawa Timur, yaitu Dusun Ngepeh. Jombang terkenal sebagai daerah santri dimana banyak sekali terdapat pesantren, baik pesantren besar maupun kecil.  

Dalam pandangan penulis, terdapat 3 pesantren besar di Jombang yang terkenal secara nasional seperti Pesantren Tebu Ireng, dimana Presiden Gus Dur berasal, Pesantren Denanyar dan Pesantren Bahrul Ulum. 3 pesantren ini hanyalah beberapa dari banyak pesantren di Jombang. Namun ternyata meski terdapat pesantren yang sangat banyak di Jombang, agama-agama minoritas masih bisa hidup dengan nyaman disana. Ini terlihat di dusun Ngepeh, satu dusun di Jombang. Terdapat 3 agama yang hidup rukun di sini, yaitu Islam, Katolik, Kristen (dan Kristen Jawa Wetan) dan Hindu.  

Menakjubkan mengetahui bahwa agama-agama selain Islam bisa menjalankan agama mereka bahkan difasilitasi dengan pendirian rumah ibadah masing-masing agama tersebut di dusun itu. Namun dalam sejarahnya, pendirian rumah bukan tidak mendapat penentangan di tempat ini.  Agama Hindu merupakan agama termuda yang ada di dusun tersebut. Pemeluk agama ini adalah mereka yang beralih dari agama Kejawen dan Sapto Darmo dimana agama lokal tidak diizinkan oleh pemerintah Orde Baru. Agama Hindu mendapat penolakan oleh masyarakat ketika awal-awal berada di dusun ini pada tahun 1978 karena proses peribadatannya yang dianggap sebagai praktek perdukunan karena membakar dupa. Para pemeluk agama Hindu ini juga dianggap menyembah Bhuta Kala karena di salah satu hari rayanya selalu membuat boneka raksasa yang diusung keliling kampung. Tapi untunglah kemudian pada tahun 1998 komunitas Hindu bisa mendirikan candi di daerah tersebut sebagai tempat peribadatan.

Dasar yang menyebabkan mereka bisa hidup rukun, karena mereka memaknai toleransi yang diajarkan oleh masing-masing agama. Mereka juga memaknai unen-unen (ungkapan tradisional) yang berkaitan dengan sikap toleran terhadap antar penganut agama. 

Pemahaman dua hal tersebut berjalan beriringan sebagai alat kohesi sosial, yaitu tetap tercipta suasana damai, rukun, dalam perbedaan agama di kehidupan sehari-hari. Ini juga selaras dengan ucapan salah seorang tokoh agama disana bahwa “kondisi di Ngepeh ini kan bermacam-macam agama, kita harus bisa menempatkan diri bagaimana perbuatan kita itu agar tidak menyakiti perasaan agama lain”. Hebatnya lagi, anak-anak di desa ini sudah diajarkan tentang kehidupan yang beragam ini sejak kecil.  Sejak kecil, orang tua sudah memberikan pengetahuan tentang macam-macam agama yang ada di sekitar mereka, hal ini dilakukan agar saat mereka dalam berteman atau bermain tidak mengejek agama yang berbeda dengan yang ia anut. Dapat dikatakan disini orang tua berperan sebagai katalisator yang mendorong dan membantu anak-anaknya untuk memunculkan tindakan yang toleran sejak dini.

Perayaan Hari Besar Agama-Agama di Dusun Ngepeh

Sebagaimana yang telah tertulis diatas, bahwa anak-anak di dusun Ngepeh sejak kecil telah diajarkan tentang keragaman agama yang ada di dusun mereka, bahkan mereka juga merayakan perayaan agama-agama yang ada di dusun tersebut. Hal ini terlihat dari apa yang dikatakan oleh kepala dusun Ngepeh:

Yang nyata terlihat itu ya pada saat hari raya masing-masing agama itu. Kalau hari raya Natal itu saya bertamu ke tetangga yang Kristen. Kita satu deret ini macam-macam[agamanya], sebelah kanan rumah saya ini ada Hindu, sampingnya lagi itu Kristen, jadi deret 3 rumah ini aja agamanya udah beda, soalnya memang kalau di Ngepeh ini kan antar penganut agama ini nggak ngeblok gitu, maksudnya yang blok Hindu sendiri, Islam sendiri, Kristen sendiri, nggak begitu kalau disini, semua campur jadi satu, jadi orang muslim sebelah rumahnya orang Hindu gitu ya biasa, kalau pagi ada bau dupa gitu ya sudah biasa.”

Apa yang dikatakan oleh pak kepala dusun di benarkan oleh salah seorang warga: “Pada saat Idul Fitri, banyak teman-teman yang Kristiani dan Hindu datang kerumah kami untuk silaturahmi, menurut saya itu tidak salah, karena itu adalah salah satu sikap baik yang mempererat hubungan sosial kami, begitupun juga saat mereka melakukan perayaan hari raya Natal dan kalau Hindu itu biasanya pas Galungan saya juga gantian bersilaturahmi ke rumah mereka”.

Pernikahan Beda Agama

Hal menarik lainnya yang terjadi di Dusun Ngepeh adalah pernikahan beda agama. Salah satu contohnya pada keluarga Pak Dani yang beragama Hindu dan istrinya yang beragama Islam. Keduanya tetap memegang teguh agama masing-masing dan saling menghormati satu sama lain. 

Ketika Pak Dani melaksanakan Hari Raya Nyepi, istrinya membantu dengan menyediakan ruangan dan mengkondisikan agar suasana tenang sehingga pak Dani bisa melakukan ibadahnya. Begitupun saat istrinya merayakan Hari Raya Idul Fitri, Pak Dani juga menghormati istrinya yang berpuasa serta menyiapkan segala hal untuk menyambut hari raya Idul Fitri. 

Kehidupan keluarga Pak Dani ini sudah mencerminkan nilai kultural dalam ungkapan tradisional Jawa yang ada pada masyarakat Dusun Ngepeh yakni “urip kudu tepo seliro” sehingga terjadi komunikasi atau percakapan yang baik, ramah dalam rumah tangga sehingga antara Pak Dani dan istri dalam kesehariannya terus menerus berusaha membangun kebersamaan, keharmonisan dan kehangatan dalam keluarganya.

Salah seorang tetua dusun Ngepeh mengatakan,

“Saya kan beragama Kristen, tapi anak saya juga ada yang sekarang ikut Islam karena ikut suaminya. Ya saya tidak apa-apa yang penting hubungan keluarga tetap bisa rukun dan tidak ada persoalan terkait agama, yang terpenting anak saya benar-benar menjalankan perintah agama yang dipilihnya dengan baik dan hubungan keluarga kami rukun itu saya sudah sangat senang sekali. Yang dicari kalau sudah tua gini ya kedamaian, lihat anak cucu rukun. Kalau Idul Fitri ya mereka kesini istilahnya meminta maaf kepada orangtua, ya seperti yang dilakukan umat muslim pada umumnya saat Idul Fitri, saat Natalan juga kesini, ikut meramaikan suasana natal dirumah begitu”.

Betapa Damainya Memahami Kehidupan yang Beragam

Hal yang sangat biasa di dusun Ngepeh melihat seorang nenek yang beragama Hindu mengantarkan cucunya untuk pergi mengaji di Masjid. Atau masyarakat yang beragam agama ini membantu komunitas Hindu untuk membuat Ogoh-Ogoh. Penduduk Muslim maupun Kristen bersama-sama mencari bambu untuk material pembuatan Ogoh-Ogoh. Kehidupan di desa kecil di Jombang ini telah memberikan kita contoh tentang betapa damainya ketika kita bisa memahami bagaimana hidup di komunitas beragam 

Apa yang dilakukan masyarakat di dusun Ngepeh merupakan satu gambaran harmonisasi kehidupan di minoritas masyarakat Indonesia. Cerita-cerita seperti ini sebenarnya menggambarkan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia, terkait kehidupan beragama dan berkeyakinan. 

Dalam pengamatan penulis, kehidupan ini masih jarang sekali bisa dilihat, terutama di pulau Sumatera. Oleh karena ini berita dan ulasan seperti kehidupan di dusun Ngepeh ini sangat perlu diapresiasi sehingga bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, terutama bagi daerah yang masih memiliki kekerasan atas nama agama dan pelarangan pelaksanaan ibadah agama lain. 

Komunikasi dan saling memahami sangat diperlukan untuk membangun keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia. Ini sebenarnya salah satu inti dari apa yang dibicarakan pada pertemuan tokoh interfaith di Bologna, Itali 2021 yang lalu, bahwa perlu adanya kohesi sosial dan penghormatan pada hak asasi manusia.

Rosnida Sari

Dosen Universitas Jember dan Peneliti di CHRM2 Universitas Jember
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!