Kamu Alami Pelecehan Seksual di Pementasan Musik? Saatnya Bicara dan Laporkan

Kabar soal pelecehan seksual di pementasan musik sudah sering kita dengar. Korban atau penyintas merasa kesulitan untuk bersuara dan protes. Lantas bagaimana langkah yang harus kamu ambil?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Kalyanamitra. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Tanya: Halo kak, nama saya Elen. Saya punya grup vokal perempuan. Kami beberapa kali melihat ada penyanyi yang dilecehkan di atas panggung. Kami juga pernah mengalaminya ketika akan pentas, tapi kami dilecehkan di belakang panggung, kami sering mengalami catcalling. Kami sulit untuk protes karena kebiasaan ini sepertinya sudah lama sekali terjadi di dunia musik. Bagaimana cara kami mengatasinya kak?

Jawab: Halo Elen, terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum bagi Perempuan. Terkait dengan permasalahan yang Elen dan teman-teman hadapi, yakni pelecehan dan catcalling di dunia musik, karena Elen tidak menjelaskan secara mendetail pelecehan yang dimaksud, maka saya asumsikan bahwa pelecehan yang dimaksud adalah pelecehan seksual, dengan merujuk pada pengalaman cat calling yang juga Ellen dan grup vokal sering alami. 

Sebelum saya mulai pada pembahasan bagaimana mengatasi masalah pelecehan seksual (termasuk cat calling) yang dihadapi oleh Elen dan grup vokal, saya ingin mengucapkan apresiasi saya kepada Elen atas keberaniannya mengangkat masalah ini kepada kami di Klinik Hukum Perempuan, semoga keberanian Elen dan teman-teman menguatkan rekan-rekan seprofesi Elen yang lain untuk speak out. 

Selain itu, mungkin Elen dan teman-teman juga mengetahui, bahwa masalah pelecehan seksual di industri musik sudah menjadi perhatian publik karena telah banyak musikus atau penyanyi-penyanyi perempuan di berbagai negara (termasuk di Indonesia) yang berbicara melawan beragam bentuk tindak pelecehan seksual yang terjadi di industri musik. 

Ada yang dengan cara melaporkan tindakan tersebut ke kepolisian. Ada yang menggugatnya secara keperdataan dengan menuntut ganti rugi materiil kepada pelaku. Ada juga yang gencar mengampanyekan stop kekerasan seksual di dunia musik. Seperti yang dilakukan oleh Taylor Swift hingga meraih gelar doktor kehormatan untuk kampanye stop kekerasan seksual di dunia musik. 

Tak ketinggalan Billie Eilish yang mengingatkan masyarakat tentang bahaya pelecehan seksual terhadap korban di industri musik.

Selanjutnya, saya akan jelaskan pengertian pelecehan seksual menurut undang-undang. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada pasal yang secara eksplisit mengatur tindak pidana pelecehan seksual, karena dikategorikan dalam perbuatan cabul yang berada di Pasal 289 sampai Pasal 296 KUHP. Namun, setelah ada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pelecehan seksual dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari tindak pidana kekerasan seksual. 

Dalam UU TPKS ini pelecehan seksual dibagi dalam 2 kategori yaitu pelecehan seksual non fisik dan fisik. Pengertian pelecehan seksual non fisik tertuang dalam Pasal 5 UU TPKS yaitu suatu perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang (korban) berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya. Pelaku pelecehan seksual nonfisik dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 

Sedangkan pengertian pelecehan seksual fisik diatur dalam Pasal 6 UU TPKS yaitu perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat. Pelaku pelecehan seksual fisik dapat dikenakan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pelecehan seksual merupakan delik aduan absolut, yang artinya perbuatan tersebut hanya dapat dituntut jika korban telah melaporkan pelaku pelecehan seksual ke kepolisian yang selanjutnya oleh pihak kepolisian dilakukan proses penyidikan hingga penyerahan berkas ke kejaksaan setelah bukti awal telah cukup. 

Pelaporan pelecehan seksual dapat dicabut jika korban dan pelaku mencapai kesepakatan damai. Hal ini berbeda dengan pelecehan seksual yang terjadi pada anak di bawah umur, karena masuk dalam kategori delik biasa. Artinya tidak memerlukan laporan dari korban dan walaupun laporannya dicabut oleh korban atau pihak pelapor, kasusnya akan tetap berjalan.

Lalu bagaimana mengatasi permasalahan pelecehan seksual di industri musik yang Ellen dan teman-teman hadapi, yang mana hal tersebut sudah menjadi kebiasaan karena terjadi sudah lama sekali, sehingga sulit bagi Elen dan teman-teman untuk memprotesnya? 

Pertama, terhadap para korban pelecehan seksual sebaiknya melaporkan kasus tersebut ke pihak pengelola/pemilik industri musik sehingga pelaku mendapatkan sanksi etik dan administratif atas tindakannya. Setelah itu, jika tidak ada proses penyelesaian yang adil terhadap anda dari pengelola/pemilik industri musik, ambil langkah hukum yaitu dengan melaporkan kasus tersebut ke kepolisian tempat dimana pelecehan seksual terjadi. 

Dalam hal ini, langkah hukum yang digunakan tetap sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu dengan melakukan proses pelaporan terlebih dahulu yang selanjutkan akan dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Jaksa Penuntut umum (JPU) dan persidangan di Pengadilan. 

Dalam memproses hukum pelaku pelecehan seksual, korban dapat meminta dukungan dari keluarga dan teman-teman kerja yang lain serta pendampingan dari lembaga bantuan hukum (LBH) yang secara khusus memberikan pendampingan hukum kepada perempuan korban kekerasan seksual sehingga dapat mendorong polisi/penyidik menerapkan UU TPKS (bukan KUHP).

Kedua, terhadap perusahaan atau institusi yang mengelola industri musik dimana Elen dan teman-teman bernaung/bekerja, perlu didesak agar dibuat aturan atau SOP terkait pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kerja yang mengacu pada UU TPKS. Dalam SOP tersebut juga harus memuat sanksi etik dan/atau administratif terhadap pelaku kekerasan, apresiasi terhadap korban yang berani terbuka dan atau melaporkan kasus yang dialaminya, tanggung jawab pendampingan psikologis serta litigasi, dan hal-hal lainnya yang dianggap perlu diatur sesuai dengan kebutuhan perlindungan dari Tindakan kekerasan seksual. Apabila perusahaan telah memiliki SOP Pencegahan Kekerasan Seksual, pastikan SOP tersebut sudah menggunakan UU TPKS sebagai dasar penerapan operasionalnya.

Jika pengelola/pemilik industri musik menolak upaya advokasi yang Elen dan teman-teman lakukan, atau tidak memproses pelaporan korban, maka Elen dan teman-teman bisa melayangkan surat somasi dengan dasar perintangan untuk memberikan perlindungan kepada korban TPKS sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU TPKS sebagai berikut: “Setiap seorang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung penyidikan dan penuntutan terhadap tersangka, terdakwa atau saksi dalam perkara TPKS, terancam sanksi pidana paling lama lima (5) tahun sebagaimana diatur dalam pasal (19) UU TPKS.” 

Contoh baik terkait upaya perlindungan bagi pekerja dan konsumen dari tindak pidana kekerasan seksual misalnya dalam bidang transportasi, salah satunya diterapkan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Perusahaan ini menerapkan SOP terkait penanganan tindak pelecehan seksual yang terjadi di dalam kereta dengan mengacu pada UU TPKS. SOP tersebut ditetapkan pada 20 Juni 2019 melalui Peraturan Direksi KAI PER.U/KL.104/VI/I/KA-2019. 

Selain di bidang transportasi, SOP terkait dengan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ini juga telah banyak dibuat dan diterapkan di dunia Pendidikan. Misalnya telah diberlakukan di banyak universitas/perguruan tinggi dengan mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikburistek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Selain itu di lingkungan pendidikan keagamaan sudah ada Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022 tentang Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Kementerian Agama menjadi acuan dalam pencegahan kekerasan seksual. 

Semoga kedepannya, industri musik akan menerapkan SOP Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di industri musik sebagai perlindungan bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya yang bekerja di bidang musik. Dalam hal ini, keberanian dan langkah Elen bersama teman-teman merupakan jalan advokasi menuju kesana. Sekian dulu ulasan saya terkait permasalahan pelecehan seksual di dunia musik, semoga dapat membantu dan menguatkan Elen di dalam menyelesaikan masalah ini.

Jika kamu atau orang yang kamu kenal mengalami pelecehan seksual dan membutuhkan pendampingan hukum, kamu dapat menghubungi LBH APIK Jakarta atau Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender.

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!