Dilansir dari cnnindonesia.com, Kemendikbud menyatakan sekolah di Indonesia mengalami kekurangan guru dengan kisaran 1 juta guru pertahun dari tahun 2020 hingga 2024, angka ini semakin meningkat pertahunnya.
Angka ini hanya untuk sekolah negeri, sekolah negeri saja kekurangan guru, bagaimana kabar sekolah swasta yang di bawah naungan Yayasan? Tidak semua Yayasan memiliki dana yang cukup. Sekolah bonafit di kota – kota besar bisa dipastikan di bawah naungan Yayasan orang kaya dan memberikan honor ke guru minimal UMR.
Lalu bagaimana kabar guru sekolah swasta yang kecil di pedesaan di bawah naungan Yayasan yang serba kekurangan, hanya bermodalkan visi misi demi masa depan anak bangsa?
Saya ingin menceritakan dua kisah, yang pertama adalah pengalaman saya sendiri. Sebenarnya, label yang melekat pada saya adalah guru les privat, yang sudah saya geluti sejak kelas 1 SMA tahun 2010. Pada ujung tahun 2022, memberanikan diri melamar ke sekolah di salah satu pedesaan di kabupaten Gresik.
Yang kedua, adalah kisah yang saya dengarkan dari teman saya seorang guru di sekolah Internasional di kota Tangerang Selatan. Dua kisah ini menjadi contoh kecil apa yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia, yang belum bisa menghargai keberadaan guru dan jauh dari kata sejahtera.
Kisah Saya: Dibentak-Bentak Siswa
Awal Nopember 2022, ini adalah pengalaman baru saya, mengajar di sekolah. Selalu senang bisa berbagi ilmu ke adik-adik, pengalaman pertama mengajar siswa dengan jumlah banyak.
Ternyata kehadiran saya memberikan warna baru untuk sekolah ini. Guru yang masih muda lulusan perguruan tinggi negeri yang bonafit di Surabaya mau mengajar di sekolah kecil di pedesaan. Guru yang mau mendengarkan siswanya, bisa saling bercerita. Tapi di balik cerita yang indah itu, ada perjuangan seorang laki-laki seperti saya yang dianggap tidak begitu maskulin ini atau saya punya ekspresi gender yang berbeda.
Guru-guru lain pun tidak masalah dengan ekspresi gender saya seperti itu, mayoritas siswa pun tidak mempermasalahkan, sedikit terganggu dengan siswa yang membuat saya sebagai bahan lelucon. Atau mental saya saja yang rapuh? Atau pengalaman saya yang kurang banyak mengajar di sekolah? Karena saya berfikir, guru laki-laki dijadikan bahan lelucon karena tidak maskulin pasti banyak, tidak hanya saya saja. Bahkan, mungkin saja ada yang lebih parah, seperti dipanggil “guru bencong”.
Tidak berhenti di situ, kisah saya. Di sekolah ini, saya harus memegang 3 mata pelajaran yaitu Fisika, Matematika, PKn dan memegang jabatan Bimbingan Konseling (BK). Kepala Sekolah begitu mempercayai saya untuk memegang semua itu. Kepala Sekolah bisa melihat kemampuan saya.
Baca juga: Perempuan Tak Punya Karir Sebaik Laki-Laki: Beban Ganda Perempuan Guru Honorer
Saya lulusan Fisika, dan tentu saya paham Matematika karena Fisika tidak lepas dari Matematika. Saya juga paham untuk mengajar PKn, karena pengalaman saya yang sering bekerjasama dengan teman-teman LBH dan BK. Saya sering berdiskusi dengan teman-teman psikolog dan belajar kesehatan mental secara otodidak serta belajar menjadi pendengar yang baik. Dengan tanggung jawab sebanyak itu saya bisa mengantongi uang sebesar Rp 1.200.000 perbulan. Apakah cukup penghasilan segitu? Oh tenang, saya akan lanjut mengajar privat dari sore hingga malam. Apakah tidak capek? Ya, bayangkan saja, setiap hari dari pagi sampai malam, penghasilan tidak sampai ke angka 4 juta.
Capek fisik bagi saya tidak masalah, pengalaman mengajar di sekolah itu hanya bertahan 2 bulan saja. Waktu yang sebentar tapi mental saya ternyata kena. Saya dibentak dan diancam oleh siswa saya sendiri, saya hanya melanjutkan peraturan BK sebelumnya, jika telat didenda Rp 3.000. Siswa kelas XII (dua belas) telat menawar Rp 5.000 untuk dua orang, saya jelas tidak mau yang saya nyatakan dengan nada yang biasa saja, tidak tinggi.
Siswa ini dengan nada tinggi, “Ini ya pak, Rp 5.000 dua orang ya, daripada bapak saya pukul kepala bapak, ini saja.”
Saya terdiam kaku mendengar ancaman itu dan menghela nafas. Kaget, karakter seorang siswa berani melawan guru. Saya jadi ingat apa yang dibilang guru SMA saya yang masih kontak sampai sekarang. Fungsi guru itu ada dua, yaitu mengajar dan mendidik. Oke, saya bisa mengajar sedangkan mendidik itu tidak bisa dibilang gampang. Ilmu parenting dibutuhkan di sini, guru sebagai orang tua kedua di luar rumah. Pendidikan pertama ada di di rumah, lingkup keluarga.
Kisah Teman Saya: Ditanya Guru-Guru Lain Kapan Nikah?
Selanjutnya, adalah kisah teman saya. Jauh-jauh merantau ke Tangerang Selatan, yang sama dengan saya, lulusan PTN di Surabaya.
Dia mengajar di salah satu sekolah internasional di Tangerang Selatan. Sampai bertemu saya saja, dia ngobrol dengan berbahasa Inggris. Dia bercerita mendapatkan diskriminasi di sekolahnya. Saya penasaran dong, diskriminasi yang bagaimana?
Dia selalu disodorkan pertanyaan oleh guru-guru lain.
“Kapan nikah?.”
“Kok nggak nikah-nikah.”
Seberapa kuat seorang itu hampir setiap hari disodorkan pertanyaan seperti itu. Dia begitu disukai siswa-siswanya karena dia memberlakukan di dalam kelasnya berlaku keberagaman jadi no bullying. Menerapkan no bullying tapi dia diperlakukan yang tidak adil oleh koleganya.
Baca juga: Darurat Bullying Anak, Orang Tua dan Guru Jangan Lengah
Tidak hanya itu yang dia dapatkan. Dia dua kali mendapatkan teguran karena dia sering share soal apa itu seksualitas, teman saya mengutip dari dr. Ryu Hasan, seorang dokter bedah syaraf yang sempat ramai di media sosial.
Teguran terakhir, dia diminta untuk menandatangani surat pengunduran diri. Pengunduran diri inipun dirancang begitu smooth dengan menyebarkan berita bahwa teman saya ini sakit dan harus menjalankan pengobatan, jadi diharuskan mengajar secara online sampai mendapatkan guru pengganti.
Tidak kunjung mendapatkan guru pengganti pada tanggal yang ditentukan, dia diminta untuk mengajar kembali tetap secara online. Teman saya ini tidak mau mengajar secara online karena tidak leluasa sehingga dia kembali mengajar langsung di sekolah dengan catatan segera meninggalkan sekolah. Semesta begitu adil, dia menyebar lamaran, tidak lama kemudian, dia lalu mendapatkan pekerjaan baru di tempat lain.
Sangat kontra, dengan keadaan Indonesia yang kekurangan guru. Banyak juga yang lulus bergelar Sarjana Pendidikan tapi tidak mengabdi di sekolah.
Ya, siapa yang mau dibayar murah? Siapa mau mengabdi tapi didiskriminasi? Iya, ada yang mau bertahan. Saya begitu mengapresiasi guru-guru yang mau bertahan dengan kondisi seperti ini termasuk kolega guru-guru di sekolah pedesaan yang pernah mengajar itu.
Kalian begitu hebat, berkorban demi masa depan anak bangsa. Akankah Indonesia bertahan dengan kondisi seperti ini?