Sam mengalami penolakan atas identitas majemuknya sebagai Buddhist-queer, bukan hanya dari masyarakat, tetapi juga dari keluarga yang dulu menerimanya

Namaku Sam, Keluarga Sulit Menerimaku karena Aku Queer

Menghadapi kesadaran untuk mengidentifikasi diri sebagai apa pun adalah satu hal. Menyadari penolakan masyarakat terhadap identitas diri dan jadi termarjinalkan, itu hal lain. Tapi bagaimana jika penolakan justru datang dari lingkungan terdekat, yakni keluarga yang mestinya menjadi sistem pendukung terkuat? Ini kisah Sam, seorang Buddhist-queer yang mengalami sulitnya mendapat penerimaan atas perbedaan identitas dari lingkungan masyarakat.

“Kenapa mamaku harus merasa bersalah membesarkan laki-laki yang ternyata non-biner dan enggak minta tapi ternyata feminim?” Sam bertanya-tanya.

Mama Sam menuliskan pesan maaf saat anak bungsu laki-lakinya mengunggah foto di media sosial mengenakan gincu dan tanktop krem dengan rambut panjang terurai.

Sejak kecil mamanya membesarkannya dengan banyak pilihan. Tetapi semenjak Sam merantau dan mulai terbuka dengan identitasnya sebagai Buddhist-queer, ia menyadari bagaimana keluarganya yang dahulu mendukungnya berubah tidak menerima identitas majemuk dirinya.

Latar Belakang Keluarga

Samuel atau kerap dipanggil Sam adalah seorang peranakan Jawa-Batak yang lahir di Siantar, Sumatera Utara. Tapi tidak lama setelah Sam lahir, mereka sekeluarga pindah ke Malang setelah ayahnya meninggal.

Sam tumbuh di keluarga yang cukup ramai. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Saat mereka pindah ke Malang, mamanya sibuk bekerja. Sam pun diangkat anak oleh tante dari ibu kandungnya. Ia memanggil ibu angkatnya ‘ibu’, dan pada ibu kandung, ‘mama’.

Meskipun satu buyut, mama dan ibu Sam berbeda kepercayaan. Ibunya beragama Islam dan mama memeluk agama Katolik. Di samping perbedaan tadi, dua keluarga ini masih memiliki kesamaan, yaitu adat Kejawen yang masih melekat di kesehariannya. Kejawen sebagai pedoman dan filosofi hidup orang Jawa telah terkikis oleh perkembangan zaman, tapi keluarga Sam tetap mempraktikkannya dalam keseharian mereka. Tentunya, Sam kerap turut serta dalam adat Kejawen yang dilakukan keluarga dan desa tempat tinggalnya. Dari mempersiapkan sajen, jenang-jenangan hingga menghitung neptu, semua ia pelajari.

Baca Juga: Tahukah Kamu 17 Mei Hari IDAHOBIT: Yuk, Hapus Kebencian Terhadap LGBT

Tidak hanya upacara Kejawen yang dipraktikkan sebagai kepercayaan, Sam juga pernah membuat upacara keagamaan sendiri ketika ia kecil. Dirinya pernah membuat sesajen-sesajenan yang ia larung di sungai serta menulis doa di secarik kertas dan rokok.

Sedari kecil, Sam memang tertarik mengeksplorasi kepercayaannya dan keluarga juga cukup mendukungnya. Salah satunya, walaupun sejak kecil Sam sudah mengikuti agama mamanya, tidak asing baginya pergi ke mushala bersama ibunya.

Selain itu Sam juga suka mengeksplorasi penampilannya. Sam kecil suka berdandan. Dari dulu, ia akan ikut berdandan bersama ibu dan mamanya.

“Aku dulu pas kecil juga suka pakai kain-kain, terus dijadiin rok sambil sok-sok nari Jawa,” kenang Sam.

Keluarganya tidak pernah melarang meskipun terkadang ia dibilang seperti perempuan.

Penemuan Identitas Baru Sebagai Queer

Sam mulai menyadari ia berbeda sejak TK. Ketika itu ia mengantre ke toilet dan diharuskan berbaris sesuai gender, laki-laki dan perempuan. Di situ, ia tidak tahu harus mengantre di mana. Ia merasa belum diajari oleh orang tuanya. Perlu waktu yang lama hingga ia sadar bahwa kebanyakan orang tidak perlu belajar untuk mengetahui gendernya.

“Ketika aku mulai belajar SOGIESC saat SMA, dari situ aku reclaim my identity as a non-binary,” jelas Sam.

Penemuan identitas spiritualitasnya yang sekarang, Buddha, juga dimulai sejak Sam masih kecil. Mama Sam-lah yang memperkenalkannya tentang konsep reinkarnasi di Buddhisme. Hingga ia akhirnya mulai mencari tahu sendiri, seperti menonton Dharma TV, mendengarkan dari orang lain, hingga mendalami agama tersebut.

Baca Juga: Ramai di Medsos Soal Tulisan ‘Jalan Tobat LGBT’: Kegagalan Media Memandang Hak Minoritas

Pencarian spiritualitas dalam Buddhisme ini diinisiasi oleh keingintahuan Sam terhadap banyak kepercayaan. Kepercayaan yang ia yakini sebetulnya adalah agnostik. Karena banyaknya spiritualitas yang ia pelajari, tidak sebagai dogma melainkan produk budaya, ia mencari kepercayaan yang bisa memuaskan keingintahuannya tersebut.

“Itu karena Buddhist open to alternative; pencarian seperti itu sangat lumrah dan menurut tradisi memang caranya kayak gitu,” ujarnya.

Hingga awal 2020 sampai sekarang, Sam memutuskan untuk belajar Buddhisme langsung dari vihara. Mama dan ibunya pun mendukung pilihannya untuk berpindah ke Buddha.

“Ya tidak apa-apa, pokoknya orang tua mendoakan yang terbaik supaya anaknya jadi orang baik,” kata ibu Sam, sebagaimana diutarakan oleh Sam.

Intoleransi dan Penolakan dari Lingkungan Sekitar

Penolakan tentang spiritualitas Sam tidak muncul dari dalam keluarga, melainkan dari masyarakat luar. Penolakan itu datang dari teman-temannya di lingkungan rumah Sam yang mayoritas Islam.

“Pas aku kecil, mereka bilang ke teman-teman lain, ‘enggak usah ditemenin karena dia Katolik’,” ingat Sam.

Namun penolakan itu hanya berlangsung sampai TK karena selanjutnya Sam bersekolah di SD swasta Katolik. Sejak itu, Sam tidak lagi bermain dengan teman-teman rumahnya.

Tapi tidak lama, muncul konflik lain. Teman-temannya banyak yang mem-bully karena ia berperilaku seperti perempuan.

Baca Juga: Riset: Jelang Tahun Politik, Pemberitaan Media Online Diskriminatif Terhadap LGBT 

“Dulu aku sering berantem karena dipanggil bencong sama temen-temen SD pas aku lagi jalan biasa,” Sam membawa kembali memori masa lalunya.

Untungnya mama Sam dan ketiga kakaknya selalu mengajari Sam untuk berani melawan. Saat Sam mengingat kembali kenangan itu, ia tidak tersinggung jika dikatakan seperti perempuan. Malah, ia rasa itu pujian. Tapi saat dipanggil ‘bencong’, Sam merasa hal itu seperti cercaan, sehingga ia memukul orang yang memanggilnya demikian.

Konflik lain juga datang dari orang terdekatnya dan terjadi saat ia sudah dewasa. Saat Sam memutuskan merantau ke Yogyakarta untuk kuliah perfilman, banyak temannya yang vokal atas identitas mereka. Dengan begitu, ia mulai berani terbuka dengan ekspresi gendernya di masyarakat, termasuk di media sosial.

Baca Juga: Marak Perda Anti LGBT, Diskriminasi Makin Banyak Terjadi 

Hingga akhirnya mama Sam melihat foto WhatsApp Sam menggunakan lipstik dengan tanktop putih dan rambut panjangnya yang terurai. 2-3 hari setelah ia mengunggah fotonya, sang mama mengirimkan pesan, “Kok, kayak perempuan? Mama minta maaf ya kalau ada yang salah, jangan seperti itu.”

Melihat pesan itu, Sam langsung menjawab panjang lebar tentang apa salahnya berdandan seperti perempuan. Ia tidak habis pikir: kenapa orang yang dahulu melindunginya dari ejekkan ‘bencong’ dari keluarganya, tidak satu pemikiran lagi dengannya?

Esoknya, setelah Sam mengirimkan pesan itu, kakaknya mengirimkan pesan di Instagram, “Janc*k, koyok bencong kon.

Sam membalas, “Jangan mikir kon doang, mama juga.”

“Terus, mas-ku cerita kalau mama itu sampai nangis. Terus I assume dia nangis karena aku,” kata Sam mengakhiri cerita.

Saat itulah Sam sadar bahwa situasi di keluarganya sudah berubah karena pengaruh masyarakat di sekitarnya. Kampung tempat Sam dibesarkan tidak senyaman yang ia pikirkan.

“Aku yang marginalized itu baru sadar kalau ini toxic banget, kayak lingkungan tinggal ini enggak bisa menerima perbedaan,” Sam berujar.

Penerimaan terhadap Identitas Baru sebagai Buddhist-Queer

Walaupun ada penolakan dari orang terdekat, Sam senang dengan identitas majemuk sebagai Buddhist-queer. Ketidaktahuannya dahulu terhadap identitas majemuk dirinya cukup terpenuhi sekarang. Namun baginya, ini bukan akhir; ia tidak mau merasa puas dengan identitas yang ia temukan sekarang, baik sebagai Buddhist maupun sebagai queer.

“Karena ada pengetahuan atau persepsi yang aku belum tahu di masa depan,” jelas Sam.

Tapi yang pasti, keputusan Sam untuk menyuarakan dan memakai identitas majemuk-nya sebagai Buddhist-queer hanyalah untuk memberikan representasi di lingkungannya.

Sam melihat masih banyak orang termarjinalkan yang belum mendapatkan representasi di media, sehingga berpengaruh terhadap orang-orang terdekatnya. Salah satunya keluarga, yang mudah menghakimi identitas mereka.

“Coba kalau mereka ada representasi teman dan keluarga dari yang dipotret media tapi tidak benar, paling tidak mereka memperhitungkan orang yang mereka ketahui dan bisa ngasih awareness ke orang lain. Itu motif kenapa aku reclaim sebagai minoritas apa pun,” tutup Sam.

Meskipun Sam hidup di tengah-tengah masyarakat dengan latar belakang multikultural, identitasnya yang berbeda tetap amat sulit untuk diterima orang terdekatnya. Jika ada kesempatan, Sam hanya ingin menjadi dirinya sendiri tanpa adanya terminologi identitas. Walaupun begitu, melalui identitas majemuk atas dirinya, ia memberikan jalan kepada orang termarjinalkan di masyarakat untuk bisa menjadi diri mereka sendiri, terlepas dari stigma-stigma yang ada.

Terra Istinara

Jurnalis lepas dari SeeMarlin.id
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!