Korban Kekerasan Seksual Tak Mau Melapor: Karena Banyak Yang Salahkan Mereka 

Mengapa korban pelecehan seksual kadang tidak mau melaporkan kejadian yang mereka alami? Karena masih banyak orang yang menyalahkan korban, korban dianggap memakai pakaian “mengundang” dan justru bereaksi negatif terhadap korban.

Seseorang dapat diserang, dirusak, atau dihancurkan tubuhnya melalui tindakan kekerasan. Kekerasan dapat berupa tindakan fisik atau psikis yang dilakukan sendiri atau berkelompok dengan atau tanpa kesengajaan, langsung atau tidak langsung, pada tingkat struktural atau pribadi. 

Kekerasan seksual merupakan perbuatan yang menyebabkan atau berpotensi menimbulkan penderitaan fisik atau psikis, termasuk perbuatan yang mengganggu kemampuan seseorang untuk bereproduksi dengan cara merendahkan, mempermalukan, melecehkan, atau mencederai tubuh atau fungsi reproduksinya dan kehilangan kesempatan untuk melakukan pendidikan dengan aman dan efektif.

Kekerasan seksual dapat dilakukan secara verbal, non fisik, fisik, dan daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. 

Pelecehan seksual dan kekerasan seksual adalah dua perilaku yang berbeda. Kekerasan seksual mencakup lebih dari sekadar pelecehan seksual. Perbuatan-perbuatan yang termasuk kekerasan seksual menurut Kemendikbud adalah:

1.Bertindak atau berbicara dengan cara yang menghina atau melecehkan orang lain karena identitas gender atau karakteristik fisik mereka (contohnya termasuk membuat lelucon seksis, bersiul, dan menatap bagian tubuh orang lain),

2.Membelai, menggosok, memegang, dan/atau menempelkan bagian tubuh pada area pribadi orang lain,

3.Mengirimkan lelucon, gambar, video, audio, atau konten lain yang eksplisit secara seksual tanpa izin penerima atau meskipun penerima sudah menegur pelaku,

4.Mengikuti dan memotret seseorang tanpa izin mereka dan mengungkapkan informasi sensitif orang tersebut,

5.Memberikan hukuman atau arahan yang menjurus secara seksual kepada orang lain,

6.  Mengintip orang yang sedang berpakaian,

7.  Membuka pakaian seseorang tanpa mendapatkan persetujuan orang tersebut,

8.  Membujuk, menjanjikan, menawarkan, atau mengancam seseorang untuk berpartisipasi dalam transaksi atau aktivitas seksual yang tidak disetujui oleh orang tersebut,

9.  Memaksa orang untuk melakukan aktivitas seksual atau percobaan pemerkosaan, dan

10. Melakukan perbuatan lain yang merendahkan, mempermalukan, melecehkan, atau menyerang tubuh atau fungsi reproduksi seseorang karena relasi kuasa dan/atau gender yang tidak setara, yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan penderitaan psikis dan/atau fisik, termasuk yang mengganggu kemampuan seseorang untuk bereproduksi. dan kehilangan kesempatan untuk melakukan pendidikan dengan aman dan efektif.

Dampak kekerasan seksual terhadap korban yang mendapatkan perilaku tersebut sangat besar dan mendalam. Tetapi, kekerasan seksual ini paling sulit untuk dibuktikan dan diproses dibandingkan dengan jenis kekerasan lainnya. Konsep khas dari kekerasan seksual menurut Kemendikbud adalah:

1.Kelumpuhan sementara yang tidak disengaja yang mencegah seseorang bergerak atau dalam banyak keadaan, bahkan berbicara. Sementara mereka masih menderita kelumpuhan sementara pada saat serangan, korban kekerasan seksual sering dikritik karena tidak melawan, berteriak, atau melarikan diri. Konsep ini penting untuk kita pegang agar tidak berasumsi bahwa kekerasan seksual yang dialami korban adalah akibat dari aktivitas seksual “suka sama suka” hanya karena mereka tidak meronta, berteriak, melarikan diri, atau melaporkan kejadian tersebut. Diamnya korban tidak menyiratkan persetujuan atau suka sama suka.

2.Menyalahkan korban mengadopsi perspektif yang menyiratkan korban, bukan pelaku, yang berarti korban bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang dia alami. Hal tersebut terjadi ketika korban dituduh memprakarsai atau menyebabkan pelecehan seksual melalui perilaku, pernyataan, atau pakaiannya. Menyalahkan korban dapat dilakukan oleh banyak pihak, termasuk aparat penegak hukum, tempat kerja atau lingkungan pendidikan, atau bahkan anggota keluarga korban sendiri. Hal tersebut menjadi alasan mengapa korban pelecehan seksual tidak melaporkan kejadian yang dialaminya. Metode menyalahkan korban yang paling umum digunakan terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia adalah seputar pakaian korban yang dipandang sebagai “mengundang”, pernyataan korban, sikap yang dianggap “provokatif”, dan korban tidak bereaksi negatif terhadap kekerasan seksual. Oleh karena itu, akan ada dampak ganda jika konsep menyalahkan korban tidak dipahami. Tingkat eksternal berupa pihak lain yang menyalahkan korban yang telah dilakukan orang lain terhadap korban, sedangkan tingkat internal berupa menyalahkan diri sendiri oleh korban terhadap dirinya sendiri.

3.Banyak korban kekerasan seksual tidak mau melaporkan situasi mereka karena sudut pandang atas tuduhan palsu. Banyak korban kekerasan seksual kemudian menjadi terlapor sebaliknya dengan pasal pencemaran nama baik karena kasus mereka dinilai kurang mendapat dukungan, dan

4.Tantangan yang dihadapi korban dan pendampingan korban kekerasan juga diperparah dengan beban pembuktian yang seolah-olah menjadi “tanggung jawab” korban untuk membuktikan keabsahan kasus yang dilaporkannya. Saat melapor ke pihak tertentu, korban perlu mencari identitas dan data lengkap pelaku untuk memberikan referensi pasal-pasal dalam aturan hukum yang bisa digunakan aparat untuk memproses kasus lebih lanjut.

Kasus kekerasan seksual marak terjadi hingga pada ranah dunia pendidikan di Indonesia. Mulai dari sekolah, kampus, hingga pondok pesantren yang seharusnya menjadi ruang aman untuk menuntut ilmu kini tidak lagi menjadi tempat yang aman dan steril dari pelaku kekerasan seksual. 

Ada 67 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan di lingkungan pendidikan antara tahun 2015 hingga 2021 menurut data Komnas Perempuan. Sebagian besar kasus yang disumbangkan berasal dari universitas.

Menurut Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), setidaknya ada dua belas kejadian kekerasan seksual di sekolah antara Januari hingga Juli 2022. Sebanyak 25% terjadi di lembaga pendidikan yang diatur oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan 75% sisanya berada di lembaga yang diatur oleh Kementerian Agama. Kasus-kasus yang terjadi belakangan ini antara lain, laporan kekerasan seksual terhadap santri putri di Pesantren Shiddiqiyah Jombang dan Pesantren Madani Bandung, serta pelecehan seksual yang diduga terjadi di SMA Selamat Pagi Indonesia-Malang.

Meski ada beberapa kasus yang dilaporkan, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengklaim bahwa penanganan kasus pidana yang terjadi di lingkungan sekolah sangat lambat, terutama dalam hal mendapatkan keadilan dan kompensasi korban. Ironisnya, dalam beberapa kasus masyarakat malah berusaha menghalangi menangkap pelaku hanya karena mereka adalah tokoh yang berpengaruh dan mengabaikan hak-hak korban. Penafsiran Aminah adalah eratnya relasi kuasa dari pelaku dan fakta bahwa banyak orang lebih percaya pada tokoh ilmuwan dan agama yang mengarah pada pengabaian hak-hak korban. 

Selain itu, waktu reaksi yang buruk dari lembaga pendidikan terhadap tuduhan penyerangan seksual merupakan hambatan tersendiri karena untuk mempertahankan persepsi positif publik terhadap lembaga tersebut. Selain itu, maraknya sanksi sosial berupa prasangka buruk dari masyarakat terhadap terhadap korban dan penyintas kekerasan seksual, khususnya korban perempuan, telah membuat korban tidak berdaya, dan banyak dari mereka memilih untuk menyimpan kasus mereka sendiri dan tetap diam.

Dalam ranah dunia pendidikan di universitas, sebagai salah satu solusi atas kekerasan seksual yang terjadi dibuatlah film pendek dengan judul “Demi Nama Baik Kampus”. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dilatarbelakangi oleh fenomena ini memproduksi video pendek sebagai pembelajaran dan video ini dapat ditonton melalui kanal YouTube Cerdas Berkarakter Kemendikbud RI. 

Dari judulnya, penonton sudah dapat menyimpulkan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual seringkali dibungkam untuk menjaga nama baik institusi pendidikan.

Banyak korban tidak ingin mengungkapkan insiden kepada otoritas universitas karena hal ini. Banyak kasus kekerasan seksual di kampus-kampus tidak dilaporkan untuk melindungi reputasi institusi. Ironisnya, pelaku kekerasan seksual justru lebih aktif di kampus-kampus yang dulunya merupakan tempat kaum intelektual. 

Keberadaan Satgas Kekerasan Seksual merupakan salah satu aturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 yang ditonjolkan dalam film ini. Salah satu Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 yang menjadi sorotan dalam film ini adalah adanya Satgas Kekerasan Seksual di kampus. Gugus tugas ini dibentuk khusus untuk membantu para korban mengidentifikasi dan memulihkan diri dari trauma pasca-kekerasan. 

Della Patricia Brajaningrum

Mahasiswa Universitas Negeri Malang
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!