Harimau Milik Alshad Mati: Satwa Liar Itu Butuh Habitat, Bukan Dijadikan Konten

Harimau Benggala milik Youtuber Alshad Ahmad belum lama ini mati. Itu jadi satwa liar ketujuh Alshad yang akhirnya mati saat dipeliharanya. Para aktivis mengkritik keras soal ini: satwa liar seharusnya dilindungi di habitat aslinya. Pemerintah mesti menerapkan aturan tegas.

Kematian anak harimau Benggala yang dimiliki YouTuber Alshad Ahmad, mengundang keprihatinan masyarakat. Hal ini karena kematian anak harimau tersebut adalah yang ketujuh kalinya. 

Alshad Ahmad selama ini, dikenal publik dengan kontennya tentang hewan-hewan liarnya.  Selain memang suka, dalihnya memelihara satwa liar ini adalah untuk tujuan edukasi tentang perawatan hewan buas. 

“Taulah seberapa sulitnya merawat satwa liar? Seberapa mahalnya butuh kandang kaya gimana? Butuh tenaga ahli kaya gimana? malah orang jadi tau, mengedukasi orang-orang juga,” demikian jawab Alshad melalui video yang diunggahnya di Youtube.

Tidak hanya Alshad, banyak yang juga memamerkan koleksi hewan-hewan langka peliharaannya di media sosial. Mulai dari artis sampai pejabat. 

Mereka mengaku, memelihara hewan-hewan tersebut atas dasar kecintaan terhadap satwa. Namun, kematian anak harimau yang dipelihara oleh Alshad menimbulkan pertanyaan di masyarakat tentang bagaimana kelayakan seseorang bisa memelihara hewan langka.

Aturan Penangkaran Satwa

Alshad diketahui memiliki izin penangkaran. Aturan tentang penangkaran hewan langka sendiri diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.19/Menhut-II/2005 Tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar

Dalam aturan tersebut, yang dimaksud dengan penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. 

Sedangkan syarat untuk mendapat izin penangkaran diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.69/Menhut-II/2013 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 19/Menhut-II/2005 Tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Di antaranya adalah:

a. proposal penangkaran untuk permohonan baru atau rencana kerja lima tahunan untuk permohonan perpanjangan yang masing-masing diketahui oleh Kepala Balai;

b. fotocopy kartu tanda penduduk atau izin tempat tinggal bagi warga negara asing yang masih berlaku;

c. surat keterangan lokasi/tempat penangkaran dari serendah-rendahnya camat setempat yang menerangkan bahwa kegiatan penangkaran tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan;

d. dokumen atau bukti lain yang menerangkan legalitas asal usul induk, benih atau bibit untuk penangkaran dalam hal induk sudah ada atau surat keterangan rencana perolehan induk dari Kepala Balai;

e. berita acara persiapan teknis dan rekomendasi dari Kepala Balai

Baca Juga: Pamer Konten Satwa Liar di Medsos Bahayakan Konservasi di Indonesia

Mengutip dari Kumparan.com, Koordinator Humas BBKSDA Jabar, Eri Mildranaya mengatakan izin penangkaran diberikan karena harimau jenis Benggala yang berasal dari India tidak termasuk dalam kategori satwa yang dilindungi di Indonesia.

Setelah Alshad mengumumkan kematian anak harimau di akun Instagramnya, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jabar segera membentuk tim untuk menyelidiki penyebab kematian harimau tersebut.

Harimau Benggala, Tidak Dilindungi di Indonesia Tapi Berstatus Terancam Punah Secara Global

Meskipun jenis harimau ini tidak masuk dalam daftar hewan yang dilindungi di Indonesia, namun menurut organisasi konservasi global International Union for Conservation of Nature (IUCN), harimau jenis ini menghadapi ancaman kepunahan. 

Mengutip earth.com, dibandingkan tikus, harimau sangat lambat bereproduksi. Harimau secara inheren lebih rentan terhadap kepunahan daripada kebanyakan hewan karena siklus reproduksi yang panjang ini. Mereka tidak bisa membangun populasi dengan cepat, bahkan ketika diberi kesempatan.

Konde.co mewawancarai Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional Walhi, Puspa Dewy dan Sekretaris Eksekutif Nasional Walhi, Fatimah Smith pada (16/8/2023). 

Puspa Dewy menjelaskan persoalan kepemilikan hewan-hewan liar ini harus dilihat secara lebih luas. “Sebenarnya, manusia  sudah mencabut satwa tersebut dari habitatnya. Matinya hewan tersebut (anak harimau Alshad-red) ada hubungannya dengan habitat, bisa saja karena tidak hidup dalam habitatnya. Hewan yang biasanya hidup bebas lalu dikerangkeng, maka ia akan terpaksa beradaptasi. Hewan juga ada tingkatan stresnya,” jelasnya.

Baca Juga: Dilema Street Feeding Kucing, Negara Jangan Cuek

Lebih lanjut, Puspa menerangkan bahwa hewan-hewan yang seharusnya tinggal di hutan tersebut, bisa membawa bahaya bagi manusia, jika dipelihara dan sering berinteraksi dengan manusia.

Ketika ditanya tentang regulasi kepemilikan satwa, Puspa mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang kini tengah direvisi.

“Dalam Undang-undang tersebut, sudah masuk di dalamnya tentang satwa-satwa yang dilindungi. Tinggal bagaimana aturan itu dijalankan atau diimplementasikan.”

Jenis harimau yang dimiliki Alshad berasal dari India. Puspa berpendapat ketika satwa luar masuk di Indonesia harus dilihat kembali, terutama kepada jenis-jenis hewan yang dilindungi.

“Harusnya tidak dijadikan objek jual beli. Kaitannya adalah habitat mereka sebelumnya sudah terganggu. Jadi, jika ditanya bagaimana masyarakat harus memandang itu, kita tidak bisa memandang parsial saja. Kalau habitatnya dirusak, mereka akan terancam. Yang harusnya kita wujudkan, satwa tersebut bisa hidup tenang di habitatnya, dan alam tidak boleh dirusak.”

Hewan Liar Dijadikan Konten

Sederet nama influencer, artis sampai pejabat seperti Alshad Ahmad, Audrey King of The Jungle, Irfan Hakim dan Bambang Soesatyo memproduksi konten yang menunjukkan interaksi dan kedekatan mereka dengan hewan-hewan liar miliknya. 

Mereka memiliki follower dalam jumlah fantastis. Rasa penasaran masyarakat terhadap tingkah laku hewan-hewan yang seharusnya tinggal di hutan ini pun dijadikan alat untuk mendulang popularitas dan keuntungan.

Terdapat pro dan kontra, namun dominan konten tersebut dinikmati oleh followernya dengan menganggap hewan-hewan tersebut lucu dan menggemaskan. Beberapa dari mereka bahkan berkomentar bercita-cita ingin memelihara hewan liar tersebut di rumahnya, persis seperti yang dilakukan para publik figur ini.

Menanggapi hal tersebut, Puspa Dewi mengatakan hewan tersebut dijadikan objek terhadap kepuasan atau keuntungan segelintir orang. 

“Harusnya kan hidup di habitatnya. Ada cara pandang yang mau kita balikin lagi. Harimau bukan hewan peliharaan. Malah termasuk hewan langka. Bukan seperti anjing dan kucing. Habitatnya tidak boleh diganggu. Perbedaan habitat yang ditinggali hewan bisa menyebabkan stres, sama seperti kita yang tinggal di tempat yang tidak seharusnya, jadi masyarakat harus lebih kritis menilai hal ini,” kata dia. 

Fatimah Smith menambahkan bahwa para influencer ini harus sadar mereka memiliki banyak follower. Ada banyak sekali cara menunjukkan kecintaan terhadap hewan selain memelihara hewan liar.

Baca Juga: Delima Silalahi: Aktivis Lingkungan Peraih The Goldman Environmental Prize

Menurutnya, ada banyak sekali cara lain untuk merealisasikan kecintaan mereka itu, seperti bisa mensupport penangkaran yang ada. Baik finansial maupun menjadi relawan, bisa untuk menaikkan awareness, bukan untuk hiburan. 

“Itukan jelas bukan untuk pendidikan, tapi entertain. Misal menunjukkan bisa menjinakkan macan untuk melakukan trik tertentu, itu kan entertain bukan edukasi. Merubah kebiasaan natural kita juga nggak tau metode apa yang dipakai untuk hewan ini nurut. Misal dipancing sama makanan. Pertanyaannya apakah dengan cara itu mereka senang atau sebenarnya hewan itu merasa disiksa” kata Fatimah.

Fatimah juga berkata, masukan bagi pemerintah yaitu agar menutup segala celah untuk memelihara hewan liar. 

“Sistem dan regulasi harusnya dijalanin, tutup segala celah untuk memelihara hewan liar. Karena cycle nya gitu terus, ini Alshad sudah berapa kali macannya mati? Banyak kok hewan yang bisa dipelihara, yang perlu di-rescue, itu lebih baik” tegasnya.

Puspa Dewi menegaskan, ketika hewan tersebut dijadikan konten, artinya hewan tersebut dieksploitasi untuk menghasilkan keuntungan. 

“Tujuan dia memelihara apa, untuk kesenangan, dijadikan konten untuk menguntungkan dia. Mereka harus dikembalikan ke alamnya. Habitatnya harus dilindungi. Ketika bukan hewan peliharaan tapi dipelihara itu adalah egoisnya manusia untuk menikmati kesenangannya. Seharusnya melihatnya bagaimana soal keberlangsungan satwanya juga,” tutupnya.

(Foto: BBC)

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!