Marak Perda Anti LGBT, Diskriminasi Makin Banyak Terjadi 

Sepanjang tahun 2006-2018, Arus Pelangi mencatat ada setidaknya 45 regulasi Anti LGBT di Indonesia dan ada sebanyak 1.840 LGBT yang menjadi korban persekusi.

Rancangan peraturan daerah (Raperda) yang menyoroti pencegahan dan larangan LGBT kini terus bermunculan. 

Sejak awal tahun ini saja, tak kurang dari empat daerah yang menyatakan dukungannya atas dilarangnya perilaku LGBT. Baik dengan mendeklarasikan diri sebagai daerah ‘anti-LGBT’ ataupun mendukung penggodokan rancangan perda oleh DPRD. 

Terbaru, Pemerintah Kota Bandung mendukung wacana DPRD Kota Bandung untuk menyusun rancangan larangan LGBT. Setelah sebelumnya, pernyataan Wali Kota Medan, Sumatera Utara, Bobby Nasution juga mengumumkan daerahnya sebagai kota yang menolak perilaku LGBT serta Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan, yang mendukung penggodokan rancangan perda larangan LGBT oleh DPRD Makassar. 

Ada pula DPRD Garut yang belum lama ini telah menerima usulan Raperda anti LGBT yang sempat diajukan oleh kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Bagian Hukum Pemda Garut hingga Kementerian Agama Garut. Meskipun tak serta merta melakukan pembahasan, pihak DPRD Garut menilai Raperda tersebut telah sesuai dengan ‘Perda Anti-Maksiat’ yang telah lebih dulu dimiliki Garut yaitu Perda Nomor 2 Tahun 2018. 

Dukungan Pemda atas lahirnya rancangan Perda anti-LGBT tersebut alasannya serupa: LGBT dianggap menyalahi norma agama maupun hukum serta merusak generasi muda. Di samping itu, juga dianggap tidak sesuai dengan budaya lokal. 

Jika Raperda tersebut disetujui, maka daftar Perda ‘Anti-LGBT’ yang berpotensi mendiskriminasi kelompok ragam gender dan seksualitas minoritas itu akan semakin bertambah. Setelah sebelumnya, ada Perda Anti LGBT yang disahkan Pemerintah Kota Bogor lewat Perda Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyimpangan Seksual (P4S). 

Menyikapi hal itu, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah mengingatkan agar Pemda yang berencana menerbitkan Perda Anti LGBT agar menghormati, memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM) dan memberikan perlindungan yang setara kepada LGBT, termasuk terhadap transpuan atau transgender. 

“Sebagaimana (Perlindungan HAM—red) dijamin dalam Konstitusi maupun peraturan perundang-undangan terkait prinsip non-diskriminasi,” ujar Siti Aminah kepada Konde.co, Rabu (25/1/2023). 

Komnas Perempuan menurutnya memberikan perhatian khusus kepada transpuan, mengingat kelompok minoritas rentan LGBT. Transpuan menjadi pihak yang paling rentan untuk mendapatkan diskriminasi dan kekerasan. Karena masyarakat lebih mudah mengidentifikasi kelompok transpuan dari ekspresi gendernya.

Siti Aminah menekankan, Konstitusi Republik Indonesia telah menjamin perlindungan dan pemenuhan HAM dalam satu bab khusus tentang HAM yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara tanpa kecuali. 

“Salah satu haknya adalah setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu,” lanjutnya. 

Selain hak-hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945, dia menjelaskan, Indonesia juga telah mengesahkan Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). 

Ia menerangkan, pengesahan konvensi tersebut, mewajibkan Negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi terhadap transpuan. Maka, masuknya transpuan dalam lingkup pelaksanaan Konvensi ini ditegaskan dalam rekomendasi Komite CEDAW PBB No.28 yang mengakui bahwa “Diskriminasi perempuan berdasarkan jenis kelamin dan gender terkait erat dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perempuan, seperti ras, etnis, agama atau kepercayaan, kesehatan, status, usia, kelas, kasta, dan orientasi seksual serta identitas gender.” 

“Dengan demikian, kelompok transpuan berhak atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasinya dalam perundang-undangan maupun peraturan perundang-undangan lainnya,” tegasnya. 

Perda ‘Anti LGBT’ Timbulkan Diskriminasi Berlapis

Jika Perda-perda ‘Anti LGBT’ ini disahkan, maka kelompok LGBT yang selama ini sudah termarjinalkan bisa semakin terdiskriminasi. Sebab LGBT dianggap sebagai ‘perilaku maksiat’ atau ‘menyimpang’ yang dikriminalisasi, persekusi, dan stigmatisasi. 

Sepanjang tahun 2006-2018, Arus Pelangi mencatat ada setidaknya 45 regulasi Anti LGBT di Indonesia. Terkait itu ada sebanyak 1.840 LGBT yang menjadi korban persekusi. 

Sejak pandemi Covid-19 pada 2020, diskriminasi yang dialami oleh kelompok LGBT semakin meningkat. Laporan Konsorsium CRM ‘Studi Dampak Covid-19 terhadap Situasi Sosial, Ekonomi, dan Hukum Kelompok Keragaman Seksual dan Gender di Indonesia’ menyorot itu. Dalam kurun 6 bulan saja, setidaknya 300 responden di berbagai daerah Indonesia mengalami dampak signifikan. 

Tak hanya situasi ekonomi yang sulit, kalangan LGBT juga mengalami tekanan sosial kultural berupa stigma negatif, kekerasan fisik, hingga mayoritas mengalami kekerasan psikologis. Ironisnya, meski rentan terhadap diskriminasi dan kekerasan, kalangan LGBT minim melaporkan kasusnya. 

“Ada trus (kepercayaan) yang tidak terbangun. Ada aparat ketika menghadapi ini, kasus tidak ditangani. Bagaimana aparat penegak hukum tidak ramah dan bias gender, yang menjadikan teman-teman (LGBT) diperlakukan tidak adil,” ujar Khanza Vina, Perwakilan SWARA (Sanggar Waria Jakarta) dalam paparan hasil penelitian secara daring, Jumat (22/10/2021). 

Komnas Perempuan pada akhir tahun 2021, pernah meluncurkan Hasil Kajian Strategik Komnas Perempuan dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) yang mendorong adanya strategi percepatan penanganan kebijakan diskriminatif atas nama otonomi daerah. 

Salah satu langkah mendesaknya adalah bagi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar menggunakan kewenangannya membatalkan kebijakan kepala daerah dalam menangani keberadaan kebijakan diskriminatif. Utamanya yang berkaitan dengan penempatan perempuan sebagai target kontrol hingga diskriminasi berlapis terhadap kelompok minoritas seperti LGBT. 

“Kebijakan diskriminatif serupa ini juga memberikan marka identitas daerah yang menonjolkan preferensi pada satu entitas tertentu dari kelompok mayoritas yang bertentangan dengan wawasan nusantara,” ujar Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, dikutip dari pernyataan resminya. 

Sejak tahun 2009, Komnas Perempuan mendokumentasikan kebijakan diskriminatif yaitu berjumlah 154 kebijakan, yang setiap tahun bertambah menjadi 189, 207, 282, 342, 365 dan pada tahun 2016 berjumlah 421. 

Kaitannya itu, laporan itu merekomendasikan beberapa poin penting diantaranya pentingnya upaya peningkatan koordinasi oleh Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan RI termasuk membentuk tim ad hoc penyusunan sinergi pedoman/instrumen dan mekanisme koordinasi pencegahan kebijakan diskriminatif hingga mengembangkan database penanganan kebijakan diskriminatif berbasis teknologi informasi dan komunikasi.

Tak kalah penting, lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif juga harus mengimplementasikan komitmen bersama-sama untuk percepatan dalam pencegahan dan penanganan kebijakan diskriminatif. 

“Menguatkan mekanisme judicial review di Mahkamah Agung sehingga menjadi lebih partisipatif dan akuntabel,” katanya.

Dear Politisi, Stop Cari Simpati Publik dengan Aturan Diskriminatif

Koalisi Kami Berani  yang terdiri dari 24 organisasi masyarakat sipil menyayangkan maraknya dorongan atas kebijakan-kebijakan diskriminatif berupa peraturan daerah (perda) anti LGBT di berbagai wilayah di Indonesia. 

Mereka menilai, memasuki tahun politik, politisi dan pimpinan-pimpinan daerah maupun nasional pun memilih menggunakan pendekatan politik identitas yang mengkambinghitamkan dan semakin meminggirkan kelompok yang dianggap salah oleh interpretasi mayoritas. 

“Salah satu yang marak digaungkan belakangan ini adalah wacana pembentukkan Perda anti LGBT,” tulis pernyataan resmi Kami Berani kepada Konde.co, beberapa waktu lalu.   

Berdasarkan pemantauan Koalisi Kami Berani, dalam kurun waktu Desember 2022 hingga rilis ini diturunkan, terdapat 4 daerah di Indonesia yang menyatakan akan mengajukan raperda diskriminatif yang anti LGBT, yaitu Garut, Bandung, Makassar, dan Medan. 

“Perda diskriminatif yang penuh dengan kebencian ini meluas akibat politik praktis yang dilakukan oleh para politisi dengan tujuan meraup suara dengan menggunakan politik identitas,” terangnya. 

Politisi baik nasional dan di daerah ini, kata mereka, sayangnya tidak memiliki kerangka kebijakan yang baik untuk ditawarkan ke masyarakat. Padahal politik praktis ini akan berbahaya bagi kestabilan sosial, politik, ekonomi, hukum dan keamanan di masyarakat. 

“Selain itu, hal ini juga akan semakin menjauhkan dan menghambat bagi pencapaian target-target pembangunan yang ingin dicapai oleh pemerintah Indonesia,” lanjutnya. 

Sebagai contoh, perda-perda yang mengatasnamakan moralitas seperti perda P4S Kota Bogor, yang digadang-gadang sebagai upaya pemerintah kota bogor sebagai bentuk upaya penyebaran HIV/AIDS, justru akan semakin memperburuk respon kesehatan di Kota bogor itu sendiri. 

Data global menunjukkan bahwa, kebijakan-kebijakan diskriminatif justru akan membuat orang-orang yang hidup dengan HIV atau rentan terhadap HIV semakin enggan mencari layanan kesehatan, karena takut akan stigma dan diskriminasi. 

“Pendekatan hukum dan kebijakan berbasis moral dan identitas semacam ini menjauhkan publik dari krisis yang sebenarnya dihadapi Indonesia,” katanya. 

Saat ini Indonesia masih menjadi salah satu negara terkorup di dunia, dengan indeks persepsi korupsi di bawah 40. Indeks negara hukum Indonesia semakin menurun dari tahun ke tahun dan Indonesia saat ini secara global berada di peringkat 68 dari 139 negara dalam hal penegakan negara hukum. Dari sisi pendidikan, hanya 19% penduduk Indonesia berusia antara 25-34 tahun yang mengenyam pendidikan tinggi. Jumlah ini sangat rendah dibanding dengan negara-negara OECD lainnya, yang rata-rata tingkat pendidikan tingginya berkisar di 47%. 

Selain itu, koalisi juga menilai bahwa negara sepertinya tidak belajar dari kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebelumnya yang menggunakan politik identitas sebagai alat. 

Padahal Pidato Presiden Jokowi pada 11 Januari 2023 di Istana Negara lalu mengenai Pelanggaran HAM masa lalu yang telah mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu dan berjanji akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa meniadakan penyelesain secara yudisial. 

Presiden Jokowi menegaskan dalam pidatonya ”saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang,” 

Nono Sugiono, Ketua Arus Pelangi salah satu juru bicara Koalisi menyebut ‘pemerintah tidak belajar dari kasus-kasus intoleran yang merupakan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Intoleransi dan kebencian berdasarkan identitas memecah belah anak bangsa, dan membuat Indonesia menjadi negara yang semakin terbelakang karena fokus politisinya adalah politik praktis yang memainkan identitas kelompok rentan’ imbuhnya. 

Komitmen yang disampaikan Presiden Jokowi dan data-data di atas menunjukan pemerintah Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan berhenti mendistraksi masyarakat dengan isu moralitas dan politik identitas. 

“Jika Negara terus menerus menggunakan hal ini untuk mendiskriminasi dan mengkambing hitamkan kelompok rentan, maka Indonesia akan semakin terjerumus ke dalam jurang kemiskinan, kesenjangan dan instabilitas,” ucapnya. 

Maka dari itu, Koalisi Kami Berani menekankan beberapa hal tuntutan di antaranya, mendesak negara untuk menghentikan segala bentuk pembiaran terhadap praktik penyebaran kebencian dan intoleransi terhadap kelompok minoritas dan rentan termasuk LGBT sebagai bentuk komitmen pemenuhan HAM.  

Selanjutnya, Koalisi juga mengajak masyarakat untuk tidak memilih calon pemimpin yang zalim yang menggunakan politik identitas dan berbasis kebencian terhadap suatu kelompok dalam pemilu nanti.

“Meminta media untuk tidak menyebarkan praktik penyebaran kebencian dan intoleransi terhadap kelompok minoritas termasuk kelompok LGBT,” pungkasnya.   

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!