Film ‘Autobiography’: Politik Sunyi dalam Teror Patriarki 

Film “Autobiography” menyajikan relasi miris antara kelas majikan dan buruhnya. Film ini tepat di tonton anak muda untuk mengetahui bagaimana kekuasaan tak hanya terjadi di rumah, tapi juga di ruang politik, di Pemilu. Majikan kaya yang menguasai tanah orang lain, sampai jadi calon kepala daerah jahat berkedok baik.

Rakib (Kevin Ardilova) sedang menonton pertandingan catur sembari makan kacang saat sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. 

Kamera mengikutinya mematikan televisi dan menutup seluruh pintu kamar–yang sekaligus menunjukkan betapa besar rumah yang ditinggalinya. 

Ia menyambut seorang lelaki paruh baya yang diketahui kemudian sebagai pemilik rumah, seorang pensiunan Jenderal TNI bernama Purnawinata (Arswendy Bening Swara). Sepanjang film, kita akan dibuat tegang menyaksikan relasi timpang antara Rakib dan Purnawinata.

Autobiography disutradarai oleh Makbul Mubarak dengan naskah yang telah dipersiapkan sejak 2017. Film ini pertama kali dipresentasikan pada Toronto Film Lab 2017. Autobiography tayang perdana di Festival Film Internasional Venice ke-79 dalam seksi Horizon pada 2022, yang menjadikannya satu-satunya film Indonesia yang berpartisipasi dalam festival tersebut. 

Selain di Venesia, Autobiography juga diputar di sejumlah festival film bergengsi dunia seperti Festival Film Internasional Toronto, Festival Film Internasional Busan, Festival Film International Stockholm, dan Festival Film Internasional QCinema. Dikutip dari laman Wikipedia, pada 2022, film ini tercatat menjadi nominator maupun pemenang 29 kategori dari 14 penghargaan film internasional. Film ini tayang perdana di layar bioskop Indonesia pada 19 Januari 2023.

Rakib bekerja untuk Purnawinata menggantikan ayahnya, Amir (Rukman Rosadi), yang mendekam di penjara. Ia tinggal di daerah pedesaan dengan penduduk yang kerap diselundupkan sebagai tenaga kerja ke luar negeri. Kakak laki-laki Rakib sendiri pergi ke Singapura untuk bekerja di sana, dan tampak rutin mengirimkan uang ke Amir yang Rakib benci. 

Di sisi lain, Purnawinata yang merupakan seorang pensiunan Jenderal TNI telah turun temurun menjadi pihak yang berkuasa di desa itu. Hal ini tampak dari dialog antara Purnawinata dengan Amir di penjara dan bagaimana warga desa begitu segan padanya. 

Selepas pensiun, dengan kekuasaannya di desa, Purnawinata mau maju jadi calon kepala daerah. Ia mendukung pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTA) yang diklaim dapat menstabilkan aliran listrik di desa–meski untuk itu, sebagian kebun warga desa harus digusur. 

Berdasar teori Karl Marx, pembangunan dari kapitalisme membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas yang akan selalu bertentangan. Salah satu kelas dapat mengontrol dan memiliki alat produksi, disebut kelas bourjois. Kelas lain tidak memiliki kuasa atas alat produksi, disebut kelas proletar. Menurut Marx, pada satu titik masyarakat kelas proletar akan menyadari kepentingan bersama mereka dan bersatu untuk revolusi dengan merebut alat produksi. 

Rakib, Amir, dan kebanyakan penduduk desa merupakan representasi dari kelas proletar ini. Mereka tidak memiliki kuasa atas alat produksi, misalnya saja kebun mereka. Hal ini tampak dari bagaimana Amir dijebloskan ke dalam penjara saat ia ingin mempertahankan kebunnya dari penggusuran untuk pembangunan PLTA. 

Sebaliknya, Purnawinata yang agaknya mendapatkan sokongan dana kampanye dari PLTA, merupakan representasi dari kelas borjuis. Dalam mempertahankan kekuasaannya, Purnawinata melakukan berbagai macam cara, termasuk tindakan kekerasan. Pertentangan kelas pun terjadi antara Purnawinata yang mendukung pembangunan PLTA dengan Amir dan Agus (Yusuf Mahardika), anak Kartini yang menolak pembangunan PLTA yang menggusur kebun mereka. 

“False Consciousness” dan Revolusi Rakib

Purnawinata yang tidak memiliki anak laki-laki sempat memperlakukan Rakib seolah anaknya sendiri. Apalagi, Rakib membiarkannya makan mie instan dan membantunya menyelesaikan persoalan yang berkaitan langsung dengan nama baiknya sebagai calon kepala daerah. 

Purnawinata tak hanya mengajari Rakib menembak dan berburu, tapi ia bahkan juga membiarkan Rakib menggunakan seragam tentara lamanya. 

Karena itu, Rakib pun mengalami apa yang dalam teori Marxis disebut “false consciousness” atau kesadaran palsu. Rakib dibuat tidak menyadari bahwa, sekalipun sudah menggunakan seragam TNI, ia tetap bagian dari kelas proletar yang tertindas. Kesadaran palsu ini sempat membutakan Rakib, membuatnya tidak berusaha membebaskan diri dari penindasan Purnawinata. 

Tak hanya kepada Rakib, Purnawinata juga menggunakan “topeng” yang serupa saat berhadapan dengan Amir. Ia mengatakan pada lelaki yang sedang mendekam di penjara itu bahwa mereka adalah keluarga. Begitupula di depan warga desa, Purnawinata menampilkan diri sebagai pengayom yang tak jauh berbeda dari masyarakat biasa. Padahal di balik itu, Purnawinata hanya ingin mempertahankan kekuasaannya. 

Selepas menyaksikan bagaimana masyarakat kelas proletar seperti dirinya menjadi korban Purnawinata, Rakib pun sadar jika pensiunan jenderal itu tidak akan berhenti melakukan berbagai cara–termasuk kekerasan yang menghilangkan nyawa–untuk mempertahankan kekuasaannya. Hanya saja, ia tidak sampai mengorganisir penduduk yang menentang PLTA dan Purnawinata untuk melakukan pemberontakan. Sebagai pemain catur, Rakib hanya menyusun strategi agar dirinya sendiri bebas dari Purnawinata. 

Dunia yang Dipenuhi Laki-Laki

Dalam Autobiography, tokoh laki-laki memainkan peran sangat signifikan. Sementara perempuan-perempuan hanya muncul sekelebatan. 

Sepanjang film, menurut perhitungan kami, tokoh perempuan hanya ada empat, yakni kekasih sahabat Rakib, perempuan yang akan diberangkatkan ke luar negeri, anak perempuan Purnawinata, dan Kartini.

Anak perempuan Purnawinata hanya muncul sekilas saat sedang melakukan video call dengan ayahnya. Ia pun memenuhi stereotipe perempuan dengan peran domestiknya, yakni mengurusi anak–cucu Purnawinata. Peran domestik yang penuh kepedulian perempuan kembali ditegaskan saat ia juga meminta Rakib menjaga Purwanita dan melarangnya makan mie instan. 

Salah satu perempuan yang sebetulnya cukup signifikan adalah Kartini, ibu dari Agus (Yusuf Mahardika). Kartini menentang pembangunan PLTA yang bakal menggusur kebunnya. Sayangnya, kehadirannya lebih banyak diwakili oleh anak laki-lakinya. 

Meskipun demikian, setidaknya Autobiography menghadirkan representasi perempuan yang terlibat dalam perjuangan kelas–meski hanya melalui surat. 

Kartini juga mengingatkan kita pada perjuangan perempuan-perempuan seperti Ibu-Ibu Kendeng yang berusaha menjaga alamnya dari kerusakan akibat eksploitasi. Di berbagai belahan bumi lain, perempuan juga mulai melakukan perlawanan terhadap kekuatan patriarkis yang mengeksploitasi dan merusak alam. 

Selain tokoh perempuan yang minim, ketidakkonsistenan penggunaan bahasa juga muncul dalam film ini. Rakib misalnya, sesekali menggunakan bahasa Jawa, tapi lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun kecil, ketidakkonsistenan ini mengaburkan latar tempat dari kejadian-kejadian di dalam film.

(Sumber gambar: IG Kawan-kawan Media)

Sanya Dinda

Sehari-hari bekerja sebagai pekerja media di salah satu media di Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!