Elsa dan Yayan, bukan nama sebenarnya mestinya menikah pada Jumat, 17 Februari 2023 lalu. MUA sudah terbayar, petugas KUA telah bersiap, dan buku nikah sudah tercetak. Semua persiapan tampak baik-baik saja sampai tiga hari menjelang hari bahagia itu, Yayan mendadak tak bisa dihubungi.
Unggahan Elsa di Twitter. Sumber: Casaaa on Twitter: “Halo temen-temen twitter kenalin gw I. gw disini mau ceritain kasus gw, biar temen-temen disini terkhusus dom jember dan jogja bisa lebih berhati-hati -a thread-” / Twitter
Semua akun media sosialnya lenyap. Aplikasi pelacaknya tak aktif sejak Selasa, 14 Februari 2023 pukul 06.28 WIB. Elsa kelimpungan dan berupaya menghubungi orang-orang di sekitar pacarnya yang ia tahu. Hasilnya mentok. Orang tua Yayan turut tak merespon. Bahkan, alih-alih mendapatkan jawaban, seorang kerabat Yayan justru marah dan menuduhnya dengan kata-kata seksis.
Yang Dialami Lewat Aplikasi Kencan
Petaka yang dialami Elsa bermula dari hubungan lewat salah satu aplikasi kencan.
Elsa dan Yayan mulai match pada September 2022. Keduanya sama-sama berdomisili sementara di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Elsa berkuliah sedangkan Yayan bekerja. Merasa cocok, mereka lantas melanjutkan obrolan ke tahap kopi darat dan sejurus kemudian menjalin hubungan.
Namun dari sinilah segala kegetirannya bermula. Sekitar Oktober 2022 Elsa mengalami upaya pemerkosaan oleh Yayan. Modusnya, saat Elsa dalam pengaruh alkohol, Yayan membujuknya bepergian dan melakukan upaya pemerkosaan di hotel sekitaran Stasiun Jember.
“Waktu itu dalam kondisi enggak sadar aku mau diperkosa sama dia. Sebisa mungkin aku berontak dan nangis sampai akhirnya dia berhenti. Besoknya aku pastikan apa yang terjadi, tapi dia malah bilang kalau aku yang minta, padahal aku enggak pernah minta sama sekali,” katanya saat dihubungi pada Rabu (1/3).
Setelah kejadian itu, Yayan sempat meminta maaf dan mengaku menyesal. Didorong perasaan iba dan cinta, juga pengaruh segala bujuk rayu serta perilaku manipulatif Yayan membuat Elsa memutuskan melanjutkan hubungan.
Seminggu kemudian, Yayan kembali memanipulasi Elsa untuk berpindah ke kos yang lebih bebas. Dalihnya, agar ia bisa turut merawat Elsa yang ketika itu sedang dalam masa pemulihan usus buntu.
“Awalnya berat untuk mutusin pindah, tapi yang bikin aku percaya ketika itu lagi-lagi adalah sikap manipulatifnya, dia baik dan perhatian banget, dan selalu nekanin kalau dia sayang dan serius sama aku. Aku enggak ada siapa-siapa di sini, jauh dari saudara dan orang tua,” terang Elsa.
Setelah Elsa berpindah kos, aksi bejat Yayan berlanjut dengan terus-terusan membujuk dan merayu Elsa untuk berhubungan badan sambil meyakinkan akan menanggung segala resiko dan “bertanggung jawab” bila sesuatu terjadi.
“Aku enggak yakin, tapi dia terus-terusan merayu dan meyakinkan bilang akan pakai pengaman. Tapi ternyata belakangan dia enggak pakai (pengaman), alasannya lupa. Di situ dia terus ngeyakinin aku kalau bakal tanggung jawab,” katanya.
Sekitar bulan Desember, Yayan pamit kepada Elsa untuk merantau ke Yogyakarta. Demi meyakinkan akan bertanggung jawab, Yayan sepakat menggunakan aplikasi pelacak agar bisa mengetahui lokasi masing-masing.
Elsa mengaku mula-mula tak ada masalah, komunikasi via telepon berlangsung lancar sampai awal Januari lalu ia mengetahui bahwa dirinya hamil. Menurutnya, Yayan sempat menghubungi keluarga Elsa dan mereka sepakat menempuh jalur kekeluargaan dengan segera melangsungkan pernikahan.
“Semua syarat menikahnya dikirim via WhatsApp, kecuali surat numpang nikah yang kata dia mau disusulkan sekalian saat hari pernikahan. Tapi nyatanya dia menghilang gitu aja. Rupanya aku baru tahu dia enggak bilang minta dokumen-dokumen itu buat nikah, bilangnya ke orangtua untuk beli motor. Aku enggak ikhlas diginiin,” ungkap Elsa.
Kotak Pandora
Petaka yang dialami Elsa membuka kotak pandora ragam modus kejahatan dan kekerasan seksual yang bisa terjadi lewat aplikasi kencan. Apa yang dialami Elsa, menurut koordinator divisi advokasi Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Jember, Agustina Dewi tergolong dalam Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang marak terjadi dengan mayoritas korbannya adalah perempuan.
“Itu sudah masuk kekerasan, apalagi korban mengaku pernah ada upaya pemerkosaan. Juga, di situ ada upaya manipulasi dan tipu daya kepada korban. Ini sudah bisa masuk UU TPKS. Jangan dikira kekerasan seksual dan khususnya KBGO itu enggak bisa didahului lewat hubungan konsensual. Justru yang sering terjadi ya seperti ini dan itu harus dilihat sebagai modus kekerasan,” terangnya.
Dewi menambahkan, sudut pandang patriarkis membuat kecenderungan masyarakat untuk menyalahkan korban bertambah besar. Karena dalam konteks hubungan, perempuan seringkali diposisikan sebagai objek seksualitas. Sehingga relasi kuasa timpang ini seringkali mengabaikan tindakan manipulatif dan motif kekerasan seksual pelaku.
“Hampir selalu dalam kasus kekerasan seksual ada saja yang menyalahkan korban. Misalnya dengan pertanyaan, kenapa mau diajak berhubungan? Mata masyarakat selalu menyudutkan perempuan, dianggap enggak bisa menjaga diri atau yang lain. Sudut pandang begini sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi psikologis dan kerentanan korban, perilaku manipulatif pelaku, serta relasi kuasa yang timpang, bikin korban jadi takut untuk bersuara karena nanti malah disalahkan,“ tambahnya.
Seperti setelah jatuh tertimpa tangga, Elsa memang mengalami hal itu. Ia menjadi korban kekerasan seksual dan seseorang justru menuduhnya dengan kata-kata bernada seksis: lonte, sering dipakai, dan sebagainya. Lebih tragisnya, saat ia menyuarakan ketidakadilan yang menimpanya di platform Twitter, mayoritas tanggapan netizen justru menyudutkan Elsa. Tak ada satu pun komentar yang menyinggung Yayan dan motif kekerasan seksual yang dilakukannya.
Tuduhan seksis yang diterima Elsa dari kerabat Yayan. Sumber: Kiriman korban
Pengguna Jutaan, Belum Ada Landasan Hukum Memadai
Data businessofapps.com mengungkap pengguna aplikasi kencan di dunia pada 2021 menembus 323,9 juta orang. Di Indonesia sendiri, tercatat pengeluaran konsumen untuk berlangganan aplikasi kencan mencapai Rp 358 milyar pada 2022.
Apapun nama dan jenis aplikasinya, semangat penyedia aplikasi kencan cenderung senada, yakni menyediakan ruang dating dan kesempatan mencari pasangan di dunia maya. Meski sejumlah developer menyediakan sistem untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan (seperti verifikasi foto dan private detector) namun bukan berarti pengguna—apapun gendernya—bisa bebas dari modus tindak kejahatan dan kekerasan seksual.
Setidaknya, film dokumenter Tinder Swindler yang ditayangkan Netflix pada tahun lalu turut membuka tabir kerentanan aplikasi kencan. Diangkat dari investigasi media asal Norwegia (VG) pada 2019, pelaku utama, yakni Simon Leviev atau Simon Hayut, memanfaatkan aplikasi kencan Tinder untuk memanipulasi korban dan menipu hingga US 10 juta dolar atau sekitar Rp 143,6 miliar.
Sayangnya, usai ditangkap kepolisian Israel pada Desember 2019, Simon hanya dituntut 15 bulan penjara namun dibebaskan 5 bulan kemudian dengan dalih berkelakuan baik. Di sisi lain, saat investasi VG terbit, tak sedikit pihak yang justru menyudutkan korban sebagai seseorang yang mudah ditipu, polos, bodoh, genit, dan lainnya. Kecenderungan ini sama persis dengan yang dialami Elsa.
Belum ada riset spesifik tentang kasus KBGO yang melibatkan aplikasi kencan di Indonesia. Namun, laporan Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Kekerasan Terhadap Perempuan yang diterbitkan Komnas Perempuan pada 2021 mendapati peningkatan drastis kasus KBGO dari semula 241 kasus pada 2019 menjadi 940 pada 2020.
Dalam laporan yang sama diketahui dari total kasus kekerasan seksual hanya sekitar 10 persen yang diproses oleh polisi dan sekitar setengahnya yang berujung pada putusan pengadilan.
Pertanyaannya, apakah instrumen hukum yang ada saat ini telah mampu untuk menangani kasus kekerasan seksual, utamanya KBGO dengan mengusung perspektif korban?
Dalam konteks KBGO sextortion (pemerasan online) yang marak terjadi di aplikasi kencan, misalnya, peneliti Indonesian Judicial Research Society Arianda Lastiur dalam artikelnya menguraikan bahwa instrumen hukum yang ada saat ini, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan bahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) perlu penyempurnaan agar bisa menjadi landasan hukum untuk melindungi warga negara dari tindak pemerasan online dengan baik.
Pasal 14 ayat (1) UU TPKS terkait kekerasan seksual berbasis elektronik sebenarnya telah mengatur pemerasan dengan berbagai wujud, tulis Arianda. Namun, UU TPKS belum mengatur secara gamblang perbuatan sextortion dan masih memunculkan area abu-abu karena tidak memuat penjelasan mengenai apa saja yang digolongkan sebagai informasi elektronik dan dokumen elektronik yang bermuatan seksual.
“UU TPKS juga memunculkan ambiguitas lain karena tidak menjelaskan apakah pemerasan atau pengancaman merujuk pada pengertian di KUHP sebagai ketentuan lex generali atau bukan,” tulisnya.
“Dengan status quo saat ini, aparat penegak hukum hanya bisa menggunakan pasal-pasal yang sangat umum dan ambigu seperti pasal penyebarluasan konten di UU ITE dalam memutuskan kasus sextortion.”
Lalu, Bagaimana terkait Kasus yang Dialami Elsa?
Sekitar pertengahan Februari lalu, Elsa sempat berkonsultasi dengan Satgas PPKS di kampusnya terkait kasus yang dialami. Sejauh ini pihak satgas merekomendasikan delik penipuan dan perbuatan tidak menyenangkan alih-alih UU TPKS. Ia pun sempat mencoba membuat laporan ke kepolisian Sleman dan Yogyakarta pada 22 dan 23 Februari 2023. Hasilnya nihil, kasusnya dianggap tak memenuhi unsur pidana dan dianggap berdasarkan consent.
“Aku dibantu via telepon sama satgas waktu buat laporan. Pertama ke polsek Sleman yang dekat sama domisili dia yang kutahu, yang kedua ke Polresta Jogja. Tapi tetap tidak bisa karena belum memenuhi unsur pidana. Aku juga sempat samperin ke tempat kerja dia, tapi dua-duanya tutup, aku tanya sama orang sekitar katanya sudah beberapa hari itu tutup,” tuturnya.
Kini Elsa memilih menenangkan diri di kediamannya di Bekasi. Berat badanya turun dua kilogram dalam satu minggu dan satu-satunya hal yang mendorongnya bertahan hanya jabang bayi di dalam kandungannya.
“Aku cuma berharap pelaku bisa ditemukan dan dijerat biar enggak ada lagi perempuan di luar sana yang jadi korban dia. Aku enggak lagi minta pertanggungjawaban dia buat nikah, enggak mau banyak-banyak kepikiran juga khawatir pengaruh ke bayiku,” pungkasnya. (*)
(Nama Elsa dan Yayan adalah nama samaran. Penulis telah mendapatkan persetujuan dari korban untuk menuliskan kasus yang dialaminya)