Hapus Stigma Pada Kakek dan Nenekmu Yang Lansia, Mereka Harus Hidup Bahagia

Lansia di Indonesia jumlahnya meningkat dengan lansia perempuan lebih banyak daripada lansia laki-laki. Namun anggapan negatif terhadap perempuan lansia masih sering ditemui. Padahal ini justru menghambat kemandirian mereka.

Ibu Nunuk Murniati aktivis feminis di Yogyakarta pernah mengatakan sebagai perempuan lansia ia merasakan keausan tubuh yang menggerogoti. Ia sudah tidak seperti dahulu ketika berceramah atau memberikan kuliah umum di kampus-kampus. Sekarang ia menggunakan tongkat untuk membantu aktivitasnya.

Bu Nunuk berperawakan tinggi dan bersuara lantang keibuan di usianya yang ke-80 tahun. Hidupnya ditopang ulang oleh dana pensiun dari almarhum suami. Itu sudah disyukurinya. Ia menginginkan fasilitas publik di jalan dan di toilet umum lebih ramah terhadap perempuan lansia. Mengingat tubuh yang sudah dipakai berpuluh tahun juga berhak mendapatkan kelegaan.

Pengalaman serupa juga dirasakan ibu Rully Mallay transpuan lansia yang mendirikan Waria Crisis Center dan mengelola program lansia bahagia. Program ini menyasar pada kebutuhan lansia untuk hidup lebih tenang dan bahagia pada usianya.

Saat mengunjunginya terlihat ibu Rully sudah sering mengalami migrain. Ia cekatan dalam hal perlindungan diri dengan melakukan cek kesehatan tubuh. Hasilnya baik. Oleh karena sikap khawatir manusia ia mengupayakan diri untuk hidup sehat dengan makan makanan bergizi, minum vitamin, dan mengingatkan diri agar makan secara teratur. Karena bahkan pada masa tuanya ibu Rully masih aktif dengan segudang aktivitas.

Pengalaman yang dirasakan ibu Nunuk dan ibu Rully bisa jadi kita temui juga pada perempuan lansia di sekitar kita. Lantas apa yang mesti kita lakukan?

Perempuan Lansia Berhak Hidup Bahagia

Kalau merujuk pada Undang-Undang tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang disebut lanjut usia atau lansia adalah mereka yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Di Indonesia jumlah lansia cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kesehatan dan angka harapan hidup.

Komnas Perempuan dalam rilisnya bertepatan dengan Hari Lansia Internasional pada 2021 pernah menulis proporsi lansia naik 2,74% dalam dua dekade dan kini telah mencapai 9,92% atau sekitar 26 juta orang dengan rincian 10,43% lansia perempuan dan 9,46% lansia laki-laki.

Data Susenas 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 9,89% lansia tinggal sendiri, jumlah perempuan lansia lebih banyak (14,13%) dari jumlah lansia laki-laki (5,06%). Lima tahun terakhir, jumlah lansia yang bekerja cenderung meningkat, yakni lansia laki-laki 65,5% sedangkan lansia perempuan 38,28%.   

Hal-hal yang biasa dirasakan lansia terkait tubuh mereka memang terjadi karena tubuh beradaptasi dengan waktu. Waktu selalu maju ke depan. Tubuh perempuan berbeda dengan lelaki karena ada durasi menstruasi, jika ini berhenti maka akan membuat psikologi dan fisik perempuan berubah. Perempuan yang mengalami menopause kadang khawatir akan fungsinya sebagai perempuan. 

Belum lagi anggapan-anggapan kuno yang terasa menyudutkan seperti perempuan lansia akan merepotkan. Ini justru membuat perempuan lansia rentan terhadap gangguan mental, stres misalnya. Selain itu banyak perempuan yang pada masa tuanya menjadi janda tanpa dana pensiun yang hidup pada garis kemiskinan. Hal seperti inilah yang harus menjadi perhatian bersama. 

Jika kita melihat di sekeliling kita banyak sekali kegiatan yang biasa dikerjakan perempuan yang bisa bermanfaat sampai pada hari tuanya. Seperti misalnya, menjahit, menjadi pendamping, dan membersihkan rumah. Kegiatan ini bisa dikerjakan untuk kepentingan sendiri maupun untuk menghasilkan pundi-pundi materi yang dapat meningkatkan taraf hidup perempuan lansia. 

Namun kesempatan itu tak selalu berjalan mulus karena perempuan yang sudah lanjut usia masih mendapatkan stigma buruk. Anggapan bahwa perempuan lanjut usia “tidak laku” dan akan “merepotkan”, menjadi ketakutan tersendiri bagi perempuan lansia untuk beraktivitas. Padahal kemandirian memang menjadi salah satu tujuan yang dicari. 

Kegiatan kecil yang bisa dilakukan oleh perempuan lansia adalah berkumpul dan berbagi cerita bersama. Membentuk lingkaran sentripetal dan mulai menceritakan kisah-kisah mereka. Kegiatan produksi yang bisa dilakukan mungkin bisa saja merenda, menjahit, atau memasang kancing baju.

Yang tak kalah penting untuk dilakukan adalah menemani dan meyakinkan mereka bahwa menjadi tua adalah anugerah karena manusia yang melewati masa itu telah diberkati dengan berbagai macam pengalaman kehidupan.

Tentu saja umur lanjut juga bisa disebut privilese karena daya hidup manusia memang beragam. Kehidupan dan kematian memiliki cerita misterinya tersendiri. Perempuan lansia yang mampu menerima keadaan dan menerima dirinya yang tidak sama lagi dengan waktu mudanya adalah perempuan hebat. Hal ini dapat menjadi semangat baru untuk melanjutkan hidup. 

Perempuan lansia adalah bagian dari populasi manusia yang layak untuk hidup bahagia. Karena itu kurangi stigma ketidakberdayaan mereka dengan bentuk dukungan materi atau dukungan spiritual yang diutarakan dari hati ke hati.

Jessica Ayudya Lesmana

Penulis Waria Autodidak dan Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!