Edisi Khusus Ulama Perempuan: Bagaimana Kiprah Para Ulama perempuan di Indonesia

Sejarah jarang mencatat kiprah para ulama perempuan di Indonesia. Padahal kiprah ulama perempuan sudah terjadi sejak tahun 1700 an.

Konde.co menyajikan edisi khusus ulama perempuan pada 27-28 Februari 2023. Edisi ini menampilkan kiprah para ulama-ulama perempuan yang tersebar di Indonesia dan tak banyak ditulis.

Saat menyebut kata ulama, banyak dari kita yang langsung berpikiran ulama adalah seorang laki-laki. Hal ini tak lepas dari konstruksi sosial yang sudah berlangsung berabad-abad, sehingga peran ulama perempuan cenderung dikecilkan atau bahkan diabaikan dalam catatan sejarah.

Kata ulama selalu dikonotasikan sebagai seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan tentang agama dan beragama. Perempuan seolah tak pernah menjadi bagian dari kata ulama. Konstruksi ini sudah berlangsung selama ratusan tahun atau bahkan berabad-abad dan bertahan sampai saat ini.

Padahal perempuan ulama sangat banyak, pun dengan peran mereka dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Di Indonesia, jumlah ulama perempuan sangat melimpah. Sejak masa sebelum kemerdekaan, tidak terhitung ulama perempuan yang setiap hari aktif di pesantren-pesantren di seluruh tanah air.

Mereka tak hanya mengajari para santri dan membaca kitab kuning, tapi juga mengelola pesantren, merintis pendidikan untuk perempuan sekaligus menjadi rujukan masyarakat dalam meminta nasehat. Tak sedikit juga ulama perempuan yang turut mengangkat senjata melawan penjajah Belanda.

Setelah kemerdekaan, tak terhitung jumlah ulama perempuan yang menjadi rujukan, baik mengajar di lingkungan perguruan tinggi Islam maupun di pesantren-pesantren modern.

Sejarah Nusantara mencatat sejumlah nama perempuan ulama di berbagai daerah. Mereka tak hanya mendidik kaum perempuan tetapi juga memiliki peran besar dalam penyebaran agama Islam di Nusantara bahkan di kawasan Asia Tenggara. Siapa saja mereka, berikut kami rangkumkan dari berbagai sumber:

1.      Fatimah al Banjari 1775-1828 (Kalimantan Selatan)

Fatimah adalah penulis kitab fikih yang menggali kearifan lokal tentang harta gono gini. Dilansir iqra.id Fatimah Al-Banjari lahir di Martapura  Ia merupakan cucu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, ulama kharismatik asal banjar yang sangat berpengaruh dalam dakwah Islam di semenanjung Malaka, terutama Kalimantan, Sumatera dan Thailand.

Terlahir dari keluarga ulama, Fatimah memiliki privilege untuk mendapatkan pendidikan. Meski hanya belajar di kampung halamannya, Fatimah memiliki cukup ilmu untuk menggerakkan perempuan. Ini kontras dengan kaum lelaki yang bebas menimba ilmu hingga ke Timur Tengah, kiblat keilmuan Islam saat itu.

Kondisi ini tak lantas membuat Fatimah Al-Banjari tertinggal dari kaum lelaki pada masanya pada aspek keilmuan maupun pergerakan. Berkat bimbingan sang kakek, Fatimah tampil sebagai pendidik mumpuni, khususnya bagi kaum perempuan, mulai dari baca tulis, membaca Al-Qur’an, pelajaran agama hingga bahasa Arab.

Fatimah Al-Banjari sangat gigih dalam mengajar kaum perempuan. Hal ini dikisahkan oleh Ahmad Basuni dalam Djiwa Jang Besar: M. Arsjad Bandjar Surgi Hadji Basar Kalampayan dengan ungkapan: “Kakaknja (Muhammad As’ad) duduk mengadjar, maka iapun dengan persetudjuan kakeknja duduk pula mengadjar. Kakaknja menjdadi guru, iapun mendjadi guru pula. Kakakjna disebut mu’allim, ia mu’allimat. Kakaknja ustaz, ia ustazah.

Djika kakakjna merupakan sajap kanan dalam usaha penjiaran agama dewasa itu, adalah ia mendjadi sajap kirinja. Kakaknja turut menggerakkan semangat beragama dalam kalbu pihak laki-laki, maka ia menjadarkan rasa beragama dari kaumnja perempuan.”

Kutipan di atas menggambarkan kegigihan Fatimah Al-Banjari dalam mendidik perempuan. Ia menjadi sosok terdepan untuk mencerdaskan mereka. Posisinya sebanding dengan kakaknya Muhammad As’ad sebagai guru, muallim, dan ustaz. Muhammad As’ad sendiri kemudian menjadi mufti pertama Kesultanan Banjar, salah satu institusi keagamaan di lingkungan kerajaan yang dibentuk atas usulan  Muhammad Arsyad al-Banjari.

Khazanah pengetahuan Fatimah Al-Banjari sangat dipengaruhi oleh kakeknya syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan ayahnya Abdul Wahab Bugis. Berkat bimbingan keduanya, Fatimah bisa menyusun kitab kuning“Parukunan Besar” yang bersumber dari catatan-catatan pembelajarannya dengan sang kakek.

Kitab “Parukunan Besar” diperkirakan ditulis tahun 1820-an, beberapa tahun setelah Syekh Arsyad Al-Banjari wafat (1812). Parukunan Besar membahas tema-tema fikih yang serupa dengan isi kitab Sabilal Muhtadin. Menurut Abu Daudi dalam tulisannya, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari: Tuan Haji Besar, kitab ini merupakan himpunan pendapat-pendapat beliau.

Namun, saat disebarkan nama Parukunan Besar diganti dengan  Parukunan Jamaluddin dan disandarkan kepada paman Fatimah, yakni Jamaluddin yang menggantikan Muhammad As’ad sebagai mufti kesultanan. Fatimah Al-Banjari tidak diatribusi namanya sebagai penulis kitab.

Informasi bahwa Parukunan Jamaluddin ditulis oleh Fatimah Al-Banjari diketahui berdasarkan keterangan sejarah dan tradisi lisan masyarakat Banjar (oral tradition) serta penjelasan beberapa tokoh yang dapat dipercaya, terutama Abu Daudi.

Pertanyaan muncul, kenapa kitab Parukunan Besar ini disandarkan kepada Jamaluddin, bukan kepada penulis aslinya, Fatimah Al-Banjari. Ada beberapa pendapat soal ini, namun yang paling mungkin karena kondisi sosial-politik masyarakat Muslim pada masa Kesultanan Banjar.

Muhammad Ramli dalam tulisannya, Fatimah: Perempuan Pengarang Kitab Kuning dari Banjar menyebut, ada dua alasan utama. Pertama, pihak kerajaan di masa itu hanya mengakui otoritas ilmu keislaman yang dipegang oleh Mufti Kerajaan, yakni Jamaluddin, terutama jika itu diperuntukkan bagi masyarakat luas.

Kedua, Fatimah Al-Banjari sengaja berlindung di balik nama pamannya agar kitab ini lebih mudah diterima oleh Kesultanan dan masyarakat luas. Pasalnya, konstruksi sosial saat itu otoritas tertinggi, baik berkenaan keilmuan, kepemimpinan maupun kenegaraan, harus didominasi laki-laki.

Ada juga yang menyebut, alasan utamanya adalah karena penerbitan kitab era itu didominasi oleh laki-laki, sehingga kitab karangan Fatimah Al-Banjari dinilai tabu dan sulit diterima masyarakat. Akhirnya, kitab Parukunan disandarkan kepada Jamaluddin yang berposisi sebagai Mufti kerajaan sekaligus penulis kitab Bulugh al-Maram fi Takhalluf al-Muafiq fi al-Qiyam.

Parukunan Jamaluddin menjadi kitab kuning pertama karya ulama perempuan Nusantara yang mendunia, karena digunakan di berbagai negara seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Kamboja dan Burma. Setidaknya ada empat negara yang menerbitkan kitab ini, yakni Makkah, Singapura, India dan Indonesia.

Dari kisah hidup Fatimah Al-Banjari dan kitab Parukunan­-nya, kita dapat mengetahui bahwa penyebaran dan perkembangan Islam di Nusantara tidak terlepas dari peran intelektual ulama Nusantara, baik laki-laki maupun perempuan.

2.      Aisyah We Tenriolle 1840an-1919 (Sulawesi Selatan)

Aisyah punya peran besar dalam menggali dan mengumpulkan manuskrip I La Galigo, sebuah epos yang ditulis sekitar abad 13-15. La Galigo terdiri dari 300.000 larik sajak, menceritakan perjalanan cinta Sawerigading, lengkap dengan adat-istiadat masyarakat Bugis kala itu. Manuskrip ini ditulis dalam bahasa arkaik (Bugis kuno), mengungguli epos dari India, Mahabharata, dan bisa disandingkan dengan epik Manas (Kirgizsan)yang berusia seribu tahun atau novel terbesar Cina, Impian Kamar Merah (Hung Lou Meng), yang ditulis di era Dinasti Manchu pada pertengahan abad 18.

Fahmi Faqih dalam tulisannya “Siti Aisyah We Tenriolle, Penyelamat I La Galigo” menulis Aisyah berperan mengalihbahasakan La Galigo ke bahasa Bugis umum sehingga dapat diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan lainnya.

Ia adalah Datu (Ratu) dari Tanette Sulawesi Selatan, putri dari La Tunampareq alias To Apatorang yang bergelar Arung Ujung dan Colliq Poedjie atau Arung Pancana. Kepemimpinan Aisyah di Kerajaan Tanette berlangsung selama 55 tahun, mulai tahun 1855 sampai tahun 1910.

Sejak kecil Aisyah sudah menyukai sastra. Bersama ibundanya, Colliq Poedjie, yang ditugasi mengurus pengarsipan dokumen-dokumen kerajaan dan menulis surat-surat resmi kerajaan, Aisyah dengan tekun mempelajari sastra-sastra Bugis kuno, terutama I La Galigo.

Seperti halnya Goa, Tallo dan Bone, Kerajaan Tanette merupakan Kerajaan Islam yang tidak menutup diri dari kebudayaan luar. Saat jadi raja, La Rumpang menjalin persahabatan dengan BF Matthes, seorang filolog yang bekerja untuk Nederlandsch Bijbelgenootschaap (Lembaga Kerjaan Belanda yang mengurusi masalah kitab-kitab), dan Ida Pfeiffer, seorang petualang asal Austria yang singgah ke Kerajaan Tanette pada April 1853.

Ketika La Rumpang turun tahta, ia menunjuk Siti Aisyah sebagai pengganti. Keputusan ini mulanya ditentang Colliq Poedjie, karena ada anak laki-laki Colliq yang lain yaitu La Makkawaru. Namun, La Rumpang melihat La Makkawaru tidak layak menjadi Raja karena suka berjudi dan sabung ayam, sehingga tahta diserahkan kepada Siti Aisyah.

Pada 1855, Siti Aisyah We Tenriolle resmi menjadi Datu Tanete ke-XVIII. Saat berkuasa, Aisyah mengajak BF Matthes, bersama ibu tercintanya, Colliq Poedjie—mengerjakan penerjemahan I La Galigo; Aisyah, dibantu ibunya, menerjemahkan ke dalam bahasa Bugis umum, sedang Mathess ke dalam bahasa Belanda.

Oleh Matthes, edisi belanda I La Galigo diserahkan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda lewat Nederlandsch Bijbelgenootschaap dan diabadikan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Ini menjadi tinggalan berharga dari Aisyah We Tenriolle

3.      Teungku Fakinah 1856-1938 (Aceh)

Teungku Fakinah merupakan keturunan ulama besar di Aceh yang lahir di Mukim Lamkrak, Desa Lamdiran, Kampung Lambeunot, Aceh Besar pada 1856. Ia anak dari Datuk Muhammad, seorang petinggi Kesultanan Aceh Darussalam sekaligus pendiri dayah di Lamdiran, Aceh Besar. Ibu Teungku Fakinah, Cut Fathimah adalah putri ulama dan tokoh pendidikan Aceh, Teungku Muhammad Sa’at atau Teungku Chik Lampucok.

Dari orang tuanya Teungku Fakinah belajar tentang membaca Alquran, bahasa Arab, hukum Islam, tasawuf, akhlak, sejarah dan tafsir Alquran dan hadis serta ilmu-ilmu Islam dalam kitab-kitab berbahasa Melayu. Dia juga belajar kerajinan tangan seperti menjahit, menenun, memasak, dan menyulam. Fakinah juga sempat menempuh pendidikan militer jelang pecahnya Perang Aceh.

Pada tahun 1872, ia menikah dengan Teungku Ahmad atau Teungku Aneuk Glee. Namun, setahun kemudian, suaminya gugur dalam perang melawan Belanda. Sejak saat itu, Teungku Fakinah tergerak untuk turut berjuang.

Awalnya ia berjuang di belakang layar dengan membentuk badan amal guna mengumpulkan sumbangan uang, padi, atau bahan makanan lain yang akan disalurkan kepada fakir miskin dan para pejuang.

Lama berada di belakang layar, Teungku Fakinah kemudian memberanikan diri meminta izin Sultan Aceh, Sultan Daud Syah untuk membentuk pasukan. Teungku Fakinah membentuk pasukan yang terdiri dari empat batalion. Salah satunya terdiri dari kaum perempuan yang dipimpin Tjoet Nyak Dhien. Saat memimpin pasukan yang harus mengawal keluarga Sultan Aceh dan Pocut Awan (ibu dari Panglima Polem), Teungku Fakinah tetap menyempatkan mengajar remaja putri yang ikut bergerilya.

Atas permintaan Panglima Polim, Fakinah akhirnya kembali ke Lamkrak untuk mengaktifkan dan menyulap Dayah milik ayahnya menjadi lembaga pendidikan agama untuk perempuan. Dayah asuhan Teungku Fakinah ini  menjadi dayah pertama yang dipimpin perempuan. Santrinya datang dari segala kalangan, terutama para janda yang ditinggal mati suaminya akibat perang yang datang dari berbagai wilayah di Aceh seperti Meulaboh, Calang, Aceh Timur, Pidie, Samalangga.

Setelah 4 tahun fokus pada pendidikan di Dayahnya, pada 1915 Teungku Fakinah berangkat ibadah haji ke Mekkah dan tinggal di sana selama hampir 3 tahun untuk memperdalam ilmu agama Islam. Ia kembali ke Aceh pada 1918 dan langsung mengurus Dayahnya. hingga meninggal pada tahun 1938, di usia 82 tahun.  

4. Rahmah El Yunusiyah 1900-1969 (Sumbar)

Rahmah, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang guru reformator pendidikan pendidikan Islam Indonesia. Dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau, Hamka menyinggung kiprah Rahmah di dunia pendidikan dan pembaharu Islam di Minangkabau. Dalam sejarah Universitas Al Azhar, baru Rahmah seoranglah perempuan yang diberi gelar Syekhah.

Dalam sejumlah esainya, Azyumardi Azra menyebut perkembangan Islam modern dan pergerakan Muslimah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari nama Rahmah sebagai perintis.

Ia mendirikan sekolah diniyah putri pertama di Indonesia yang berlokasi di Padang Panjang. Ia juga aktifis kemanusiaan, anggota parlemen perempuan pertama dan pejuang kemerdekaan.

Ia memelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padangpanjang, menjamin seluruh perbekalan dan membantu pengadaan alat senjata mereka sewaktu Revolusi Nasional Indonesia.

Lahir pada 29 Desember 1900 di Nagari Bukit Surungan, Padangpanjang, rahmah bungsu dari lima anak pasangan Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan Rafia. Yunus adalah seorang ulama yang belajar ilmu agama di Mekkah. Ia bekerja sebagai qadi di Pandai Sikek, Keluarga Rafia memiliki hubungan darah dengan Haji Miskin, ulama pemimpin Perang Padri pada awal abad 19.

Rahmah sempat belajar di Diniyah School yang dipimpin abangnya, Zainuddin Labay El Yunusy. Tak puas dengan sistem koedukasi yang mencampurkan pelajar putra dan putri, Rahmah lantas menemui beberapa ulama Minangkabau, termasuk Abdul Karim Amrullah atau HAMKA untuk mendalami agama.

Ini merupakan hal tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di Minangkabau. Ia mempelajari berbagai ilmu praktis secara privat, ilmu ini diajarkan kepada murid-muridnya. Dengan dukungan abangnya, ia merintis Diniyah Putri pada 1 November 1923. Ini merupakan sekolah Islam perempuan pertama di Indonesia.

Saat pendudukan Jepang, Rahmah memimpin Hahanokai di Padangpanjang untuk membantu perwira Gyugun. Ia memelopori berdirinya TKR di Padangpanjang dan mengerahkan muridnya ikut serta melawan penjajah walaupun dengan kesanggupan mereka dalam menyediakan makanan dan obat-obatan. Ia ditangkap Belanda pada Januari 1949 dan ditahan.

Pada pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR mewakili Masyumi, tetapi tak pernah lagi menghadiri sidang setelah ikut bergerilya mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Keberadaan Diniyah Putri menginspirasi Universitas Al-Azhar Mesir membuka Kulliyatul Lil Banat, fakultas yang dikhususkan untuk perempuan. Pada 1957, Rahmah mendapat gelar kehormatan “Syaikhah”. Gelar ini belum pernah diberikan sebelumnya. Di Indonesia, pemerintah menganugerahkannya tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana secara anumerta pada 2013.

Menjadi yatim sejak kecil menggembleng Rahmah menjadi anak yang mandiri. Ia belajar baca tulis Arab dan Latin dari dua abangnya. Di usia 10 tahun, Rahmah sudah gemar mendengarkan kajian, berpindah-pindah ke berbagai surau di Padangpanjang dan membandingkan kajian yang didengarnya.

Pada 10 Oktober 1915, kakak Rahmah Zainuddin Labay El Yunusy membuka Diniyah School yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum dan dijalankan dengan cara pendidikan modern, menggunakan alat peraga dan memiliki perpustakaan. Sekolah ini menerima murid perempuan di kelas yang sama dengan murid laki-laki.

Rahmah yang juga bersekolah di kelas tiga sekolah itu melihat, bercampurnya murid laki-laki dan perempuan di kelas yang sama, membuat perempuan tidak bebas mengutarakan pendapat dan menggunakan hak belajar. Ia mengamati banyak masalah perempuan terutama dalam perspektif fikih tidak dijelaskan secara rinci oleh guru laki-laki, sementara murid perempuan enggan bertanya.

Bersama dua temannya Sitti Nansiah dan Djawana Basyir, Rahmah mempelajari fikih lebih dalam kepada HAMKA di Surau Jembatan Besi. Ketiganya tercatat sebagai siswi pertama yang ikut belajar di Surau Jembatan Besi.

Rahmah juga belajar ilmu kebidanan dari beberapa orang dokter sehingga mendapatkan izin menjalani praktik. Secara privat, ia mempelajari olahraga dan senam dari guru asal Belanda yang mengajar di Guguk Malintang. Ia juga mendalami ilmu memasak, menjahit, menenun dan berenang. Ilmu hayat dan ilmu alam ia pelajari sendiri dari buku. Penguasaan Rahmah dalam berbagai ilmu ini kelak memengaruhi metode pendidikan yang diterapkan di Diniyah Putri.

Pergaulan Rahmah dengan Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS), melahirkan gagasan untuk mendirikan sekolah perempuan. Ia ingin agar perempuan memperoleh pendidikan sesuai yang dibutuhkan, dan ia serius mewujudkan gagasannya.

Pada 1 November 1923, Rahmah membuka Madrasah Diniyah Li al-Banat, bagian dari Diniyah School yang dikhususkan untuk murid-murid putri. Rahmah merangkap sebagai guru dan pimpinan, dibantu dua temannya Sitti Nansiah dan Djawana Basyir. Mulanya terdapat 71 orang murid yang kebanyakan adalah ibu-ibu muda. Selain Diniyah Putri, Rahmah membuka program pemberantasan buta huruf untuk kalangan ibu-ibu yang lebih tua. 

Pada tahun 1928 Diniyah Putri memiliki 200 murid. Pada 1933 tercatat memiliki 300 siswa, dan 400 siswa pada 1935. Pada 1935, Diniyah Putri membuka cabang di Jakarta yang membina tiga sekolah dengan bantuan dari beberapa pedagang asal Minangkabau dan lulusan lembaga pendidikan agama di Padangpanjang.

Saat pendudukan Jepang, Diniyah Putri di Padangpanjang menjadi tempat perawatan korban kecelakaan, sedangkan cabang Diniyah Putri di Jakarta ditutup. Setelah PRRI meletus, Rahmah sempat meninggalkan Diniyah Putri dan baru kembali pada 1961,

Rahmah meninggal di usia 71 tahun. Sehari sebelum meninggal, ia sempat menemui Gubernur Sumatera Barat saat itu, Harun Zain menyampaikan harapannya agar pemerintah memperhatikan Diniyah Putri yang didirikannya. Kepimpinan Diniyah Putri dilanjutkan Isnaniah Saleh sampai 1990. Saat ini, Diniyah Putri dipimpin oleh Fauziah Fauzan, dan telah memiliki jenjang pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi.

5. Siti Walidah Ahmad Dahlan 1872 -1946 (Yogyakarta)

Siti Walidah mendukung perjuangan KH Ahmad Dahlan lewat Persyarikatan Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Peran baru kelihatan setelah KH Ahamad Dahlan wafat. Ia tampil sebagai Pembina sekaligus penggerak organisasi Sopo Tresno yang kemudian menjadi Aisyiyah. Siti Walidah rela melelang barang demi biaya operasional persyarikatan untuk keperluan pendirian sekolah, bertabligh, dan sebagainya.

Dilansir aisyiah.co.id Perempuan yang lahir di Kauman pada 1872, merupakan putri keempat dari tujuh bersaudara Kyai Penghulu Haji Muhammad Fadhil. Salah satu adiknya adalah K.H. Ibrahim yang juga pernah menjabat sebagai President Hoofdbestuur Muhammadiyah periode 1923-1932.

Sejak kecil, Siti Walidah menonjol dibanding kawan-kawannya perihal kelancaran bicara dan keberaniannya. Setelah beranjak dewasa, Kyai Fadhil menyuruh putrinya ini untuk mengajar di langgar sekitar. Begitu ia dianggap layak menikah, ia dijodohkan dengan salah satu putra kerabatnya melalui sistem perkawinan family yang lazim terjadi di Kauman.

Siti Walidah menikah dengan Muhammad Darwis, nama kecil K.H. Ahmad Dahlan, pada 1889. Muhammad Darwis, lelaki kelahiran 1868 adalah putra K.H. Abubakar, Khatib Amin Masjid Agung (Besar) Kesultanan Yogyakarta. Baik Siti Aminah, Ibu Darwis, maupun Fadhil, ayah Walidah, adalah anak-anak dari K.H. Ibrahim, yang pernah menjabat Penghulu Kesultanan Yogyakarta.

Pada tahun 1912, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, dan sejak itu Siti Walidah menyokong perjuangan suaminya dengan mengusahakan pendidikan (pengajian) kaum perempuan di Kauman, Lempuyangan, Karangkajen dan Pakualaman.

Pengajian ini dikenal dengan nama Wal Ashri. Sesekali, Nyai Ahmad Dahlan menggantikan peran suaminya, menyampaikan pengajian di forum Wal Ashri. Siti Walidah juga menaruh perhatian besar pada buruh perempuan di unit usaha batik Kauman. Sebagai pusat batik, membuat banyak buruh dari luar Yogyakarta datang ke Kauman. Mereka menumpang (Jawa: ngindung) di sebelah utara kantor Kepenghuluan.

Makin lama makin banyak buruh batik dari luar Yogyakarta yang menumpang di kawasan tersebut sehingga akhirnya terbentuklah masyarakat Ngindungan. Pengajaran buruh perempuan dilakukan Siti Walidah melalui pengajian agama yang diadakan usai jam kerja yakni selepas Maghrib.

Nyai mengajari mereka dengan pengetahuan agama, membaca, dan menulis. Tujuannya agar mereka bersikap jujur dan tidak berkecil hati karena merasa tidak berilmu. Perkumpulan pengajian ini dikenal dengan nama Maghribi School.

Untuk perempuan muda, Siti Walidah menyediakan sebuah asrama (internaat). Dalam mendidik muridnya, Nyai Ahmad Dahlan menyampaikan petuah agar perempuan tidak berjiwa kerdil. Ia mengajak perempuan agar tak bergantung pada suami, karena merugikan perempuan itu sendiri, apalagi saat ia ditinggal suami.

Bagi Siti Walidah, asrama putri adalah medium pendidikan efektif untuk mengendapkan nilai-nilai kepada generasi muda. Anak-anak asrama diarahkan untuk mengenal lingkungannya dan tidak menutup diri dari masyarakat. Untuk kepentingan ini, dilakukanlah kunjungan ke panti jompo dan panti asuhan.

Sopo Tresno yang awalnya adalah kursus, pengajian, dan sekolah perkumpulan pada 1917 berubah nama menjadi “Aisyiyah” organisasi formal yang dikelola sendiri oleh perempuan di bawah payung Muhammadiyah. Menariknya, ketua pertama Aisyiyah bukan Siti Walidah pendiri Sopo Tresno melainkan Siti Bariyah, adik perempuan Haji Fachrudin. Ini menandakan Aisyiyah dibangun dengan model kepemimpinan modern yang mengutamakan profesionalisme.

Bersamaan dengan terbentuknya Aisyiyah, lahir budaya baru dalam berpakaian. Kepiawaian Siti Walidah menyulam mengubah ekonomi masyarakat Kauman. Ketika industri batik mulai redup, Siti Walidah mempelopori pembuatan kerudung songket bergambar bunga (songket Kauman).

Baru pada 1921, Siti Walidah terpilih sebagai ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah Bahagian Aisyiyah. Saat terpilih kembali menjadi ketua pada 1922, Siti Walidah focus ke persoalan pendidikan. Ia mendirikan Taman Kanak-kanak yang diberi nama Frobel School yang di kemudian hari menjadi Bustanul Athfal. Sampai Kongres Muhammadiyah ke-15 yang digelar di Surabaya (1926), Nyai Ahmad Dahlan terpilih kembali menjadi ketua Aisyiyah.

Setelah K.H. Ahmad Dahlan meninggal pada Februari 1923, Siti Walidah tetap melanjutkan perjuangannya hingga ke berbagai wilayah di Indonesia. Siti Walidah meninggal pada pada 31 Mei 1946, Pemerintah Indonesia memberikan gelar pahlawan nasional kepada perempuan yang telah mendidik dan membina perempuan muda menjadi calon pemimpin Islam. Pada Tahun 1971 pemerintah menetapkan Nyai Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional.

6. Nyai Khoiriyah Hasyim 1906-1983 (Jawa Timur)

Ulama perempuan NU ahli manajemen pendidikan pendidikan. Nyai Khoiriyah Hasyim, termasuk menjadi pelopor pendidikan pesantren putri pada masanya. Perempuan kelahiran tahun 1906 ini, meski tidak pernah mengenyam pendidikan formal memiliki semangat tinggi untuk belajar dan menebar ilmu.

Khoiriyah kecil bisa dikatakan belajar secara otodidak. Saat itu belum lazim anak perempuan mendapat prioritas pendidikan layaknya anak laki-laki. Dalam ruang gerak yang terbatas, Nyai Khoiriyah seringkali mencuri dengar dari balik tabir saat ayahnya, Kiai Hasyim Asy’ari mengajar santri-santri di Tebuireng. 

Dilansir nuonline.id, selain dari belajar sembunyi-sembunyi Nyai Khoiriyah juga menelaah kitab-kitab seperti Tafsir Jalalain, Fathul Muin, Tahrir Asymuni, Jamiul Jawami dll seorang diri. Baru ketika menemui kesulitan dia bertanya kepada ayahnya. Tak heran, meski masih muda Nyai Khoiriyah sudah memiliki wawasan luas. Saat berumur 13 tahun, Nyai Khoiriyah menikah dengan KH Maksum Ali, santri Kiai Hasyim Asy’ari. Kala itu. menjadi hal yang lumrah perempuan menikah meski umurnya masih belia. 

Usai menikah, Nyai Khoiriyah beserta suami mengampu pesantren khusus putri. Nyai Khoiriyah mengawali pendidikan di pesantrennya dengan model halaqah. Santrinya terus bertambah. Saat ini Pesantren Seblak berkembang dengan berbagai lembaga pendidikan dari tingkat ibtidaiyah hingga aliyah dan tidak hanya khusus putri.  

Perjuangan Nyai Khoiriyah tak mulus. Pada 1933, KH Maksum Ali meninggal.  Ditinggal Sang Suami, Nyai Khoiriyah mandiri mengembangkan lembaga pendidikan yang dirintisnya dan membuat ciri khas pesantrennya dengan pembelajaran Ilmu Falak yang bertahan hingga saat ini.

Sekitar 5 tahun ditinggal wafat KH Maksum Ali, akhirnya Nyai Khoiriyah Hasyim menikah lagi dengan kiai asal Lasem, Rembang yang juga pengajar di Masjidil Haram, KH Muhaimin Zubair. Usai menikah, pasangan ini pindah ke Mekkah. Kepemimpinan Pesantren Seblak diserahkan kepada putri dan menantu mereka.  

Di Mekkah, Nyai Khoiriyah merintis sekolah khusus putri atau madrasah lil banat yang menjadi madrasah perempuan pertama di Mekkah masa itu. Ini terjaid pada tahun 1942.  Usaha ini sebagai upaya agar para perempuan bisa menikmati pendidikan setara dengan laki-laki. Namun, lagi-lagi Nyai Khoiriyah harus kehilangan suaminya sehingga selama bertahun-tahun harus mengembangkan pendidikan di madrasah lil banat sendirian.

Pada 1957, Nyai Khoiriyah memutuskan kembali ke Tanah Air atas desakan Presiden Soekarno. Ia kembali memimpin Pesantren Seblak, Di bawah asuhan Nyai Khoiriyah, Pesantren Seblak berkembang pesat dengan program-program baru dan modern yang diinisiasinya, mulai revitalisasi menajemen hingga pemberdayaan organisasi santri. Nyai Khoiriyah juga aktif menulis di media massa, berorganisasi di Muslimat NU bahkan sempat menduduki Syuriah NU. Nyai Khoroyah wafat pada Juli 1983 di usia 73 tahun dan dikenang sebagai inovastor pendidikan.   

7.      Zakiyah Daradjat 1929-2013

Zakiah Daradjat merupakan salah seorang psikolog muslim yang memiliki  perhatian  luar  biasa  terhadap  pendidikan  Islam. Ia banyak menulis buku dan merupakan guru besar dan pemimpin di sekolah pascasarjana.

Latar belakang pendidikan di bidang psikologi, menjadikan pemikiran pendidikannya cenderung ke arah pendidikan jiwa terutama kesehatan mental. Adanya  kecenderungan  pemikiran  yang  demikian,  menjadi  perbedaan yang signifikan dari para pemikir pendidikan Islam lainnya.

Bagi Zakiah Daradjat, pendidikan Islam mempunyai tujuan jelas. Menurut  Zakiah,  Islam  memiliki  tujuan  yang  jelas  dan  pasti,  yaitu  untuk membina  manusia  agar  menjadi  hamba  Allah  yang  saleh  dengan  seluruh  aspek kehidupannya  yang  mencakup  perbuatan,  pikiran,  dan  perasaan.

Membina  manusia  merupakan  sebuah  upaya  untuk  mengajar,  melatih, mengarahkan,   mengawasi,   dan   memberi   teladan   kepada   seseorang   untuk mencapai  tujuan.  Pembinaan  yang  hanya  memberikan pelajaran,  latihan,  dan  arahan  akan  melahirkan  manusia  yang  tak  berjiwa. Sementara,  pembinaan  yang  hanya  memberikan  pengawasan  dan  teladan  melahirkan manusia  yang kurang kreatif. Karena itu, pembinaan  yang baik mestinya mencakup semua pelatihan dan teladan.. 

Dradjat berpendapat, penanaman nilai-nilai agama menjadi syarat  utama.lahirnya manusia saleh. Hamba yang saleh  berarti  dia  menyadari  kedudukannya  di  dunia,  yakni  di  samping  sebagai khalifah  Allah  di  bumi  juga  sebagai  hamba  Allah  yang  harus  beribadah  kepada-Nya.  Kesadaran  yang demikian ini akan muncul bila seseorang telah benar-benar mengerti, memahami, dan menghayati ajaran-ajaran agama Islam.  Selanjutnya, tujuan pendidikan menurut Zakiah  juga agak berbeda  dengan tujuan Pendidikan Nasional  yang  lebih menekankan pada aspek kecerdasan (intelektual) dan  pengembangan  manusia  seutuhnya.

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!