UU Cipta Kerja Cacat Hukum, Ratusan Akademisi Lakukan Penolakan

Sebanyak 322 akademisi dari 119 perguruan tinggi di Indonesia menolak UU Cipta Kerja yang telah ditandatangani Presiden Jokowi karena dinilai cacat hukum. Penolakan ini seiring dengan gelombang penolakan di berbagai daerah di Indonesia

UU Cipta Kerja sudah ditandatangani Jokowi pada Senin (2/11) malam dan menjadi UU No 11 tahun 2020. Sayangnya, hanya beberapa jam kemudian ditemukan kesalahan fatal di pasal-pasal awal UU tersebut. Dituliskan di sana bahwa pasal 6 merujuk kepada apa yang dituliskan pada pasal 5 ayat 1 huruf a. Anehnya, tidak ada pasal 5 ayat 1 huruf a, seperti yang disebut di pasal 6 itu.

Pakar hukum Haris Retno Susmiyati menyebut, kesalahan itu membuka peluang Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

“Justru fakta adanya keamburadulan yang ngawur dalam merumuskan UU Cipta Kerja ini, dalam perspektif hukum artinya terjadi cacat hukum, dan secara teoritis ini bisa dibatalkan. Siapa yang bisa membatalkan, tentu para pembuat UU. Ini menjadi peluang bagi Presiden untuk mencabut pemberlakuan UU yang dibuat dengan serampangan itu tadi,” kata Retno.

Retno memaparkan itu pada Selasa (3/11), dan berbicara mewakili Aliansi Akademisi Tolak Ombnibus Law. Dalam aliansi ini, ada 322 akademisi dari 119 perguruan tinggi di Indonesia yang menandatangani penolakan terhadap UU Cipta Kerja.

Redaksi Pasal 6 UU 11/2020 adalah: “Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi: a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko; b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha; c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan d. penyederhanaan persyaratan investasi.”

Namun, Pasal 5 yang dirujuk tidak memiliki ayat, karena hanya memuat: “Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.”

Permasalahan teks dan prosedur penyusunan undang-undang menjadi dua catatan penting dari aliansi akademisi ini. Dikatakan Retno, kajian aliansi menemukan proses yang melanggar tata penyusunan peraturan perundangan. Salah satunya adalah tidak adanya partisipasi yang cukup dari elemen masyarakat untuk bisa didengar para penyusun UU.

Kajian aliansi juga menghasilkan 30 poin krusial yang menjadi catatan. Ada persoalan niatan dalam proses ini, karena pembuat UU cenderung berniat memfasilitasi, bukan kepentingan masyarakat, tetapi kapitalisme dan oligarki.

“Secara teks maupun substansi, UU 11/2020 ini bermasalah dan sangat berpeluang dilakukan, paling tidak penundaan atau bahkan pembatalan oleh presiden melalui Perppu. Apakah ada peluang Presiden untuk membatalkan pemberlakuan UU? Mungkin saja, dengan kewenangannya sebagai Presiden,” tambah Retno.

Pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratraman, yang juga tergabung dalam aliansi itu, menyebut pernyataan pada Selasa (3/11) sebagai sebuah ultimatum.

“Mengingatkan kepada Presiden dan pembentuk hukum di Indonesia, bahwa kita tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja dalam bernegara hukum. Ini menjadi penanda Omnibus Law ini sebenarnya satu paket kalau kita membacanya, dengan revisi UU MK, UU Minerba dan revisi UU KPK,” kata Herlambang.

Herlambang menilai, apa yang terjadi dalam kurun waktu setahun terakhir terkait produk legislasi, seakan menguatkan kecenderungan ke arah Draconian Law. Istilah ini merujuk pada sejarah di Athena, Yunani, ketika hukum lebih mementingkan pembentuk hukum untuk segelintir orang, dan melalui hukum, pejabat bisa semena-mena menyingkirkan hak rakyat.

Dia juga mengatakan, apa yang terjadi pada Pasal 5 UU 11/2020, adalah bukti proses pembentukan yang tergesa-gesa. Kasus ini seharusnya menjadi penanda bahwa memang ada situasi yang memburuk dan semua pihak harus menyadarinya. Peryataan para akademisi dalam aliansi ini, kata Herlambang, adalah bentuk dorongan atas situasi pembentukan hukum yang ada.

Terkait permintaan Jokowi agar pihak-pihak yang tidak setuju dengan UU ini menggugat melalui Mahkamah Konstitusi, menurut Herlambang, itu adalah diskursus negara hukum yang dikerdilkan. Dalam negara hukum, harus tegas posisi pihak secara konstitusional, yang dalam hal ini bisa diambil Presiden.

“Ada wewenang konstitusional melalui Perppu, yang selama ini dihindari oleh Istana karena tidak mau berbicara mengenai Perppu. Kami punya keyakinan bahwa hukum ini bisa dibatalkan, sejauh uji kewarasan itu terjadi dan bisa dilewati,” tambah Herlambang. [ns/ab]

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

(Sumber: Voice of America/ VOA)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!