The Voice: Sejumlah Polisi Tolak Gunakan UU TPKS, Tantangan Berat Penanganan Korban

Sejumlah institusi polisi menolak penggunaan UU TPKS. Data dari 3 kantor LBH APIK di Medan, Jakarta dan Jawa Barat menyebut, ini merupakan tantangan berat yang dihadapi para pendamping korban dalam mendorong implementasi UU TPKS di lapangan.

Konde.co menghadirkan “The Voice”: Edisi khusus para aktivis perempuan menulis tentang refleksinya. Ini merupakan edisi akhir tahun Konde.co yang ditayangkan 28 Desember 2022- 8 Januari 2023

Setelah melalui perjuangan panjang, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual/UU TPKS akhirnya berhasil disahkan di Sidang Paripurna di DPR pada tanggal 12 April 2022 dan diundangkan sebagai UU No. 12 tahun 2022 oleh Pemerintah pada tanggal 9 Mei 2022 

Ini artinya, pasca diundangkan, UU TPKS sudah dapat dieksekusi untuk diterapkan dalam kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi setelah UU TPKS diundangkan, terutama terkait aspek materil maupun aspek formilnya, tanpa menunggu aturan turunannya seperti PP maupun Perpres.

Untuk mendukung pelaksanaan UU TPKS, pada tanggal 28 Juni 2022, Kapolri telah mengirimkan surat telegram dengan nomor ST/1292/VI/RES.1.24/2022, kepada semua Kapolda di Indonesia, memerintahkan semua institusi  kepolisian di semua wilayah untuk menegakkan UU TPKS.

Namun, dalam praktiknya, banyak ditemukan kepolisian setempat menolak penggunaan UU TPKS. 

Keluhan dari para pendamping korban terkait penolakan polisi tersebut mengemuka dalam diskusi-diskusi sosialisasi UU TPKS di berbagai daerah, seperti di Medan, Banjarmasin,  dan Makassar. Berbagai alasan yang disampaikan kepolisian, antara lain, masih menunggu Peraturan Pemerintah/PP-nya, belum ada juklak dan juknis dari institusinya, hingga alasan lebih nyaman dengan aturan yang sudah ada sebelumnya.  

Situasi ini, keengganan penyidik menggunakan UU TPKS menjadi salah satu tantangan yang dihadapi para pendamping saat ini dalam mendorong implementasi UU TPKS di lapangan.

Pengalaman 3 kantor LBH APIK di Medan, Jakarta dan Jawa Barat mendapatkan data tentang sikap Aparat Penegak Hukum/APH yang enggan menerima laporan. Kondisi ini membuat korban menarik diri dan tidak meneruskan upayanya ke jalur hukum, karena sikap polisi.

Hambatan ini ditemukan dalam laporan kasus Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik/KSBE yang didampingi LBH APIK Medan. 

Seorang perempuan, HD (26 tahun), dipaksa untuk mengirim foto, video, dan vcs (video call sex) oleh pacarnya yang dikenalnya melalui sebuah aplikasi kencan. Saat korban mau lepas dari pelaku dan tidak ingin melanjutkan aktivitas pengiriman konten seksual, korban diancam oleh pelaku yang akan menyebarkan konten tersebut ke media sosial seperti Twitter dan lainnya. Korban ketakutan dan khawatir jika disebarkan, dan tanggal 1 september 2022 korban membuat pengaduan ke LBH APIK Medan. 

Dengan pendampingan LBH APIK Medan, korban membuat laporan di kepolisian dengan menggunakan UU TPKS pasal 14 ayat 1 huruf a. Namun laporan korban tidak diterima penyidik. Hingga dilakukan pelaporan tiga kali, tidak ada respons dari Kepolisian Daerah Sumatra Utara (POLDASU). Sikap APH yang tidak serius merespons laporan, membuat korban depresi, dan enggan meneruskan ke jalur hukum. Saat ini korban didampingi untuk mendapat pemulihan psikologis. 

Kasus KSBE merupakan kasus yang cukup tinggi di Sumatra Utara. Berdasarkan data kasus kekerasan terhadap perempuan yang masuk ke LBH APIK Medan selama 3 tahun terakhir, terdapat  68 kasus. Sebanyak 31 kasus diantaranya adalah KSBE. Terdapat 18 kasus KSBE sejak UU TPKS diberlakukan. [1]

Selain hambatan di atas, hambatan lainnya ditemukan dalam penanganan kasus KSBE di LBH APIK Jakarta, yakni Kepolisian menolak laporan dengan UU TPKS dengan alasan belum ada peraturan pelaksana atas UU TPKS, dan belum ada juklak dan juknisnya seperti UU ITE. Sehingga pendamping tetap menggunakan UU ITE demi laporan  bisa diproses. Alat digital forensik untuk pembuktian kasus KBGO hanya dimiliki Polda dan Mabes Polri dan terbatasnya pengaturan KSBE dalam UU TPKS, sehingga masih andalkan UU ITE, sementara di sisi lain UU ITE tidak mengatur hak-hak korban KSBE. Korban cenderung dibebani untuk mencari alat bukti dan tidak ada jaminan untuk korban untuk tidak dilaporkan balik oleh pelaku.

Hambatan ini disampaikan oleh pendamping LBH APIK Jakarta, juga dalam laporan Catahu LBH APIK Jakarta tahun 2022 terkait penanganan kasus KSBE baik sebelum maupun setelah UU TPKS berlaku.

Dalam kurun tahun 2022, LBH APIK Jakarta telah menerima pengaduan sebanyak 440 kasus KSBE dengan beragam bentuk,  sebagai berikut: ancaman penyebaran yang bernuansa seksual (212 kasus); ancaman penyebaran dan pemerasan uang dan seksual (122 kasus);  penyebaran konten intim tanpa konsensual (49 kasus); penguntitan online bernuansa seksual (21 kasus); perusakan reputasi dengan menggunakan gambar/tulisan/video yang bermuatan asusila (14 kasus); pelanggaran privasi atau perekaman gambar/ video/suara yang bernuansa seksual tanpa izin (12 kasus); pengambilalihan akun untuk tujuan menguasai dokumen/gambar/video yang bermuatan asusila atau seksual (10 kasus). [2]

Dari 440 kasus KSBE yang diadukan, hanya 8 kasus diantaranya yang dilaporkan ke kepolisian, sisanya didampingi secara non litigasi antara lain: konsultasi (440 kasus), somasi (155 kasus), layanan psikolog (115 kasus), rujuk ke lembaga keamanan digital (125 kasus), dan rujuk ke lembaga jaringan (100 kasus). 

Hambatan terakhir ditemukan dalam pendampingan kasus KSBE yang dilakukan oleh LBH APIK Jabar sebagai berikut APH menuntut objeknya harus berupa tubuh korban dan itu pun harus gambar atau foto atau rekaman korban yang telanjang bagian atas, atau bawah, atau seluruh badan.

Anggapan sepanjang tidak menampilkan wajah korban, maka tidak ada yang dirugikan, dan tidak perlu dilaporkan. Pandangan bahwa terhadap semua tindak pidana delik aduan dapat dilakukan RJ, sehingga didorong atau diupayakan untuk damai.

Sepanjang tahun 2021-2022, LBH APIK Jabar telah menerima sekitar 20  kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis gender, 6 diantaranya kasus KSBE sebagai berikut: [3]

  1. Ancaman penyebaran konten seksual korban, untuk meminta sejumlah uang
  2. Mantan pacar memiliki rekaman konten seksual korban , dan digunakan untuk minta balikan  padahal sudah berkeluarga
  3. Perekaman konten seksual yang tidak disetujui korban, atau dilakukan dengan bujukan atau  tekanan psikis (ancaman putus hubungan)
  4. Kasus penguasaan konten seksual milik korban, yang diakses dan dimiliki tanpa sepengetahuan/izin korban
  5. Pengambilan  dan penyebaran di medsos, foto-foto pakaian dalam milik korban yang diantaranya digunakan untuk masturbasi (terdapat sperma pelaku)
  6. Penyebaran rekaman konten seksual yang diambil tanpa sepengetahuan korban

Adapun, situasi korban KSBE pada umumnya:

o   Merasa ketakutan, malu dan menyesal sudah menuruti keinginan pelaku  membuat korban tidak berani laporkan kasusnya.

o   Korban khawatir pelaku balas dendam dengan menyebarkan  rekamaan dirinya ke media sosial dan   diketahui orang tua dan teman-temannya.

o   Adanya kerentanan korban saat mengadukan kasusnya. Terlepas dari ada/tidak ancaman, korban merasa nasibnya berada dibawah kendali pelaku.

Dengan situasi dan kondisi korban tersebut, berikut pilihan korban dalam merespons kasusnya:

1. Korban hanya ingin konsultasikan kasusnya.

2. Korban berupaya tarik ulur dan melayani keinginan pelaku, supaya rekaman  tidak diedarkan.

3. Pendekatan dengan cara kekeluargaan, agar pelaku mau menyerahkan rekaman video korban.

4. Menuntut penyelesaian oleh pimpinan kampus daripada laporkan ke jalur hukum.

5. Melaporkan ke Kepolisian.

Pengawalan implementasi UU TPKS menjadi fokus di gerakan perempuan/jejaring masyarakat sipil saat ini, yang sebelumnya juga mengawal lahirnya UU TPKS seperti Jaringan Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), Jaringan  Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS), Forum Pengada Layanan (FPL), dan Jaringan Masyarakat Sipil (JMS). 

Selain mengawal aturan turunan yakni 5 PP dan 5 PerPres, juga mengawal melalui pendampingan korban dan/atau penanganan kasusnya. Melalui penanganan kasus, kita dapat menguji penerapan pasal-pasal dalam UU TPKS yang merupakan terobosan dalam sistem hukum pidana di Indonesia. 

Bagaimanapun keberhasilan ditingkat substansi hukum dengan lahirnya UU TPKS, tidak berarti manakala UU yang sudah berbasis bukti (evidence based legislation) tersebut, gagal diterapkan atau gagal mencapai tujuannya  yang penting  yakni untuk meminimalkan TPKS di masyarakat, menciptakan ruang aman bagi seluruh masyarakat, dan melindungi hak-hak korban meliputi hak atas perlindungan, penanganan dan pemulihan. 

Bagaimana Implementasi dalam Kasus Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik?

Ada Sembilan bentuk TPKS yang dirumuskan normanya dalam UU TPKS yakni pelecehan seksual secara fisik dan non fisik, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penganiayaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan terakhir, kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).

Kasus KSBE menarik untuk dicermati mengingat kasus KSBE atau dengan istilah yang popular sebagai KSBO atau KBGO merupakan kasus yang cukup tinggi bahkan salah satu kantor LBH APIK di Jakarta melaporkan KBGO sebagai kasus tertinggi sejak Covid-19 terjadi ( Catahu LBH APIK Jakarta tahun 2021).

KSBE adalah salah satu bentuk TPKS yang diperjuangkan hingga akhirnya berhasil masuk sebagai salah satu dari 9 bentuk TPKS. Sebelumnya pemerintah mengusulkan untuk dihapus dalam drafnya (Daftar Inventaris Masalah/DIM) dengan alasan sudah ada UU ITE. Padahal UU ITE dianggap kontroversial karena acapkali digunakan untuk mengancam dan melaporkan balik korban atas nama pencemaran baik oleh pelakunya, alih-alih untuk melindungi korban KSBE.  

UU ITE juga tidak bisa digunakan untuk korban yang diambil gambarnya yang memuat konten seksual tanpa sepengetahuan atau kehendak dari orang yang bersangkutan. UU ITE hanya mengatur ketika konten seksual tersebar di media elektronik. 

UU ITE bisa menjerat pelaku penyebaran konten seksual, namun disaat yang sama bagaikan dua sisi mata uang, sisi satunya bisa berbalik menjerat  korban, ketika korban dianggap ikut berkontribusi “membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” (Pasal 27 ayat 1), atau bila korban dianggap melakukan pencemaran nama baik seperti pada kasus Baiq Nuril (Pasal 27 ayat 3).

Saat ini, melalui UU TPKS pasal 14, para korban KSBE dapat melaporkan pelaku yang membuat perekaman konten seksual tanpa persetujuan korban, atau pelaku yang mentransmisikan gambar bermuatan tanpa kehendak penerimanya serta pelaku yang melakukan penguntitan untuk tujuan seksual. Bila perbuatan pelaku tersebut digunakan untuk mengancam, memeras, menyesatkan, atau memperdaya korban, maka sanksinya diperberat dari semula 4 tahun menjadi 6 tahun. 

Dan yang menarik dalam pasal 14 UU ini, bila perekaman atau transmisi konten seksual dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari Tindak Pidana Kekerasan Seksual, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. 

Namun, pasal 14 UU TPKS ini merupakan delik aduan bagi orang dewasa. Untuk korban anak dan penyandang disabilitas barulah merupakan delik biasa. Konsekuensinya, bagi korban dewasa ia sendiri yang harus mengadukan kasusnya, dan kasus dapat dicabut korban, bila berubah pikiran atau tidak ingin dilanjutkan proses hukumnya. Selain itu belum semua bentuk KSBE yang dimuat dalam pasal 14, selain juga masih mengandalkan UU ITE untuk penyebaran konten seksual di media elektronik. 

Belum ada Perubahan Signifikan sejak UU TPKS Disahkan

Belum ada perubahan yang signifikan pasca UU TPKS diundangkan. Kenyataannya masih tidak mudah melaporkan kasus KSBE. Pendamping harus fighting untuk penerapan pasal, terutama untuk menggunakan UU TPKS.

APH masih bertumpu pada KUHP(KUHP minded) yakni pendekatan kesusilaan atau perbuatan cabul yang acapkali dimaknai sebatas “lingkungan nafsu birahi kelamin” , sebagaimana Penjelasan R. Soesilo dalam KUHP.  

Meskipun masih ada keterbatasan dalam UU TPKS, namun UU baru ini memberikan sejumlah peluang akses keadilan bagi korban, hal mana tidak diatur dalam UU ITE. Oleh sebab itu perlu terus dikawal implementasinya.

Terhadap berbagai hambatan yang ditemui pasca UU TPKS diberlakukan, perlu upaya-upaya konkret untuk antisipasinya. Beberapa rekomendasi yang bisa diusulkan sebagai berikut:

1.  Melakukan advokasi kasus KSBE secara nasional melalui  gelar perkara, dan pengumpulan data dan  kajian komprehensif atas kasus, termasuk respons APH.

2.  Melakukan audiensi ke Kapolri, KPPA dan K/L terkait terkait strategi implementasi UU TPKS

3.  Mendorong adanya Pedoman penanganan kasus KSBE berikut Juklak dan Juknis di internal APH.

4.  Sosialisasi UU TPKS secara masif di internal kepolisian dan APH lainnya

5.  Perlu bimbingan teknis terkait penerapan aspek materil dan formil UU TPKS,  diberikan kepada para penyidik, tidak saja di unit PPA tetapi juga unit cyber crime di kepolisian.

6.  Menyiapkan ahli-ahli terkait KSBE yang memiliki perspektif gender dan HAM yang bisa diakses oleh korban/pendamping.

7.  Memperbanyak jejaring/organisasi yang bisa membantu mendampingi  korban untuk mengakses penghapusan konten seksual secara langsung dari platform digital. 

Catatan kaki

[1] Data kasus LBH APIK Medan 2022

[2] Catahu LBH APIK Jakarta tahun 2022

[3] Data pendampingan LBH APIK Jabar 2021-2022

Ratna Batara Munti

adalah Pengurus di Asosiasi LBH APIK Indonesia Bidang Advokasi Kebijakan, serta Direktur Eksekutif LBH APIK JABAR. Kontak email: rbm_apik@yahoo.com
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!