Dianggap Kurang Populer: Kembalikan Kerja Pendampingan Korban ke Pusat Gerakan Feminisme

Kerja-kerja pendampingan korban saat ini mulai menjadi agenda terpinggirkan, bahkan di kalangan elemen gerakan feminisme. Kerja pendampingan sering dianggap tidak relevan dengan fenomena gerakan feminisme kontemporer yang menempatkan kerja-kerja virtual sebagai agenda populer dan trendy. 

Kandidat Ph.D. Antropologi Feminis, State University of New York
(SUNY) Binghamton, New York; Pendiri & Koordinator LETSS Talk

Mengembalikan kerja pendampingan ke pusat agenda gerakan feminisme menjadi
kebutuhan mendesak saat ini.

Beruntung, kerja pendampingan pernah menjadi ujung tombak dan garda depan
gerakan feminisme di Indonesia. Kerja pendampingan juga pernah menjadi pusat gerakan
membangun kesadaran kritis-feminis yang terkait erat dengan kerja-kerja
politik, ideologis, dan strategis.

Sudah hampir satu tahun Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU
TPKS) disahkan. Kesiapan infrastruktur dan sumber daya untuk menangani korban
kekerasan seksual setelah RUU ini disahkan menjadi kebutuhan yang harus terus
dikuatkan.

Disahkannya RUU TPKS akan mendorong kemauan korban kekerasan seksual untuk
melaporkan kasusnya. UU tersebut akan memberi jaminan legal bagi warga yang
menjadi korban kekerasan yang membuat mereka lebih punya keberanian melaporkan
kasusnya.

UU TPKS sudah seharusnya menjadi jalan penting mendobrak reviktimisasi
korban (blaming the victim) kekerasan seksual yang selama ini menjadi
pandangan dan perilaku sangat dominan dalam masyarakat kita, tidak terkecuali
di kalangan aparat negara, bahkan yang berurusan dengan penegakan hukum
kasus-kasus kekerasan seksual. Jika aspek jaminan perlindungan korban dari
reviktimisasi bisa dipenuhi, kehadiran UU ini akan mendorong banyak korban
berani melaporkan dan mengekspos kasusnya.

Kita sudah mulai melihat perkembangan ini dengan munculnya kasus-kasus
kekerasan seksual ke publik.

Apakah rumah sakit kita memiliki layanan berperspektif korban saat melakukan
visum? Apakah aparat penegak hukum sudah menerapkan perspektif feminis dan
perspektif korban saat melakukan proses hukum? Seberapa kuat sumber daya kita
dalam layanan konseling psikologis yang berperspektif feminis dan berperspektif
korban? Sejauhmana fasilitas rumah aman yang bisa menjamin keamanan korban
tersedia? Untuk korban yang tidak punya kemampuan ekonomi-keuangan, apakah ada
program jaminan sosial untuk mereka baik dalam proses pengurusan kasus atau
pasca penyelesaian kasus? Tentu, pertanyaan ini juga berlaku pada fasilitas-fasilitas
yang bukan hanya berlokasi di perkotaan, tapi juga di wilayah-wilayah pelosok.

Kerja pendampingan korban sangat dibutuhkan untuk memastikan hak-hak korban
saat kasusnya dilaporkan dan diekspos akan dijamin hingga korban mendapatkan
keadilan sepenuhnya. Saat ini, kita melihat, banyak korban kekerasan seksual
yang menghadapi kesulitan luar biasa untuk mendapatkan keadilan saat mereka
memproses kasusnya. Bukan saja reviktimisasi, baik dari masyarakat maupun
aparat, yang masih diterima sebagai kenormalan, fasilitas layanan kasus yang
tersedia dan bisa diakses korban kekerasan seksual juga masih sangat
terbatas.

Kita juga melihat situasi ironis terkait kekerasan seksual; satu sisi,
banyak korban yang mulai terdorong untuk berani melaporkan dan mengekspos
kasusnya, namun, sumber daya layanan kasus yang, sekali lagi, bisa menjamin
terpenuhinya hak dan keadilan korban belum tersedia memadai.

Situasi lebih rumit dijumpai pada kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami
kelompok minoritas dan terpinggirkan. Warga dengan disabilitas yang sangat
rentan mengalami kekerasan seksual memerlukan proses pendampingan lebih khusus
karena situasi khasnya. Korban kekerasan seksual juga tidak hanya perempuan
dalam relasi heteroseksual; kekerasan seksual juga banyak dialami laki-laki
dalam relasi non-heteroseksual.

Sementara jaminan keamanan dari berbagai diskriminasi dan stigma terhadap
Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender/ LGBT masih belum menjadi perhatian
negara, kita membayangkan kesulitan dan tantangan luar biasa dalam penanganan
kasus kekerasan seksual yang dialami kelompok gender dan seksual minoritas.
Dinamika kekerasan seksual yang terjadi di ranah virtual telah menjadi tren
kuat akhir-akhir ini dan butuh tindakan tersendiri bagi para korban.

Penanganan korban yang tidak menjamin hak dan pemenuhan keadilan akan
berdampak serius pada korban secara langsung serta berimplikasi luas pada
gerakan melawan kekerasan seksual.

Di tengah perspektif dan empati pada korban yang masih sangat lemah, kemauan
dan kemampuan melaporkan kasus (speak up) merupakan tindakan
menumbalkan diri untuk menjadi target reviktimisasi. Penanganan kasus kekerasan
seksual yang tidak berempati pada korban akan membunuh harapan mereka pada
pemenuhan keadilan. Pendampingan korban menjadi hal yang fundamental agar
korban bisa mendapatkan hak akan keadilan dan terus mempunyai harapan akan
adanya keadilan tersebut.

Merupakan sebuah “kebiadaban” saat kita membuat UU TPKS yang membuat korban
terdorong melaporkan kasusnya lalu kita meresponsnya dengan pembiaran atau
tindakan-tindakan yang sama sekali tidak mendukung perjuangan korban
mendapatkan keadilan.

Kembalikan Kerja Pendampingan ke Pusat Agenda Feminisme

Bagaimana mengembalikan kerja pendampingan ke pusat agenda feminisme?
Feminisme kita pernah punya visi dan misi revolusioner yang kuat tentang kerja
pendampingan ini di mana kasus-kasus kekerasan yang terjadi menjadi landasan
untuk mengkritik, menantang, dan menentang kebijakan dan politik gender negara,
norma maskulinitas, patriarkhisme, seksisme, dan heteronormativisme dan segala
bentuk dan struktur ketidakadilan berdasarkan gender dan pola relasi yang tidak
setara.

Pembentukan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) yang menjadi deklarasi dan monumen kontribusi feminis dalam gerakan
reformasi tidak terlepas dari visi politik feminis dalam kerja pendampingan
korban, khususnya kekerasan seksual. Dari kerja pendampingan dan penanganan
kasus, kita bisa memiliki UU Nomor 23/ 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga.

Saat ini, kita melihat kerja pendampingan mulai menjadi agenda terpinggirkan
bahkan di kalangan elemen gerakan feminisme. Selain karena memang sangat
melelahkan, menyaratkan sumber daya sangat banyak, kerja pendampingan dianggap
kerja “personal” dan tidak punya pengaruh politik-struktural yang kuat. Kerja
pendampingan dianggap tidak relevan dengan fenomena gerakan feminisme
kontemporer yang menempatkan kerja-kerja virtual sebagai agenda lebih populer
dan trendy. Kerja pendampingan, akhirnya, harus dilalui dalam
kesunyian.

Beberapa lembaga negara terkait sebenarnya sudah punya beberapa inisiatif
penguatan peran negara dalam layanan kasus, termasuk menyediakan hotline
pengaduan. Namun, kebijakan di atas kertas masih banyak mengalami kendala,
termasuk dari segi kesiapan para aparat yang langsung menangani kasus.
Menjadikan kerja pendampingan sebagai pusat agenda gerakan feminisme akan
penting bagi perubahan perilaku aparatus untuk lebih berperspektif feminis dan
berperspektif korban.

Kita perlu membayangkan dengan seksama situasi yang dihadapi korban
kekerasan seksual, dengan trauma mendalam dan ancaman tidak mendapatkan hak dan
keadilan yang diharapkannya.

Kita perlu menguatkan perspektif korban untuk melawan perspektif pelaku yang
tidak solider pada situasi korban. Empati pada korban menjadi fondasi bagi
penguatan kerja pendampingan, mengembalikannya sebagai agenda pusat gerakan
feminisme.

Selama ini, masyarakat berperan sangat besar dalam layanan pendampingan
korban; bahkan, sebagian besar kerja pendampingan korban seperti menjadi beban
masyarakat, terutama organisasi feminis yang memiliki layanan
pendampingan.

Kita berharap, pengesahan RUU TPKS yang semoga tidak memakan waktu lama akan
mendorong negara lebih bertanggungjawab dan berperan lebih aktif dalam
kerja-kerja pendampingan korban kekerasan seksual, dari perubahan sikap dan
pandangan aparat hingga penyediaan sumber daya.

Di level ini, kita akan bisa melihat dan merayakan kerja pendampingan
sebagai agenda politik feminisme yang penting bagi transformasi
struktural.

 

Diah Irawaty

Kandidat Ph.D. Antropologi Feminis, State University of New York (SUNY) Binghamton, New York; Pendiri & Koordinator LETSS Talk
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!