Ciri-Ciri Laki-Laki Tak Menarik: Pemalas dan Jadi Beban Keluarga

Kamu pernah ketemu dengan laki-laki yang tak menarik? Aku mungkin ketemu beberapakali, tapi yang ini, sangat tidak menarik. Dia malah seolah bangga membebani ekonomi keluarga.

Aku berjumpa dengan lelaki itu satu sore di depan toko. Satu akhir pekan, aku terpaksa duduk cukup lama bersamanya gara-gara menunggu hujan deras.

Awalnya, obrolan kami hanya yang ringan, seputar hidup dan pekerjaan. Begitu aku beritahu salah satu pekerjaanku adalah penulis lepas, laki-laki yang tengah memangku gitar itu tampak tertarik. Mulailah dia bertanya-tanya lebih jauh.

“Kak, kalo nulis blog gitu kira-kira gimana caranya? Saya suka menulis kisah saya sendiri, cuman gak tahu apa bakal menginspirasi orang atau enggak.”

“Suka online, gak?”tanya saya, walau sedikit skeptis. Maafkan kesombongan saya. Hari gini masih nggak ada yang tahu cara bikin blog? “Tinggal cari situs blog gratisan mana yang kira-kira cocok. Mau pake WordPress, Blogspot, atau yang seperti Kompasiana juga bisa.”

“Nah, itu dia, saya nggak tahu harus mulai dari mana.”

Mataku menyipit skeptis. Astaga, masa sebesar ini masih harus disuapi, sih?. Aku mengawali karir menulisku dari asal nge-blog di WordPress. Prosesnya memang panjang sih, tapi menurutku layak ditekuni. Ketekunanku kini mulai terbayar, meskipun aku juga masih punya dua pekerjaan lain, yaitu mengajar Bahasa Inggris dan menjadi penerjemah.

Lalu, mengalirlah cerita laki-laki pemegang gitar itu. Awalnya, dengan bangga dia menyatakan dia cucu laki-laki pertama dari keluarga besarnya. Dia memilih untuk kuliah di jurusan hukum, sebelum akhirnya malah keluar (DO) di tengah jalan. Alasannya langsung membuatku mual, apalagi disampaikan sambil cengengesan.

“Kenal dan percaya sama orang yang salah, yang janjiin kerjaan yang bisa bikin cepet kaya,” katanya. “Biasa, bandelnya laki-laki.”

“Tetap saja itu bukan alasan.”

“Iya, sih.” Meskipun mengakui, tidak kurasakan ketulusan atau persetujuan di nada suaranya.

“Pas keluar, sempet ada dosen ngajakin saya buat nerusin kuliah. Tapi waktu itu saya males, dengan alasan: ‘Ah, ngapain, Pak? Sistem hukum di Indonesia ‘kan udah bobrok, banyak korupsinya’.”

“Wah, sayang,” komentarku tanpa ampun. “Padahal kalo nggak nyerah, bisa jadi salah satu orang yang berusaha memperbaiki sistem hukum negara.”

“Iya, sih.” Lagi-lagi hanya itu yang bisa dikatakannya. Mungkin dia juga mulai kesal karena gagal meraih simpati saya. “Makanya, sekarang mau cari kerjaan yang bisa dapat uang banyak dalam waktu singkat.”

Astaga, bahkan di era pandemi Covid-19 ini, masih ada saja yang nekat bermimpi muluk-muluk. Jangankan yang masih pengangguran, yang sudah bekerja keras saja belum tentu langsung mendapatkan uang sebanyak yang ada di benaknya.

“Mbak penulis, ‘kan? Punya teman wartawan juga, dong?” Saat aku mengangguk, laki-laki ini malah semakin tak tahu malu. “Mbak, gimana sih, caranya dapet link koneksi ke lingkaran pers gitu, biar bisa ikut ngeliput?”

“Gak harus pers sih, karena sekarang banyak situs yang suka cari penulis atau blogger freelance.”

“Pernah sih, saya dapat tawaran nulis seperti itu,” akunya. “Dari Ormas, sehari harus bikin 20 artikel di blog mereka. Tapi, idenya nggak cocok sama saya. Kantornya juga jauh lagi.”

Oke, cukup. Aku bersyukur hujan akhirnya berhenti, hingga aku bisa buru-buru pamit pulang dengan alasan kerjaan menunggu. Namun, laki-laki pemalas itu masih berseru saat aku sudah agak jauh:

“Kak, kalo ada koneksi lowongan kerja jadi penulis, bagi-bagi, yaaa…”

Tidak, terima kasih. Bahkan meskipun bisa, aku gak mau merekomendasikan sama si pemalas. Seperti yang sudah kudengar contohnya tadi, mereka selalu punya alasan untuk menawar.

Oke, mungkin juga dalam hati aku marah. Ya, aku marah dengan betapa tak sadarnya dia dengan privilege yang dimilikinya: bisa kuliah, dari kalangan yang punya duit. Masih banyak perempuan muda yang sebenarnya ingin namun tidak bisa kuliah. Penyebabnya bisa karena keluarganya yang tidak punya biaya atau lebih memprioritaskan pendidikan anak laki-laki mereka.

Banyak juga perempuan yang sudah bekerja keras, punya gaji sendiri, hingga membiayai keluarganya. Celakanya, mereka masih dianggap sebagai “beban ekonomi keluarga”, hanya karena belum menikah.

Padahal, laki-laki semacam inilah beban ekonomi keluarga yang sesungguhnya.

Ruby Astari

Sehari-hari bekerja sebagai translator dan author. Ia juga seorang blogger dan banyak menulis sebagai bagian dari ekspresi dirinya sebagai perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!