Whitney Houston: Glory dan Tragedy Dalam Film ‘I Wanna Dance With Somebody’

Rasanya tak pantas menyebut Whitney Houston ‘hanya’ sebagai penyanyi kelas dunia. Lebih dari itu, Whitney adalah penyanyi perempuan yang hidup dengan melawan stereotip sebagai penyanyi kulit hitam.

Whitney Houston adalah penyanyi yang hidup dalam politik panggung yang mengharuskan ia untuk selalu jadi perempuan yang terlihat sempurna. Padahal bagi Whitney, hidupnya tak semudah itu.

Buat kamu yang anak 90-an, referensi musikmu pasti tak lepas dari lengkingan penyanyi perempuan muda yang disebut punya suara emas di dunia. Siapa lagi kalau bukan Whitney Houston.

Penyanyi yang pernah jadi nomor satu di dunia karena banyaknya penghargaan bergengsi yang ia raih ini, ternyata punya segudang glory, dipuja-puja, tapi juga tragedi ketika ia dilecehkan karena ras nya, seksualitasnya atas penilaian atau framing politik di atas panggung: Whitney tetap saja dilihat sebagai penyanyi kulit hitam yang harus bersaing ketat dengan penyanyi kulit putih, dan ini menjadikan hidupnya jadi tak mudah.

Nasib Whitney Houston berangsur menjadi gelap setelah ia mendapatkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dari suaminya yang juga penyanyi, James Brown. Ia mengalami depresi hebat dan berakhir dengan kematian karena narkoba.

Film “I Wanna Dance With Somebody” (2022) benar-benar film musikal yang enak dilihat, penuh dengan gegap gempita musik, lagu-lagu yang dinyanyikan Whitney Houston (diperankan oleh Naomi Ackie) ada dari masa ke masa. Ada lagu The Greatest love of All yang melambungkan namanya ketika ia menyanyi di depan produser, Clive Davis,  dan berturut-turut lagu “I Have Nothing” dan “ I will always Love you” yang membuat nama Whitney Houston makin berkibar-kibar.

Film diawali dengan Whitney yang tiap hari harus bekerja sebagai penyanyi latar ibunya setiap malam, di sebuah klub malam di New Jersey, Amerika. Ketika menyanyi inilah, ia kemudian bertemu Clive Davis (Stanley Tucci) yang kelak jadi produsernya.

Dalam sebuah pub dimana Whitney bekerja sejak sekolah dan menjadi backing vocal ibunya, Cissy Houston (Tamara Tunie), Whitney dipertemukan dengan Clive Davis dan diminta menyanyi. Cissy, ibunya pura-pura sakit dan menyuruh Whitney yang menggantikannya. Clive Davis sontak tertarik dengan suara emas Whitney dan langsung menawarinya kontrak untuk rekaman.

Davis mengikat kontrak kerjasama di tahun 1983 dengan Whitney yang kala itu masih muda di umur 19 tahun. Clive Davis seperti teman bagi Whitney, mereka cocok bekerjasama dan kerjasama ini berlangsung selama 29 tahun, sampai Whitney meninggal di tahun 2012.

Film ini seperti menampilkan gegap-gempita Whitney Houston di atas panggung, kita seperti tidak sedang menonton film, tapi lebih seperti sedang nonton Houston pentas atau konser di atas panggung. Musik dan suara yang  sangat memukau. Maka, jika mengajak anak muda di masa ini yang tidak tahu siapa Whitney Houston, film ini tetap cocok ditonton karena seperti melihat musik-musik yang dulu pernah mendunia dan semua orang bisa menikmatinya.

Walaupun menampilkan banyak lagu, namun film ini kurang menampilkan detail-detail sisi muram yang dialami Whitney atau sisi cerita yang kurang mendalam. Maka sejumlah pengamat jadi ragu menyebut ini sebagai film biopik. Padahal ada banyak sisi gelap yang dialami Houston yang seharusnya diperdalam, seperti perlakuan rasis dari penonton yang dilakukan terhadap Whitney 

Dengan Bobby Brown, suaminya, peristiwa rasisme ini bisa ia ceritakan. Ia awalnya seperti punya teman untuk bercerita, namun juga Brown menjadi orang yang kemudian menghempaskannya.

Ketika cintanya dengan sahabat perempuannya,  Robyn Crawford (diperankan oleh Nafessa Williams), harus terhempas karena ayahnya tidak menyetujui hubungan mereka. Namun sayangnya, film ini kurang membahas konflik ini secara mendalam, padahal ini merupakan sisi menarik dari pergulatan Whitney, yaitu relasinya dengan Bobby Brown dan Robyn.

Hubungan Whitney dan Robyn karena punya relasi cinta antar perempuan, kemudian dianggap tidak bagus untuk dunia bisnis atau dunia musik yang sudah dimasuki Whitney.

Juga bagaimana sulitnya ia keluar dari hubungan sesama perempuan dengan Robyn ini ketika ditentang ayahnya. Perjuangannya untuk anak dan rumah tangganya, dan juga dari dominasi ayahnya, John Houston yang diduga menggunakan uang Whitney untuk membiayai pacar baru John Houston merupakan hal gelap yang dialami Whitney selanjutnya.

Ini semua ditampilkan di film, namun sayang kurang mendalam, padahal ini merupakan sisi gelap, drama penting kehidupan Whitney.

Mungkin film ini harus ditambah durasinya atau kedalaman cerita untuk melihat hal yang lebih gelap yang dialami Whitney. Filmnya sendiri sudah lumayan panjang, yaitu dengan durasi 143 menit, namun untuk melihat sisi gelap, ini belum cukup.

Film ini dirilis di tahun 2022 untuk memperingati sewindu meninggalnya Whitney Houston. 

Dalam perspektif feminis, Rajeev Anand Kushwah dalam feminisinindia.com menuliskan tentang gejolak, pergumulan yang dialami Whitney tentang statusnya sebagai ikon queer, dan juga tekanan untuk mempertahankan citra yang bersih, bermoral, dan terhormat; berurusan dengan penyalahgunaan narkoba dan alkohol; dan keseimbangan halus antara kehidupan pribadi dan profesional.

Ini yang kemudian banyak disebut sebagai politik di ruang yang penuh gegap gempita, di industri musik dan politik ketenaran, bagaimana Whitney harus menampilkan identitasnya secara sempurna dan menjadi perempuan terhormat. Padahal ia hidup di tengah-tengah orang yang kurang mendukungnya, diantara uang dan ketenaran.

Padahal ini adalah pencapaian luar biasa yang dilakukan Whitney, seperti ia bisa menjadi penyanyi nomor satu dunia ketika banyak pihak memojokkannya, tak setuju atas pilihan-pilihannya, sebagai korban kekerasan dan harus tampil sempurna dalam frame politic entertainment dan ayah yang menganggapnya sebagai aset bisnis, bukan sebagai anak dan manusia

Whitney Houston (9 Agustus 1963 – 11 Februari 2012) adalah penyanyi pop dan R&B dunia. Kesuksesannnya membuka pintu bagi para penyanyi Afrika-Amerika yang lain, khususnya dari perempuan untuk sukses di dunia musik.

Dia juga sering sekali dijuluki sebagai “The Voice”.Whitney Houston dikenal sebagai salah seorang diva pop yang memiliki jangkauan suara kuat 3,5 oktaf. Ia juga dikenal karena kemampuan penyanyi pop-gospel yang bersuara indah dan kuat.

(Foto: Pop-culturalist.com)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!