Saya Seorang ODHA: ‘Apakah ini Diskriminasi, Saat Mau Operasi, Kasur dan Bantal Saya Di Plastik?’  

Ketika mau operasi, Delia, perempuan dengan HIV/ AIDS mengalami kejadian tidak mengenakkan yang dilakukan oleh sebuah rumah sakit di Indonesia. Kasur dan bantal yang dipakainya dibungkus plastik. Dengan ditemani E, pendamping ODHA, Ia mempertanyakan apakah ini merupakan tindakan diskriminatif atau tidak pada ODHA?

Di ujung Desember 2022, Delia bukan nama sebenarnya, harus menjalani operasi polip di rahimnya. Delia terdeteksi terkena HIV sejak awal 2011. Ia sudah menjalani pengobatan HIV/ AIDS dengan obat antiretroviral untuk mengurangi resiko penularan HIV sejak tahun 2014. 

Pada saat operasi itu, Delia ditemani oleh pendamping ODHA yang bernama E. Dikarenakan anak Delia yang baru lulus SMA berada di luar kota, E kemudian menemani Delia ke rumah sakit. 

Namun saat mau operasi, E mengaku kaget karena kasur dan bantal yang akan dipakai Delia, dibungkus plastik oleh pihak rumah sakit. Ini kemudian membuatnya kaget, apakah karena Delia adalah seorang ODHA, maka bantal dan kasurnya harus dibungkus plastik?

“Saya nemenin ke IGD (Instalasi Gawat Darurat) sampai ke kamarnya. Di kamarnya itu, teman saya langsung kaget, kok ini di plastikin ya. Pas ada cleaning servicenya tanya temanku (ke aku) ‘apa karena HIV ya? Penyakitku ya?,” cerita E kepada Konde.co pada Rabu, 21 Desember 2022. E menghubungi Konde.co setelah kejadian itu.

E bilang ke Delia, ini mungkin karena sedang Covid-19, maka kasur dan bantalnya dibungkus plastik.

“Nggak Mbak. Mungkin karena sejak Covid-19. Aku cuma gedein hatinya aja. Terus aku nyeletuk gini, mungkin boleh dilepas, karena mungkin habis dibersihin gitu’ Nah, tanyalah ke cleaning service-nya ‘Ini memang diplastikin ya?,” lanjutnya.

“Iya Buk, memang di plastikin,” ujar E menirukan ucapan cleaning service yang setelahnya tanpa memberikan penjelasan apapun. 

Tak berapa lama, perawat rumah sakit tersebut masuk ke ruangan. E pun menanyakan soal kasur dan bantal yang diplastikin itu. 

“Bu, maaf, memang di plastik karena sudah protap (prosedur tetap), karena penyakitnya Ibu (Delia),” ujar perawat RS itu yang mengarah kepada Delia.

“Ya kan apa kubilang, karena HIV bukan karena Covid-19,” sahut Delia ke E.

Delia sempat memfoto kondisi ranjang, kasur dan bantal yang diplastikin itu. Tak berapa lama kemudian, E meminta foto tersebut dan sempat mengirimkan ke grup WhatsApp teman-temannya (pendamping ODHIV–red). Di WAG itu, perbincangan ‘ramai’ dan banyak yang kaget atas perlakuan rumah sakit tersebut. 

Dari situlah, E kemudian ‘sambat’ dan menuliskan keluhannya ini di twitter. E tidak menduga bahwa cuitannya di twitter itu kemudian viral. 

“Di twitter saya sebenarnya, namanya anak muda, ya sambat di sosmed, sambat di twitter, gak ada ekspektasi untuk viral. Ya udah bahasanya itu bukan ‘bahasa redaksi’ bahasa yang di bagus-bagusin bukan, tapi bahasa curhat gitu,” terang E.

“Karena di akhir kalimat tweet-nya itu ‘kok gak sekalian sama kamar mandinya, Kalian laminating?” lanjutnya. 

Semula, E mengatakan komentar di tweet-nya banyak yang memberikan dukungan. Utamanya karena melihat banyaknya diskriminasi terhadap ODHIV. Namun cuitannya ini semakin ramai, dari yang berkomentar dan like hanya puluhan, menjadi ribuan. 

Ada banyak komentar menanggapi cuitan E. Bahkan ada dari kalangan medis dan dokter. Pro kontra pun terjadi, ada yang setuju jika itu merupakan bagian dari Standar Operasional/ SOP rumah sakit dan merujuk pada PPIRS (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit). Namun ada pula yang menyatakan bahwa itu bukan termasuk SOP rumah sakit dan rumah sakit melakukan tindakan yang berlebihan.

Dikarenakan ramainya cuitannya, E sempat bolak-balik uninstall twitter. Sampai dia menemukan informasi bahwa tweetnya diangkat oleh pemberitaan online salah satu media nasional. Di berita itu disebutkan bahwa ada salah satu mantan petinggi Lembaga PBB untuk kesehatan dunia, WHO yang memberikan dukungan.   

“Saya buka lagi twitter, ngetweet lagi, ‘Alhamdulillah saya dapat dukungan mantan petinggi WHO di tengah hujatan kalian,” katanya. 

Tak berhenti di situ, E bercerita dirinya terus mengalami hujatan di kolom komentar. Gak sedikit pula hujatan itu yang di luar konteks isu. Warganet ada yang bahkan menyerang soal orientasi seksual E. 

“Nyerangnya ke orientasi seksual. Trus ada yang kayak bilang goblok, bodo, banyak. Ada yang bilang ini pencemaran (nama baik–red). Padahal Saya juga gak nyebutin satu nama pun, orang atau perawat dan gak nyebutin instansinya,” ucap E. 

Melihat komunikasi yang terjadi di twitter dan diskriminasi yang dialami Delia ini, E kemudian menghubungi Konde.co dan menceritakan pengalaman yang Ia alami.

Pentingnya Komunikasi Dua Arah

Konde.co lalu mengkonfirmasi soal penerapan SOP pada pasien ODHA ke pihak rumah sakit, namun mereka meminta data identitas dan rekam medik pasien dan enggan memberikan penjelasan soal SOP rumah sakit. 

Upaya konfirmasi soal SOP pasien ODHA di rumah sakit/ RS juga sudah Konde.co lakukan pada Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI, namun Ia meminta hal serupa sebelum akhirnya tidak lagi membalas pesan Konde.co. 

“Maaf, RS mana kapan kejadian? Wah, bagaimana kami meminta klarifikasi tidak jelas infonya,” ujarnya secara tertulis, Jumat (10/2). 

Pertimbangan consent dan keamanan atas perlindungan identitas dan data pribadinya pasien, Konde.co tidak membukanya kepada pihak RS ataupun Kemenkes tersebut. 

Konde.co juga menghubungi Aditya Wardhana, aktivis ODHA yang saat ini menjadi Executive Director dari Indonesia AIDS Coalition (IAC) menyoal tanggapan kejadian ‘kasur dan bantal di plastik’ tersebut. 

“Kemungkinan rumah sakitnya gak punya mekanisme desanitizing yang baik itu. Harusnya gak perlu sampai begitu,” ujar Aditya secara tertulis kepada Konde.co, Jumat (10/2).  

Aditya mengatakan pernah sekali mendapatkan laporan serupa. Namun, sudah lama tidak lagi dapat mengenai kasus semacam ini. Ia kemudian merekomendasikan untuk menanyakan lebih lanjut kepada dr Zubairi Djoerban yang dikenal sebagai pionir dalam penanganan kasus HIV/AIDS di Indonesia. 

Saat dikonfirmasi, dr Zubairi Djoerban mengatakan tak lama ini dirinya juga menerima pertanyaan serupa via DM. Hal itu juga berkaitan dengan ramainya respons pro kontra. 

Zubairi menekankan, hal pertama yang harus dipahami dulu bahwa operasi itu bisa menularkan virus dari ODHA ke dokter, perawat dan dokter anestesi.   

Bagaimana kalau virus pada ODHA sudah tidak terdeteksi? Dia bilang, jika ODHA minum obat teratur dan jumlah virusnya minim bahkan sudah tidak terdeteksi, ya risiko penularan nyaris tidak ada.

Kemudian soal tindakan asepsis (prosedur klinis yang dilakukan untuk mencegah kontaminasi) tenaga kesehatan dan medis, Zubairi menegaskan, harus hati-hati dan komunikatif terhadap ODHIV. Asepsis pun harus dilakukan dengan baik dan benar agar tidak tertular, meski kadang masih terjadi dokter atau perawat yang tertusuk jarum, pisau atau lainnya. 

“Ada standar khusus untuk pasien ODHA saat operasi? Standarnya ya kehati-hatian dan cara berpikirnya harus dua arah. Memakai cara pikir ODHA dan juga cara pikir dokter. Kerja sama. Dokternya menyampaikan tata laksana dan ODHA-nya menyampaikan nyamannya bagaimana,” terang Zubairi Djoerban secara tertulis kepada Konde.co, Senin (12/2). 

Pendiri Yayasan Pelita Ilmu (YPI) yang bergerak pada pelayanan masyarakat dengan HIV/AIDS itu pun mencontohkan, ODHA harus terus terang bahwa ketika akan dioperasi jumlah virusnya berapa, apakah dia sedang rutin minum obat atau enggak. Menurutnya, itu wajib disampaikan. 

“Dus, beberapa ODHA juga memiliki TBC, Hepatitis B, atau penyakit infeksi lain. Ini juga disampaikan ke dokter,” lanjutnya. 

Kaitannya dengan pemakaian keranjang, kasur dan bantal yang dilapisi plastik, bagaimanakah?

“Prinsipnya tadi: kehati-hatian. Dua pihak harus berupaya melindungi diri semaksimal mungkin, sehingga operasinya sukses. Kalau sudah dikomunikasikan dan pasien ODHA nyaman saja dengan plastik itu, namanya ya bukan diskriminasi,” kata Zubairi. 

Zubairi kembali menekankan, kuncinya itu komunikasi dalam tindakan operasi. Jika ODHA merasa dikucilkan karena plastik itu, penting didiskusikan, dan jangan dipakai cara-cara itu. Tapi selama ODHA tidak merasa itu adalah bentuk stigma, hal itu menurutnya tidak masalah.

Ia lantas mengajak masyarakat untuk melawan stigma dan mencerna dengan baik tentang isu ini. Jangan anggap ODHA sebagai sampah. Dijauhi, dikeluarkan dari pekerjaan, dan juga sekolah. Malah dulu mereka sampai diusir dari kampungnya, bayinya dibuang, bahkan ada pihak yang menghalalkan ODHA untuk dibakar. 

“Yang jelas, saya adalah orang yang akan membela mati-matian jika ada ODHA yang terdiskriminasi atau dikucilkan. Itu sikap saya,” katanya. 

Stigma dan Diskriminasi ODHA/ODHIV  

Stigma terhadap orang dengan HIV telah ada sejak virus tersebut pertama kali diumumkan ke publik tahun 1981 di Amerika Serikat. Saat itu, virus ini sangat tidak dikenal dan tidak ada pengobatan yang tersedia, sehingga orang yang terinfeksi sering diasingkan dan diperlakukan dengan diskriminatif. 

Mitos dan kesalahpahaman yang ada tentang cara penularan HIV sering kali merupakan sumber dari stigma. Banyak orang yang terinfeksi mengalami diskriminasi di tempat kerja, tempat tinggal, dan dalam hubungan sosial. Mereka juga kerap mengalami diskriminasi dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Walaupun sekarang sudah banyak pengobatan yang tersedia dan pengetahuan tentang virus ini telah bertambah, stigma tersebut masih ada sampai sekarang. 

Dijelaskan dalam HIV and Stigma and Discrimination yang dimuat dalam Human Rights Fact Sheet Series UNAIDS tahun 2021, stigma tersebut menghambat perawatan dan pencegahan HIV karena orang yang terinfeksi sering kali tidak bersedia untuk mengakui status mereka atau mencari perawatan karena takut diskriminasi. Hal ini dapat menyebabkan perkembangan penyakit yang lebih cepat dan meningkatkan risiko penyebaran virus ke orang lain. Dalam beberapa kasus, stigma tersebut dapat menyebabkan orang yang terinfeksi mengalami depresi, isolasi sosial, dan tekanan ekonomi. Hal ini dapat memperburuk kondisi kesehatan mereka dan membuat mereka lebih rentan terhadap komplikasi kesehatan yang serius.

Upaya untuk mengurangi stigma terhadap orang dengan HIV telah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi kesehatan, dan kelompok masyarakat. Namun, masih banyak yang harus dilakukan untuk menghilangkan stigma tersebut dan memberikan perlindungan yang layak bagi orang yang terinfeksi.

Salah satu cara yang efektif dalam mengurangi stigma terhadap orang dengan HIV adalah dengan memberikan edukasi yang tepat kepada masyarakat tentang virus ini dan bagaimana menghindari infeksi. Pemerintah dan organisasi harus bekerja sama untuk menyediakan edukasi kesehatan yang dapat diakses oleh semua orang, terutama di komunitas yang lebih rentan terhadap infeksi.

Kampanye untuk mengurangi stigma tersebut juga harus dilakukan melalui media, termasuk televisi, radio, dan media sosial. Dengan menggunakan platform ini, kampanye ini dapat menjangkau jutaan orang dan menyebarluaskan pesan yang tepat tentang virus ini dan bagaimana menghormati dan menghargai orang yang terinfeksi. 

Media juga dapat digunakan untuk memperlihatkan kisah-kisah inspiratif dari orang yang terinfeksi yang masih dapat menjalani hidup yang sehat dan produktif, dengan cara ini dapat membantu untuk mengurangi mitos dan kesalahpahaman yang ada tentang virus ini. Selain itu, perlindungan hukum yang kuat juga harus diberikan untuk menjamin perlindungan bagi orang yang terinfeksi dari diskriminasi di tempat kerja, tempat tinggal, dan dalam hubungan sosial. 

Pemerintah harus menegakkan undang-undang yang menjamin perlindungan hak-hak dasar orang yang terinfeksi dan memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku diskriminasi.

Nurul Nur Azizah dan Ika Ariyani

Jurnalis di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!