Hadapi Tantangan, Media Perempuan Sepakat Perkuat Kolaborasi

Media perempuan arus utama memandang kolaborasi media sebagai strategi yang perlu diambil. Di tengah tantangan yang makin kompleks kolaborasi dinilai sebagai langkah rasional.

Konde.co dengan didukung Google News Initiative memperkuat kolaborasi media-media perempuan di Indonesia dengan melibatkan media arus utama, di samping keterlibatan media perempuan alternatif. Pelibatan media arus utama tersebut diawali dengan Sarasehan Media Perempuan Arus Utama di Indonesia yang digelar Jumat (24/2/2023) untuk memetakan kondisi, tantangan, dan kebutuhan media perempuan arus utama.

Konde.co berhasil mempertemukan sebanyak delapan media arus utama yang memiliki rubrik khusus perempuan dan atau ditujukan kepada pembaca perempuan, dalam Sarasehan Media Perempuan Arus Utama: “Mengurai Tantangan dan Kebutuhan untuk Kolaborasi Media Perempuan Indonesia”. Media-media tersebut berasal dari wilayah Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Kalimantan. 

Kegiatan tersebut merupakan rangkaian kedua untuk kegiatan Sarasehan Media Perempuan di Indonesia yang pada Jumat (17/3/2023) telah mempertemukan sebanyak 16 media perempuan alternatif. Kedua kegiatan itu untuk memetakan kondisi media perempuan di Indonesia yang hasilnya akan dituliskan dalam sebuah laporan. Harapannya dari temuan ini akan ditindaklanjuti dengan sejumlah kolaborasi bersama media perempuan di Indonesia baik dari media alternatif maupun media arus utama.

Direktur Konde.co, Nani Afrida mengungkapkan media perempuan menghadapi sejumlah tantangan dari kesulitan memperluas pembaca hingga krisis finansial. Oleh karena itu, kolaborasi sesama media perempuan menjadi kebutuhan untuk menjawab tantangan tersebut. “Saling menguatkan sesama media perempuan menjadi hal paling rasional saat ini di tengah berbagai tantangan yang dihadapi,” ujarnya, Jumat (24/2/2023). 

Chief Community Officer dan Pemimpin Redaksi Femina, Petty S Fatimah mengungkapkan setidaknya ada tiga tantangan pengembangan media perempuan saat ini. Pertama, perilaku konsumen yang berubah diikuti perubahan industri media akibat digitalisasi. Perubahan ini dinilainya membuat media perlu menyesuaikan dengan kondisi digital. “Media itu kayak air, tidak usah kekeuh dengan kemauan, tapi harus menyesuaikan,” ujarnya saat menghadiri Sarasehan Media Perempuan Arus Utama. 

Perubahan bisnis media menjadi tantangan media perempuan selanjutnya. Media perempuan tidak lagi hanya bisa menggantungkan pendapatan dari iklan karena adanya digitalisasi. “Revenue datang dari display ad (advertorial) di website, involvingnya cepat sekali. Saat digital ad jadi mainstream, ad tersedot ke Youtube termasuk Google. Media berpikir keras dengan ini,” ungkapnya. 

Tantangan lainnya yaitu pergeseran isu perempuan. Petty mengakui ada tren mengenai isu perempuan yang ramai dibicarakan oleh audiens. Tren tersebut berubah seiring waktu, seperti isu body shaming yang besar dengan dipicu oleh sosial media, tetapi kemudian berubah dengan isu lainnya. “Kalau kita mau isu perempuan lebih nonjol, kita harus punya lobi yang lain. Yang lebih gampang, perempuan equal di media harus dimulai dari visi misi perusahaannya,” ujarnya. 

Mengangkat isu perempuan, diakui Editor Media Indonesia, Indrastuti tidak cukup mudah. Menurutnya, pembuat kebijakan di media arus utama perlu memiliki kemauan (willingness) untuk memberi porsi isu perempuan. “Isu perempuan tampil di HL (headline) kalau ada kejadian besar,” ujarnya. 

Sementara itu, jurnalis Kompas, Sonya Hellen Sinombor mengungkapkan isu perempuan setiap hari menghiasi media, tetapi yang terpenting adalah perspektifnya. Dia berharap media tidak menampilkan perspektif yang merendahkan atau eksploitasi perempuan. “Perempuan berhadapan dengan hukum, ada selalu di meja redaksi, tapi bagaimana itu ditampilkan? Yang ditampilkan semestinya perspektif perempuan, tapi lagi-lagi, tidak mudah. Kita perempuan jurnalis harus saling memberi penguatan,” ujarnya.  

Dengan berbagai tantangan yang ada, Dian Kardha, Managing Editor Nova mengungkapkan sesama media perempuan perlu berkolaborasi untuk membesarkan suara, bukan saling anggap sebagai kompetitor. Apalagi saat ini, media menghadapi tantangan munculnya influencer yang turut berebut advertorial. “Kalau kita kolaborasi voicenya bisa lebih besar, 10 media perempuan atau mainstream suarakan satu hal, pastikan sebarnya lebih luas,” ujarnya. 

Lestari Nurhajati, Editorial Adviser Konde.co mengungkapkan saat ini banyak media arus utama membuka kanal isu perempuan ataupun khusus menarget pembaca perempuan. Akan tetapi, masih menghadapi persoalan klasik mendapatkan pembaca dan mampu bertahan secara finansial tetapi tetap kritis. Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya pemetaan kondisi media perempuan di Indonesia untuk mendapatkan gambaran tantangan dan kebutuhan untuk tumbuh semakin kuat ke depan. “Mapping media di Indonesia sudah cukup kuat yang menggambarkan bagaimana media bisa bertahan, tapi bagaimana dengan media perempuan di Indonesia, itu masih perlu digali,” ujarnya. 

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!