Bagaimana Media Alternatif Mengkounter Hegemoni dan Nilai Patriarki

Berbagai pemberitaan di media masih dibuat dari perspektif maskulin. Selain itu, muncul juga peristiwa glass cliff dan glass ceiling yang dialami para pekerja perempuan di media

“The media’s the most powerful entity on earth. They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that’s power. Because they control the minds of the masses.” 

-Malcolm X 

Riset yang dilakukan Konde.co pada 2020 menunjukkan bahwa tiga situs web media daring arus utama dengan pengunjung terbanyak, masih belum konsisten dalam menuliskan berita kekerasan seksual.

Kadang berita-berita ini mendatangkan perspektif aktivis soal isu terkait, namun banyak yang masih menuliskan dan membuat judul berita yang sensasional. 

Ironisnya, pun sampai tahun lalu, saya masih menemukan pemberitaan yang sensasional dari ketiga media tersebut.

Kemajuan media arus utama di Indonesia dalam membuat pemberitaan yang berperspektif gender, masih terlalu sedikit dan bergerak pelan. Ini yang saya temukan.

Media memegang peranan penting dalam mengedukasi dan membentuk norma, nilai, serta kepercayaan. Apa yang “benar”, “wajar”, dan “normal” terkonstruksi dari bagaimana media mengamplifikasi suatu informasi. Melihat judul-judul berita kekerasan seksual ini, berbagai media belum menjalankan peran idealnya dalam memberikan konteks sosial dan mewujudkan perubahan yang progresif di tengah masyarakat. 

Penelitian saya berangkat dari dua masalah yang mengakar, struktural, dan tumpang tindih:

1. Pemasukan Uang Sebagai Prioritas Utama

Yang pertama, laba ditempatkan sebagai prioritas utama berbagai perusahaan media, sehingga pengemasan berita distrategikan untuk mengumpan publik membaca isinya. Sebenarnya tidak masalah jika perusahaan menerapkan model pasar, menjadikan keuntungan sebagai tolok ukur kesuksesannya. Akan jadi masalah saat prioritas ini menyingkirkan perannya sebagai media. 

Dari segi konsumsi, terbentuk selera publik yang senang dengan berita sensasional, termasuk munculnya konsep “perfect victim” yang terbentuk dari sikap skeptis publik terhadap terduga korban.

Selain itu, pembingkaian berita kekerasan seksual yang dibuat episodik (terputus dari konteks kasus lainnya) membutakan publik dari masalah sosial yang sebenarnya struktural. 

2.Internalisasi Patriarki yang Mengakar di Media

Yang kedua, internalisasi patriarki yang mengakar sejak dulu juga memengaruhi bagaimana produksi dan konsumsi berita berjalan. Dari segi produksi, masih terdapat kesenjangan posisi identitas seksual dalam pemilihan keputusan di redaksi: laki-laki masih mendominasi. Kesenjangan ini menciptakan suatu masalah, yaitu berbagai pemberitaan masih dibuat dari perspektif maskulin.

Selain itu, muncul juga peristiwa glass cliff dan glass ceiling yang dialami perempuan di dalam dunia kerja

Bagaimana Media Alternatif Memecahkan Persoalan Ini?

Beberapa dekade terakhir, berbagai media alternatif yang fokus pada isu perempuan muncul. Media alternatif didefinisikan Olga Guedes Bailey, Bart Camaerts, dan Nico Carpentier dalam empat pendekatan. 

Jika dirangkum, media alternatif berarti media yang lahir dari suatu komunitas, berperan dalam mengontra hegemoni yang selama ini disajikan media arus utama dan memberikan ruang untuk kelompok minoritas bersuara.

Berangkat dari itu, saya tertarik untuk memahami lebih lanjut strategi pemberitaan yang dilakukan oleh media alternatif terkait kekerasan seksual. Melihat bagaimana penyajian berita yang dilakukan berbagai media arus utama masih jauh dari idealnya media berperan. 

Saya melakukan wawancara semi terstruktur dengan jurnalis dari Magdalene.co (Hera Diani dan Purnama Ayu Rizky) dan Konde.co (Anita Dhewy dan Nurul Nur Azizah) sebagai data primer. Untuk mendukung pernyataan mereka, saya melaksanakan studi dokumen yang terdiri dari 5 artikel di situs web Konde.co, 3 artikel di situs web Magdalene.co, konten Instagram @magdalene.co dalam rentang 20–26 November 2022, dan 1 artikel pendukung pernyataan Konde.co terkait pernyataannya mengalami kekerasan digital. 

Setelah melakukan analisis data, saya menemukan bahwa terdapat tiga rincian strategi pemberitaan kekerasan seksual berperspektif gender yang dilakukan oleh kedua media alternatif tersebut. Subkonsep tersebut adalah penyelarasan kemampuan dan wawasan jurnalis, perencanaan dalam redaksi terkait pemberitaan kekerasan seksual, serta pembangunan komunitas dengan publik. 

Magdalene.co dan Konde.co melakukan perekrutan semi terbuka. Keduanya hanya menyebarkan informasi itu di dalam grup jaringan dan sekitarnya. Selain efisiensi waktu, upaya yang dilakukan kedua media alternatif ini efektif menyaring pelamar yang tepat untuk masuk ke dalam redaksi. 

Kedua, media alternatif membutuhkan jurnalis yang berangkat dari kesamaan pengalaman atau penderitaan sehingga memudahkan redaksi untuk mencapai kesepakatan terkait perspektif gender. Dalam menyelaraskan kemampuan dan wawasan jurnalis secara lanjut, kedua media alternatif ini juga rutin melakukan pelatihan untuk tim dalam redaksi.

Memberitakan kekerasan seksual tidaklah sama dengan berita kriminal lainnya. Ada konteks masalah sosial mengakar yang perlu diangkat di dalamnya. Maka dari itu, kedua media alternatif ini menerapkan berbagai prinsip-prinsip yang mereka pelajari dari berbagai sumber, baik nasional maupun internasional. Prinsip ini termasuk menerapkan asas anonimitas, memperhatikan pemilihan identitas seksual informan dan pewawancara, serta bersimpati dengan trauma yang dialami korban sehingga jurnalis memperhatikan sepenuhnya hak dan persetujuan korban. 

Prinsip tersebut tidak hanya dilakukan saat proses peliputan, tetapi juga pasca tayang. Jika korban sewaktu-waktu meminta hasil wawancara dengannya dicopot, kedua media alternatif menghargai keputusan korban. 

Selain itu, Magdalene.co dan Konde.co juga menjalankan perannya dalam mengkounter narasi dan memberikan konteks pemberitaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh media arus utama. 

Lebih lanjut, Konde.co juga ikut menjalankan advokasi dan perlindungan hukum korban kekerasan seksual, serta menerapkan feminisme interseksional dalam pemberitaannya. 

Strategi pemberitaan tidak lepas dengan pembangunan komunitas yang dilakukan oleh medianya. Kedua media alternatif ini menganalisis dan berusaha untuk beradaptasi dengan segmen umur pembacanya. 

Secara lanjut, Magdalene.co membagi kategori audiens berdasarkan pemahamannya terkait isu feminisme, yaitu cold target, warm target, dan hot target. Strategi itu dianggap memudahkan Magdalene.co dalam mengemas artikel yang hendak dibuat. 

Munculnya media alternatif ini menjadi salah satu bentuk harapan khalayak untuk percaya bahwa ada kemajuan untuk kesetaraan gender. Tentunya ini juga dapat terbantu jika ada kemauan publik untuk mengubah seleranya mengonsumsi berita.

Melalui penelitian ini, saya juga berharap strategi pemberitaan terkait kekerasan seksual dapat diterapkan oleh media-media lain walau memiliki perbedaan model perusahaan sekalipun. Ke depannya, perubahan pola produksi & konsumsi berita ini harapannya juga dapat memutus rantai patriarki yang selama ini mengakar di Indonesia. 

(Artikel ini merupakan hasil reviu skripsi Fiona Wiputri berjudul Strategi pemberitaan berperspektif gender terkait kekerasan seksual: Studi kasus pada media alternatif Magdalene.co dan Konde.co)

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!